Dandi menyusuri jalanan bersama Swastika. Setelah turun dari bus beberapa menit lalu, mereka mulai berjalan masuk ke sebuah jalan. Rumah-rumah berjajar di sana.
Dandi celingukan, menoleh ke samping di mana Swastika berada. Gadis itu tak ada tanda-tanda berhenti melangkah. Hingga tiba di persimpangan dengan lampu jalan yang menjulang tinggi mereka berhenti.
Swastika tiba-tiba saja balik badan, menatap Dandi dengan lekat.
"Dengar, mungkin Tantri tak akan mau bertemu denganku mengingat hubungan kami agak sedikit buruk. Ya, kau tahu aku telah bertengkar dengannya jadi aku akan tunggu di sini dan kau yang akan masuk ke sana, bagaimana?"
"Aku? Sendirian? Bukankah kau bilang akan menemaniku?"
"Tadinya begitu, namun setelah kupikir-pikir lagi jika dia melihat wajahku, maka sebelum pintu rumahnya terbuka lebar maka ia akan menutupnya dengan keras."
"Tapi Tantri juga tak suka melihatku. Jangankan dirimu, aku juga berpikir hal yang sama sebenarnya."
Alis Swastika bertaut. "Kalian juga bertengkar?"
"Bukan, ehm ... masalahnya sedikit pelik. Jadi begini, sebelum kejadian ini, aku memang melihat sosok mengerikan yang menempel di punggungnya yang dipenuhi energi jahat. Salah satu kenalanku menyarankan untuk memberitahukan hal ini pada Tantri agar dia berhati-hati."
"Sebenarnya kau sudah memperingatkan hal ini padanya?"
"Jauh sebelum aku terlanjur masuk dan dalam bahaya seperti ini. Ikut campur urusannya malah membuatku juga ikut terlibat dalam perjanjiannya dengan sosok itu. Tapi, mau tidak mau aku harus melakukannya. Atas permintaan seseorang."
Dandi melirik ke samping, berjarak sedikit jauh darinya Selena berdiri sembari menatap pohon mangga di sampingnya. Sama sekali tidak mau menatap wajah Dandi.
Lelaki itu menghela nafas. "Intinya sudah terlanjur dan aku harus menyadarkan Tantri untuk menghancurkan serum itu secepatnya karena hanya aku yang tahu apa dampak yang terjadi jika hal ini tak segera diatasi. Kau tahu Swastika, nyawaku berada dalam bahaya sekarang."
"Lalu apa responnya saat kau memperingatkan tentang bahaya ini?"
"Seperti yang bisa ditebak, dia marah mengatakan aku adalah orang aneh dan ... kami tak pernah bertegur sapa lagi setelah itu."
"Terus bagaimana kau akan membujuknya sekarang? Dia mana mungkin mau menyerahkan serumnya begitu saja mengingat perlakuan Tantri sebelumnya padamu."
"Aku juga tidak tahu, aku nekat saja ingin menemuinya karena sudah tak ada waktu lagi. Dan karena kau berniat membantuku, kukira hal ini akan jadi lebih mudah. Setidaknya dengan adanya dirimu aku bisa menemui Tantri."
"Kau salah mengira kalau soal itu, sedangkan pesan yang kukirimkan padanya sampai saat ini juga belum dibalas sama sekali."
Keduanya saling pandang, lalu menghela nafas perlahan.
"Ehm!"
Dandi dan Swastika tersentak kaget, berbarengan menoleh ke belakang. Seorang gadis SMA dengan tas di punggungnya menatap kedua orang itu dengan bingung.
"Sasya," ucap Swastika seketika. Dandi melirik Swastika seketika saat mengetahui kalau Swastika mengenali gadis SMA ini.
"Kak Tika sedang apa di depan rumah? Mau ketemu Kak Tantri?"
Swastika tersenyum canggung. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal sembari menatap Dandi. Bingung harus mengatakan alasan apa.
"Sebenarnya ...." Perkataan Swastika terputus, ia menggaruk dahinya sembari menyentuh ujung sepatu Dandi, meminta bantuan lelaki itu.
"Sebenarnya?" ulang Sasya menunggu.
"Kami mau kerja kelompok. Tugasnya baru diberikan dosen tadi dan harus dikumpulkan besok. Kami harus mengambil foto sebagai bukti kalau dia ikut mengerjakan tugas ini. Jadi, boleh kami bertemu dengan kakakmu sekarang?"
Dandi berucap cepat, tanpa jeda pada kalimatnya. Membuat Sasya terbengong-bengong. Ia menatap bergantian pada Dandi dan Swastika.
"Baiklah ... ayo masuk, akan aku panggilkan Kak Tantri. Sebenarnya ia sedang sakit jadi berisitirahat di kamarnya."
Sasya berjalan mendahului sembari membuka pintu pagar rumah, disusul Dandi dan Swastika di belakangnya. Keduanya bernafas lega karena punya cara untuk bertemu Tantri dengan mudah.
"Kak Tri," panggil Sasya ketika ia berada di depan kamar kakaknya itu. Tak ada sahutan, Sasya mencoba mengetuk pintu kembali.
"Masuk!" seru Tantri dari dalam kamar. Ia mengalihkan pandangan pada ponsel di tangan saat Sasya masuk ke dalam kamarnya. "Ada apa?" tanya Tantri lagi.
"Kau sudah baikan?"
"Sedikit."
"Bisa bangun?"
"Bisa."
"Kalau begitu keluarlah, ada teman-temanmu yang mencari. Katanya kalian harus mengerjakan tugas dan kehadiranmu diperlukan sebagai anggota kelompok."
"Tugas?" tukas Tantri dengan bingung. Ia kemudian bangkit dari atas ranjangnya sembari memegangi dahi. "Siapa mereka?"
"Kak Tika dan satu orang lelaki, kalau itu aku tidak tahu namanya tapi dia cukup tampan."
"Kau ini!" Tantri berdecak kesal ke arah adiknya itu. Sasya hanya terkekeh sembari berjalan keluar dari kamar Tantri.
"Cepatlah keluar, mereka sudah menunggu cukup lama. Atau kau tidak akan mendapatkan nilai karena tidak ikut mengerjakan tugas." Sayup-sayup suara Sasya masih terdengar kala gadis itu menjauh dari kamar Tantri.
Dengan langkah malas, Tantri keluar dari kamarnya. Dahi yang tergores masih terasa nyeri dan ia juga masih demam. Mengetahui yang ingin bertemu dengannya adalah Swastika membuat ia merasa enggan.
Namun, karena Sasya mengatakan ini tentang tugas, mau tidak mau ia harus menemui mantan sahabatnya itu. Ya, Tantri sudah tak mau lagi menyebutnya sebagai sahabat sekarang.
Sejenak langkah Tantri terhenti saat melihat siapa yang duduk di ruang depan. Tak hanya Swastika yang enggan ia temui, tapi Dandi lelaki aneh itu juga ada di sana. Duduk di samping Swastika.
“Bagi aja tugasnya, apa yang harus aku kerjain biar gak enek lihat kalian ada di rumahku," tukas Tantri sembari melipat tangan di depan dada. Ia mendongak angkuh, sama sekali tak mau bertatapan dengan kedua orang itu lama-lama.
Swastika terdiam, menatap Tantri cukup lama. Tatapannya terpaku pada dahi dan pelipis sahabatnya itu. Ada perban dengan bercak kecoklatan menempel di sana.
"Tri, kamu sedang sakit?" tanya Swastika dengan suara pelan. Jujur ia sedikit khawatir, apalagi melihat wajah pucat Tantri.
Sementara Dandi sedari tadi diam di kursinya. Menelisik Tantri dengan sosok di belakang punggung gadis itu yang tampak semakin besar.
Mata sosok menyeramkan di punggung Tantri itu menatapnya tajam, mengikuti gerakannya yang berulangkali menggeser duduk karena tidak nyaman. Aura di sekitar Dandi sekarang juga luar biasa dingin dan pekat. Sekilas diliriknya pintu masuk di mana Selena tak berani masuk ke dalam.
Dua energi jahat sedang bersatu sekarang. Miliknya dan milik Tantri. Wajar suasananya tak enak begini.
"Gak usah banyak basa-basi deh, serahin aja tugasnya kalau gak sama aku biar aku yang kerjain semuanya. Enek lama-lama lihat wajah kalian ini."
Dandi dan Swastika saling pandang.
"Sebelum itu, serahin serum yang kamu pakai itu Tri! Kita harus menghancurkannya," ucap Dandi kemudian membuat Tantri terbelalak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko M153 (Serum Terkutuk)
HorrorMenjadi cantik dengan cara instan. Siapa yang tidak mau. Hanya butuh tiga tetes darah saja. Namun, benarkah instan? Atau malapetaka malah terjadi usai kecantikan itu datang?