Cermin

45 4 1
                                    

Bergidik geli, Tantri menggoyang-goyangkan kepalanya agar belatung-belatung itu turun dari sana. Ia bergidik geli sembari melompat kecil saat tak sengaja seekor belatung menggeliat di sekitar mulut.

Namun, seolah tak ada habisnya belatung itu masih terus berjatuhan. Kesal ia menyiram dahi yang masih menampakkan luka basah itu dengan air.

Perihnya membuat ia menggenggam erat pinggiran westafel sembari memejam. Bahkan ia hampir menangis karena perihnya membuat merinding sekujur badan.

Tantri mendongak, untuk melihat kondisi wajahnya sekarang. Luka itu kembali menganga, menampakkan kulit daging yang terkelupas dengan cairan darah segar yang mengalir. Makhluk kecil yang hobi menggeliat itu juga tak kunjung sirna. Masih ada di sana menggeliat tak sopan.

Tantri memejam sesaat sembari menguasai diri. Ia menggosok kuat dahinya dengan air. Sudah tak peduli lagi dengan rasa sakit yang menimbulkan nyeri luar biasa. Setidaknya belatung itu sudah berkurang. Hanya menyisakan beberapa saja karena ia tak tahan melihat belatung itu.

Tantri melihat kembali dahinya, hanya tinggal dua atau tiga belatung lagi. Ia bergidik ngeri. Entah dari mana datangnya belatung-belatung ini padahal lukanya tertutup sangat rapat juga tidak bernanah sama sekali.

Tantri menghela nafas, mengambil belatung itu dengan ujung jari. Mengamitnya satu persatu dan membuangnya secara kasar ke dalam westafel. Mengairinya dengan air kembali.

Ia mengusap wajah yang tampak kacau ini dengan ujung baju. Dilihatnya luka di dahi yang masih menganga lebar. Sudah tak ada belatung di sana, tapi luka yang menganga itu mengalir cairan merah yang tak kunjung berhenti.

Sekilas ia menatap pada perban yang ada sedikit belatung di atasnya. Tak mungkin ia memakai kembali perban yang sudah lecek dan dipenuhi makhluk menjijikkan itu. Jangankan memakai, untuk memegangnya saja ia sudah tak sanggup lagi.

Tantri memutuskan untuk keluar dari kampus. Dalam keadaan seperti ini. Tak mungkin ia kembali ke dalam kelas. Keadaannya kacau dengan luka menganga dan rambut lepek terkena air. Ia tak akan sanggup untuk hadir sekedar duduk di kelas.

Tantri berjalan cepat, bahkan setengah berlari agar tak ada yang melihat atau bahkan mengenalinya. Tak sudi meperlihatkan penampilan sejelek ini. Wajahnya ia tutup dengan rambut yang tergerai.

Masih pagi jika ia pulang ke rumah. Ibunya juga pasti akan bertanya mengapa ia pulang begitu cepat. Tas, dompet serta ponsel  ia tinggalkan dalam kelas tadi.

Satu-satunya cara, ia harus menunggu. Menunggu jam kuliah selesai dan kembali untuk mengambil barang-barangnya. Setidaknya untuk istirahat di sebuah ruangan sembari mengobati lukanya.

***

Pukul sebelas siang jam kuliah telah berakhir. Namun ia tak juga beranjak dari gedung belakang kampus. Menunggu kira-kira satu jam lagi agar tak ada lagi penghuni yang ada dalam kelas. Dengan begitu Tantri lebih leluasa untuk masuk ke sana dan mengambil tasnya tanpa menjawab pertanyaan orang-orang yang penasaran kenapa ia bolos kelas.

Gedung tempat ia berada sekarang adalah ruang kuliah tidak terpakai yang sekarang beralih fungsi menjadi gudang. Ada banyak barang-barang di sini. Untungnya Tantri juga menemukan perban yang masih baru dan melilitkannya dengan asal di dahinya.

Setidaknya itu ia lakukan agar luka menganga itu tak lagi mengeluarkan darah. Tantri juga menemukan sebuah kursi yang walaupun sedikit berdebu, setidaknya bisa ia gunakan untuk beristirahat. Dan yang paling penting juga tak ada satupun orang yang akan datang kesini.

Tantri melirik arloji di tangan kiri. Masih pukul sebelas lewat lima belas menit. Waktu yang cukup lama ia  habiskan untuk berdiam diri. Terasa jenuh dan sangat membosankan.

Ia memutuskan bangkit untuk berkeliling gudang ini guna membunuh waktu. Mulai melihat-lihat satu persatu barang yang ada di sana.

Kursi yang sudah rusak. Papan tulis yang retak di pinggirannya. Juga banyak lukisan-lukisan yang menurut ia sangat bagus. Namun, entah kenapa diletakkan di dalam sini. Padahal kalau dipajang di beberapa kelas pasti akan menambah keindahan kelas.

Sampai, pandangannya tertuju pada sebuah cermin besar yang ditutup sedikit oleh kain hitam. Tantri mendekat dan menyibak kain tersebut.

Cermin dengan ornamen antik. Namun agak kusam di beberapa sisi. Ia mendekat untuk melihat wajahnya. Melihat tampilannya sekarang yang cukup kacau di sana.

Cukup lama Tantri menatap sampai ia mengerjap demi melihat sesuatu yang agak aneh. Sedetik kemudian ia menoleh ke belakang. Tak ada apapun di sana.

Aneh, padahal ia tadi melihat sesuatu, seperti bayang seorang wanita yang tengah mengintipnya. Tapi, yakin itu hanyalah halusinasi, Tantri beralih menatap ke depan.

Setelahnya ia malah terpaku di tempat.

Dari cermin yang terpajang di depan Tantri, ada sosok wanita yang berdiri di belakangnya. Begitu ia menoleh ke belakang kembali sosok itu tidak ada.

Jantungnya berdegup kencang, meneguk ludah dengan susah payah. Ia sedang berada di gudang ini sendirian. Lantas siapa wanita itu?

Melalui cermin, Tantri menatap, wanita itu masih ada di sana menatap tajam ke arahnya tanpa berkedip atau mengalihkan pandangan sama sekali. Kulit wajahnya pucat dan sedikit keriput hingga menggelambir. Membuat ia merasa jijik seketika.

Tantri menggeleng, berharap itu hanyalah halusinasi. Namun, saat tiba-tiba sosok itu berjalan mendekat ke arahnya, segera ia menolehkan kepala ke belakang. Masih, tak ada siapa-siapa.

Namun, kenapa bayangannya di dalam cermin tampak jelas di mata Tantri. Lalu, sekarang wanita yang ia lihat dalam cermin itu memutar kepala. Menggerakkan kedua tangan dan kakinya. Menimbulkan suara gemertak tulang yang sedikit membuatnya ngilu.

Tantri menutup telinga. Dengan mata terpejam. Tubuhnya lemas seketika. Saat wanita itu mulai memutar badan, meliukkan tubuh dan….

Mulai merangkak ke arahnya.

“AAAAAAAA….“

Tantri berteriak, sontak jatuh terduduk.

Pundaknya di sentuh sebuah tangan. Teriakannya semakin menjadi. Tantri meronta sembari menggelengkan kepala. Kejadian ini membuat ia deja vu. Teringat saat Tantri mengalami mimpi buruk.

“Kak!“

“Kakak, kenapa?“

Nafasnya terengah, dengan mata membuka. Ia lihat dari cermin bukan sosok wanita itu lagi yang berada di belakangnya. Melainkan orang asing.

“Kak?“

Tantri menoleh, seorang perempuan yang ia perkirakan seumuran dengannya sedang menatap dengan raut khawatir. Lama Tantri menatapnya hingga gadis itu merasa sedikit risih. Kali ini, bisa ia pastikan yang satu ini adalah manusia.

“K--kau lihat ada wanita di sini?“ tanya Tantri sembari mencari. Perempuan itu menggeleng. Ia membawa patung anatomi tubuh di tangannya.

“Dari tadi aku masuk. Cuma ada kakak di sini. “

“Benarkah?“

“Iya, apa yang kakak lakukan di gudang kosong begini? Sendirian lagi.“

“Ah, aku cuma… melihat-lihat,” ucap Tantri sembari mengatur nafas. Menetralkan jantung yang berdetak tak karuan.

“A—aku diluan,” tukas Tantri beranjak menuju pintu keluar gudang. Sekilas menoleh lagi ke arah cermin itu dan melihat sosok wanita keriput dengan tulang  patah itu masih berada di sana. Sedang menyeringai ke arahnya.







Ada yang nungguin gak sih?. Jangan lupa vote dong, biar semangat nulisnya  😊

Toko M153 (Serum Terkutuk)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang