Kuliah telah berakhir dengan cepat. Hari ini satu dosen pada mata kuliah jam terakhir tidak masuk. Beberapa teman di kelas sudah ada yang keluar sementara Tantri masih betah berada di sana sembari memainkan ponselnya.
[Kamu di mana?]
Kirimnya pada Dimas. Tak berselang lama pesan itu bercentang biru, Dimas membalas.
[Di kelas, kenapa?]
[Kelasku sudah berakhir, mau ke luar?]
[Sebentar lagi, ya, tunggu saja di situ nanti aku jemput]
[Oke]
Tantri menyimpan ponselnya, membereskan buku-bukunya. Sampai telat menyadari kalau Swastika kini berdiri di hadapannya.
"Ada apa lagi?" tanyanya malas.
"Aku mau minta maaf."
"Untuk?"
"Semua perlakuanku yang kamu anggap buruk."
Tantri berdecih, ia tersenyum miring. "Setelah semua yang terjadi bahkan kamu gak minta maaf dengan benar."
"Maksud kamu?"
"Lupain! Anggap kita gak pernah berteman sama sekali karena aku udah muak, Tik. Aku gak bahagia sejak temenan sama kamu!"
"Tri!" panggil Swastika dengan suara keras. Namun Tantri tak menggubris, dengan cepat hilang dari pandangan Tika. Membuatnya menghela nafas frustasi.
***
"Bete gitu, kenapa? Ada masalah?" tanya Dimas saat mereka sudah berada di cafe salah satu mall siang ini selepas pulang kuliah tadi. Dimas mengajaknya makan, Tantri dengan senang menyetujui.
"Biasalah karena Tika, sejak aku jadian sama kamu dia cari masalah mulu," ucap Tantri asal sembari menyuap makanannya.
"Beneran? Belum move on kali dari aku."
"Ih, sok ganteng!"
"Memang, kalau gak, kamu gak bakalan kepincut."
Tantri mencibir, namun sekejap kemudian ia tersenyum.
Brukk!
"Arghh ya ampun!" teriaknya kesal saat tak sengaja seorang waitress yang sedang membawa nampan berisi minuman jatuh di dekatnya.
Dan salah satu minuman itu tersiram tepat mengenai wajahnya.
"Ya ampun, Mbak, maaf-maaf! Saya gak sengaja!"
Tantri berdecak tak suka, mulutnya terbuka baru akan melayangkan kemarahan. Saat diliriknya wajah Dimas yang tampak terkejut saat melihat wajahnya. Tantri tahu, ada yang salah.
Tangannya terulur meraba wajah, menyadari ada yang berubah. Apalagi teringat ia kemarin malam, saat membasuh wajah ternyata efek serum menghilang.
Tantri terbelalak, ia tahu keadaannya tengah genting. Wajahnya yang tersiram air ini ... mungkin saja telah berubah jelek kembali.
"Mbak, maaf biar saya ...." Waitres itu mengulurkan secarik tisu, bersedia membatu Tantri karena merasa bersalah. Namun, secepat kilat Tantri bangung dari duduknya dan melesat pergi.
"Minggir!" serunya dengan keras berjalan cepat menuju toilet tanpa menghiraukan panggilan dari Dimas.
Segera ia masuk ke dalam toilet yang untungnya saat itu tengah sepi. Tantri buru-buru mengunci toilet tersebut dan berlari ke arah cermin. Menatap wajahnya dengan mulut menganga lebar.
Sesuai dugaannya tadi, wajahnya telah berubah. Menjadi jelek seperti semula. Tantri menggeleng tak percaya.
"Pelayan sialan!" umpatnya kesal sembari membuka tasnya dengan kasar. "Hampir saja image-ku sebagai wanita cantik jatuh di depan Dimas. Aku harus memberinya pelajaran!"
Ia mengambil serum yang memang sengaja ia bawa untuk berjaga-jaga jika hal ini terjadi. Tak sangka saat kencan dengan Dimas pula.
Ia membuka tutup botol itu dan menuangkan setetes cairannya ke wajah.
Wush!
Tak!
Tantri tersentak, baru saja akan mengoles pintu bilik yang persis berada di belakangnya terbuka dengan lebar. Seolah dihentakkan dengan lebar oleh sesuatu.
Tak ada siapapun di sana.
Tubuh Tantri gemetar, ia menatap pintu itu lekat. Mempertajam telinganya karena ada sesuatu yang bergerak dari dalam wc, membuat kloset itu tampak bergetar.
Ia perlahan mulai memasukkan serumnya kembali ke dalam tas dan menguncinya seiring perasaan tidak enak mulai menjalar dalam dada.
"A--apa itu ....?" tanyanya sembari memicing saat sesuatu muncul dari dalam kloset.
Sebuah tangan putih pucat dengan kulit keriput muncul dari sana. Ya, Tantri tak salah melihat, itu memang sebuah tangan yang merayap keluar dari dalam kloset.
Ia beranjak ke arah pintu toliet, hendak membuka namun ternyata pintu itu sedikit macet. Kunci yang terdapat di pintu tak mau bergerak sama sekali meski Tantri sudah berusaha untuk membukanya.
"Ayolah!" seru Tantri panik. Apalagi saat tangan pucat itu mulai keluar dari toilet, suara tangan yang basah beradu dengan lantai keramik, menimbulkan suara bercakan yang membuat merinding sekujur badan.
Tantri gemetaran, tangan itu muncul bersamaan sengan makhluk menyeramkan di baliknya. Sesosok mahkluk berambut panjang yang menutup hampir seluruh wajah tengah merangkak ke arahnya.
"Tolong!" teriak Tantri ketakutan. Ia masih berusaha memutar kunci.
Klik.
Tap ... tap ... tap ....
Tepat saat Tantri berhasil membuka kunci tersebut, sosok itu merangkak dengan cepat ke arahnya. Secepat kilat Tantri menutup pintu toilet itu kembali, memastikan pintu tersebut tak bisa terbuka, ia menahan dengan tangannya. Nafasnya terengah-engah dengan keringat mengalir.
Brak!
Tantri terlonjak ke belakang, pintu tersebut ditabrak sesuatu yang keras dari dalam. Ia celingukan ke sana ke mari. Anehnya, mall yang ramai ini, entah kenapa satupun tak ada yang masuk ke dalam toilet.
Tantri buru-buru berbalik, dengan langkah terseok meninggalkan toilet tersebut. Terdengar bunyi klik pintu terbuka setelah ia sudah pergi agak jauh membuat tubuhnya seketika merinding hebat.
Ia berlari, membelah kerumunan orang-orang yang sedang berlalu lalang di luar sana sembari sesekali menoleh ke belakang.
Sosok itu tak lagi mengikutinya,
Tantri berhenti, menopang tubuhnya di salah satu tiang. Tubuhnya terasa lemas dengan nafas terengah. Tak sadar ia orang-orang kini mulai menatapnya dengan pandangan sinis.
Tantri tak sadar, saat ponselnya berbunyi dan ia melihat dirinya dari pantulan layar hitam itu barulah Tantri tahu arti dari tatapan orang-orang itu.
"Astaga, mukaku," bisiknya lirih sembari mengusap wajahnya. Buru-buru ia menutupi wajah dengan rambut yang tergerai. Ia lupa, sesaat sebelum sosok yang menakutinya itu muncul, ia belum selesai memakai serum.
Ting!
Tantri menatap layar ponselnya, pesan masuk setelah panggilan tadi. Bar layarnya menunjukkan pesan dari Dimas.
[Tri, kamu di mana? Kenapa lama sekali?]
[Aku di ....]
Sejenak Tantri mengurungkan niatnya membalas pesan. Dengan wajah seperti ini ia tak mungkin menemui Dimas. Bagaiamana jika lelaki itu ilfeel saat melihatnta telah berubah menjadi jelek?
Tidak, Tantri tidak bisa. Ia harus mengoleskan serum itu lagi sebelum menemui Dimas.
Tantri menunda membalas, ia mengeluarkan serumnya kembali. Sudah hendak meneteskan cairan tersebut, namun tatapannya malah bertemu pandang dengan sosok yang ia lihat di kamar mandi tadi.
Tangganya gemetaran, sosok itu menatapnya sembari menyeringai di antara lalu lalang orang-orang di mall.
"Gak bisa," ucapnya dengan suara bergetar. "Kenapa sosok itu selalu menggangguku?"
Tantri memasukkan serum itu kembali ke dalam tasnya. Beranjak dari tempatnya sembari menoleh ke belakang, sosok itu masih menatapnya dengan seringai yang sama.
[Dimas maaf, aku ada urusan, aku harus pulang sekarang]
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko M153 (Serum Terkutuk)
HorrorMenjadi cantik dengan cara instan. Siapa yang tidak mau. Hanya butuh tiga tetes darah saja. Namun, benarkah instan? Atau malapetaka malah terjadi usai kecantikan itu datang?