31. Kenyataan Pahit

161 16 4
                                    

Hello-hello, haii!!
Klik bintang dulu dong, hehe..
Satu bintang kalian sangat berharga🤗

Happy Reading!!

___________________________________

Rumah mewah berlantai tiga itu tampak sunyi seperti biasanya. Hanya ada Bi Ima yang sedang asik menonton sinetron kesukaannya. Apalagi kalau bukan, Cinta Dua Pilihan.

Qila berjalan menuju dapur, niatnya ingin mengambil minum. Namun, matanya tak sengaja melihat Valleri di taman belakang rumah. Qila menghampiri Mamanya yang sedang duduk di bangku panjang.

"Ma?"

Suara panggilan itu mengagetkan Valleri yang sedang menatap sebuah foto lusuh. Sebelum Qila melihatnya, ia langsung menyembunyikan foto teesebut di balik bingkai foto yang ukurannya lumayan besar.

Gadis itu ikut duduk di samping Mamanya. Ia melihat sebuah foto berbingkai yang dipegang Valleri. Seluruh senyum di dalam figur itu terlihat tulus, menggambarkan sebuah kebahagiaan dan kehangatan.

"Ma, aku boleh tanya satu hal?" Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Qila berniat menanyakan hal yang selama ini selalu mengganggu pikirannya.

Valleri menggeser tubuhnya untuk menatap putrinya. "Apa?"

Qila menunduk untuk menghindari kontak mata dengan Valleri. "Siapa Papa kandung Qila, Ma?" tanyanya lirih.

Mendengar pertanyaan itu membuat Valleri mengeratkan pegangannya pada frame yang sudah dipegangnya sedari tadi. Rasanya, seperti kembali mengingat kesalahan terbesar dalam hidupnya.

"Nanti malam, kita akan makan malam keluarga Dininghrat. Jam 7 kamu harus udah siap Qi." ucapnya. Lagi dan lagi, Valleri mengalihkan pertanyaan putrinya.

Seharusnya Qila sudah tahu bahwa Mamanya akan selalu menghindari pertanyaan itu. Namun, tetap saja Qila selalu menanyakan hal yang sama meski tak pernah mendapat jawaban.

"Ma, aku udah dewasa. Aku berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku tau, semenjak Abang gak ada, keluarga kita jauh dari kata baik-baik aja. Jadi aku mohon.. tolong.. kasih tahu Qila, Ma..." perkataan gadis itu terdengar parau, kemudian setetes bening jatuh dari matanya.

Meski senyum selalu terukir di bibir manisnya, itu hanyalah sebuah topeng untuk menutupi segala luka yang Qila terima selama ini. Hingga ia sampai pada titik senyum tak lagi dapat menahan air matanya untuk tak jatuh.

Valleri ikut menitikkan air mata. Dia tidak tahu harus menjelaskannya dari mana. Melihat sorot mata putrinya itu sangat mirip dengan seseorang yang dulu sangat ia cintai. Membuat hatinya berdenyut nyeri.

"Maa... Jawab, Maaa..." ulang Qila dengan air mata yang terus mengalir.

Valleri menghapus air mata di pipi Qila. Lalu mengusap puncak kepalanya lembut. Namun mulutnya masih bungkam seribu bahasa. Merasa di abaikan, Qila menghempaskan tangan Valleri yang menyentuh kepalanya dengan kasar.

"AKU GAK BUTUH RASA KASIHAN INI MA!" suaranya kini naik satu oktaf, sebelum kembali melemah.

"Aku butuh penjelasan Mama atas semua ini, Ma... Bukan pengalihan yang selalu Mama berikan!" tegasnya.  Terselip rasa kesal pada tutur katanya. Meski tangisnya masih belum bisa ia hentikan.

Bagaimana bisa Qila harus terus bersabar? Selama dua tahun dia hidup dalam keluarga yang seolah mati. Mati rasa. Tidak ada percakapan atau tegur sapa dengan Papanya sendiri, selain ketika Abraham melayangkan pukulan untuknya.  Sampai beberapa waktu lalu Abraham mengungkapkan bahwa dia bukanlah putri kandungnya. Sungguh Valleri terlalu egois. Qila harus menanggung penderitaan atas kesalahan yang di buat oleh Mamanya sendiri.

ALTAQILA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang