Iri

92 8 0
                                    

Tantri mengibaskan rambut dan berusaha berjalan seanggun mungkin. Beberapa laki-laki mengikuti di belakang dan beberapa perempuan yang ia temui menatapnya dengan mata terbelalak sembari menutup mulut.

Bisik-bisik mereka terdengar di telinga. Kali ini bukan kalimat hinaan atau perkataan merendahkan melainkan sebuah pujian.

“Cantik sekali, siapa dia?“

“Gila! Mahasiswi dari mana itu, cuy, cantik banget.“

“Demen gue yang kayak gini, nih.“

“Lebih cantik dari Swastika, anak seni gak, sih?“

Tantri tersenyum, mengeluarkan cermin dari dalam tas sembari merapikan rambut dan semakin percaya diri. Kalau ia memang secantik itu.

Sesampainya di kelas, beberapa orang termasuk Swastika menatapnya tak berkedip sampai ia duduk di sebelah gadis itu. Swastika memandangnya dari atas sampai bawah.

Kerumunan itu tak juga bubar. Mereka berdiri di pintu kelas masih dengan bisik-bisik. Persis seperti dengungan lebah.

“Tri … ini kamu, kan?“

“TRI!?“

Teriakan kaget dari beberapa orang itu sedikit membuatnya tersentak. Namun setelahnya, ia menanggapi hal itu dengan kekehan.

“Ya, ini aku. Tantri.“

Seketika keributan mulai terjadi.

***

“Kok bisa berubah drastis begini? Kalau tidak lihat tahi lalat di bawah dagu kamu. Aku juga gak bakalan ngenalin persis kayak mereka.“

“Ada deh. Kamu gak bakalan percaya kalau aku kasih tahu.“

“Kamu pakai skincare?“

Tantri mengangguk, serum itu juga termasuk skincare, walau ia hanya punya itu di rumah.

“Apa merknya?“

“Ehm… M153,” ucap Tantri sembari menatap wajah Swastika. Alisnya bertaut, gadis itu tampak bingung. “Kenapa?“

Swastika tak menjawab ia tersenyum sembari mengeluarkan handphonenya.

“Tantri!“

“Ya,” jawabnya sembari menoleh ke asal suara, Aldi memanggil, anak fakultas ekonomi yang gedungnya bersebelahan dengan fakultas seni. Laki-laki itu sering datang ke kelas Tantri. Alasannya untuk bertemu Fajar. Teman SMA nya yang memang berada di kelas ini.

Namun, Tantri tahu itu cuma alasan, yang sebenarnya terjadi adalah, Aldi sering datang untuk menemui Swastika. Mencoba mendekati sahabatnya itu.

“Nih, buat kamu!“ Aldi menyodorkan satu batang coklat merk ternama yang diikat pita. Biasanya ia selalu memberikannya pada Swastika. Tantri menatap sahabatnya yang masih betah menatap handphone.

“Yakin buat aku? Bukan buat Tika?“

“Enggak, itu buat kamu. Terima, ya!“ ucapnya Aldi dengan wajah bersemu, lalu ngeloyor pergi ke bangku Fajar. Sesekali mencuri pandang ke arahku sambil senyum-senyum.

“Yee ada yang lebih cantik lo deketin. Gak setia lo.“ Perkataan Fajar terdengar nyaring di telinga Tantri. Aldi tampak sungkan menatap ke arah gadis itu.

“Paan sih, lo!“

Ia geleng-geleng. Menatap coklat yang biasanya sering ia makan itu. Karena saat Aldi memberikannya pada Swastika. Gadis itu selalu membaginya dengan Tantri.

“Tri!“ panggil Swastika membuatnya menoleh. Menghentikan kegiatan Tantri melambaikan tangan pada beberapa lelaki yang lewat di depan kelas.

“Kenapa?“

Toko M153 (Serum Terkutuk)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang