"Apa yang benar-benar kau tau tentang adikmu, Kaizo?" Tanya diriku pada sosok Kapten di depan ku ini.
Kaizo dengan pangkat tinggi berupa Kapten diusia yang begitu muda. Sosok yang ditakuti berbagai planet. Pemberontak Legenda adalah julukannya.
Ya, menakutkan dan mengerikan. Itu yang pasti terlintas di pikiran orang-orang yang mengetahui namanya.
Dibalik kesuksesannya dalam menjalani tugasnya sebagai bagian dari Tapops, ada 1 hal yang sangat tidak terbayangkan.
Kaizo memiliki seorang adik. Fang adalah namanya. Dengan gelar cukup tinggi yakni Lans Kopral harusnya sudah bisa menjadi sebuah kebanggaan, bukan?
Ya, itu seharusnya. Tapi tidak bagi Kaizo.
Aku adalah dokter yang memang bekerja di Tapops, sudah menjadi bagian diriku untuk merawat dan menyembuhkan mereka yang terluka atau sakit.
Diantara banyaknya pasien yang datang, hanya Fang yang benar-benar membekas di pikiran ku.
Aku masih ingat, saat pertama kalinya Fang datang dengan luka yang cukup parah di bagian lengan. Semestinya itu tidak membuat ku terkejut, tapi saat aku membasuh lukanya dengan alkohol, mengusapnya, dan melilitkan luka itu dengan kain kasa, aku tidak melihat atau merasakan sedikit pun reaksi atas apa yang kulakukan.
Luka itu memang tidak mengoyakkan lengannya hanya yang membuat ku benar-benar terdiam adalah saat dia dengan muka datarnya tidak menunjukkan rasa sakit dan dengan tenang menatap ke arah luka itu.
Satu yang kutahu, bahwa Kaizo pun ketika diobati oleh ku masih sesekali mengeluarkan ringisan atas rasa sakitnya atau ada perubahan ekspresi pada wajahnya.
Dan di pertemuan-pertemuan berikutnya Fang masih tetap seperti itu. Menatap kosong luka-lukanya dan sama sekali tidak memperhatikan sekelilingnya.
Aneh, Fang terlalu banyak menunjukkan gelagat yang tidak mengenakan. Sekalipun aku mengajaknya berbicara maka balasannya hanyalah angin kosong. Fang tidak pernah membalas ataupun mengeluarkan sepatah kata pun.
Sampai hari itu tiba. Saat itu adalah kemenangan kita-Tapops melawan Kapten Vargoba. Unit kesehatan penuh dengan pasien terluka ringan hingga berat. Boboiboy pun turut terluka parah sampai koma beberapa hari. Dan kawannya yang lain memiliki juga memiliki luka lumayan berat dengan beberapa goresan dalam juga lebam sana-sini.
Fang juga turut mengunjungi ruangan ku, memperlihatkan lukanya dan dalam diam aku mengobatinya. Sampai, "Apa aku menyusahkan mu?".
Itu adalah kali pertama Fang mengeluarkan suaranya untuk ku. Terdiam sejenak, aku memproses apa yang terjadi.
"Tidak, ini sudah bagian dari tugasku. Saat aku mengambil pilihan ini maka aku sudah siap dengan segala resiko yang akan terjadi,"
Dengan seulas senyum aku membalas pertanyaannya. Aku mengalihkan pandanganku keatas dan menemukan bola mata merah delima yang tertutupi visor itu menatap tepat mataku.
Sebagai seorang dokter tentu aku belajar beberapa hal tentang psikologi manusia. Walau aku tidak benar-benar memahaminya tapi dari berbagai pengalaman yang aku dapatkan selama aku bekerja, aku tahu ada yang tidak beres dengan Fang.
Mata itu redup, kosong, dan seperti tak memiliki harapan. Aku tau, sinar matanya kian redup tiap kali kami bertemu.
Aku memang penasaran tapi tidak berani untuk sekedar bertanya. Maka hari itu saat dia mau memulai percakapan dengan ku, aku hanya bisa mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Hari itu juga, aku mendapatkan jawaban atas rasa penasaran ku terhadapnya. Bagai lepas kendali, Fang menceritakan semuanya. Kesakitannya, kesendiriannya, kesepiannya, kekecewaannya, dan api harapan yang sudah padam.
Aku shock. Begitu terkejut atas kisah yang dialaminya. Bagaimana bocah berumur tak lebih dari 15 tahun ini menanggung bebannya sendirian?
Aku tak mampu untuk mengeluarkan suara ku. Hanya ada tangisan yang mengalir di kedua mata ku. Memperlihatkan empati dan simpati yang ku berikan untuk Fang.
Selesai bercerita, Fang pergi dalam diam. Indra pengelihatan ku mengikuti tiap gerakannya. Sampai lorong di ujung memutus itu.
Dan hari ini, Fang kembali terluka. Luka yang sangat serius sampai dirinya hampir meregang nyawa. Fang berniat bunuh diri.
Lagi, air mataku mengalir. Kesedihan merasuk dalam sukma ku. Fang adalah anak kecil yang terperangkap dalam raga yang terus menua.
Aku menemui Kaizo di depan ruang rawat Fang. Memperhatikannya yang hanya diam sembari duduk dengan kepala tertunduk. Seakan beban di pundaknya begitu berat untuk dibawa berdiri.
Dengan isak tangis, aku menghampirinya. Mengajaknya berbicara dengan baik-baik. Menceritakan kembali apa yang Fang ceritakan kepadaku. Tapi kalian tau apa tanggapannya?
" Dia lemah. Hanya dengan sedikit tekanan dia mau mengakhiri hidupnya?"
Aku tergugu. Terguncang. BAGAIMANA MUNGKIN SESEORANG YANG BERHUBUNGAN DARAH DENGAN ENTENGNYA BERKATA SEPERTI ITU?!
Batinku berteriak keras. Segera aku menampar wajah datar di hadapan ku.
"Apa yang kau tau tentang adikmu, Kaizo?!" Aku berteriak di depannya.
"Kau tidak tau bukan? Kalau dari semua yang kau lakukan terhadapnya, dia tidak pernah sedikitpun menyalahkan mu. Dia sampai di titik bahwa, semua yang terjadi adalah kesalahannya. Dia berada di titik membenci dirinya sendiri. Dia, Fang, adikmu 'terbunuh' oleh abangnya sendiri."
Kaizo tetap diam. Mendengarkan apapun celotehan yang aku keluarkan.
"Kau bukan siapa-siapa, kau tidak benar-benar tau tentang dirinya ataupun diriku."
Balasan dingin dari Kaizo aku terima. Dalam pengelihatan ku, Kaizo seperti marah. Gertakan gigi dan tatapan tajamnya menghunus tepat di wajah ku. Aku tak gentar, Kaizo tidak pantas mengeluarkan emosinya seperti itu.
"Aku memang bukan siapa-siapa. Aku bukan saudara Fang, apalagi saudara mu. Tapi aku mahluk hidup. Aku tau apa itu simpati dan empati. Dan aku benar-benar peduli pada adik mu!"
"DIA BUKAN ADIKKU!! ADIKKU TIDAK LEMAH SEPERTINYA!! AKU TIDAK SUDI BERHUBUNGAN DARAH DENGANNYA!!"
Dengan oktaf yang naik beberapa tingkat, Kaizo meneriakkan itu. Lagi, aku benar-benar tidak habis pikir dengan dirinya.
Adiknya sedang berjuang untuk hidup, tapi sang kakak bahkan tak mau mengakuinya.
"Kau tau Kaizo? Aku mengerti kenapa Fang mengambil jalan ini. Karena ego mu membuatnya mati secara perlahan. Dan, Kaizo. Jika, Fang tidak selamat maka jangan pernah menyesal atas apa yang kau lakukan padanya."
Dengan itu aku pergi. Berharap semuanya akan berakhir baik-baik saja. Tapi, tidak. Beberapa hari kemudian, Fang meninggalkan dunia yang kejam ini.
Sehari sebelumnya, aku bertemu dengannya di dalam mimpi. Fang tersenyum lebar dan melambaikan tangannya padaku.
"Terimakasih atas semuanya kak dan maaf tidak bisa menyampaikannya secara langsung. Selamat tinggal."
Fang, anak yang sangat kuat. Dan aku bangga bisa bertemu dengan mu Fang. Selamat tinggal dan berbahagialah.
Aku membalas senyumannya lebih lebar dan turut melambaikan tanganku. Itu, adalah akhir kisah ku dan Fang.
•••
Mon maap, bagi yang nunggu kelanjutan 'Hitam' nyatanya belum bisa ku lanjut😭🙏.Bener-bener hilang mood. Jadi sebagai pengganti, ku harap ini cukup. Dan entah kapan si 'Hitam' ini akan lanjut.
Tapi tenang, masih banyak kisah lainnya. Dan mungkin, besok atau lusa aku bakal post Rate-M. Yah, itupun kalo aku sanggup sih🗿🌚
KAMU SEDANG MEMBACA
FANG!
RandomBerisi semua FanFiction yang berkaitan dengan Fang. Genre apapun yang penulis inginkan (juga request) pasti ada. Ship mainstream? Ada Ship antimainstream? Ada juga Rate? T sampai M (Semoga aja ada semua) Pokonya suka-suka penulis mau ngetik apapun...