“Makasih ya, udah mau antar sampai sini.“
Dimas mengangguk, setelahnya mengacak rambut Tantri dan berlalu dari hadapan wanita itu. Meninggalkan beberapa tatapan kecewa dan bingung dari beberapa orang sekitar.
Semua orang tahu sebelumnya Dimas jalan dengan Swastika. Melalui hal itu semuanya menduga kalau Swastika dan Dimas memang berpacaran.
Orang-orang di kampus banyak yang mendukung pasangan Dimas dan Swastika. Si cantik dari fakultas seni dengan si tampan dari fakultas hukum sungguh serasi.
Namun kini yang membuat terkejut adalah Dimas datang dengan membonceng Tantri. Si gadis berwajah tak cantik yang baru beberapa hari lalu tiba-tiba saja datang ke kampus dengan wajah yang berubah. Hal itu sontak membuat geger orang-orang.
Lalu kini datang dengan bersama Dimas membuat orang lain menduga-duga. Topik tentang Tantri tak sudah-sudah untuk dibicarakan
“Tri, kamu jadian sama Dimas?“ tanya salah satu diantara teman yang ada di kelas saat Tantri baru saja masuk. Wanita itu mengangguk dengan bangga dan senyum sumringah.
“Tri kamu serius?“ tanya Aldi yang tadinya berada di suut kelas kini menatapnya dengan wajah kecewa.
“Iya, memangnya kenapa, sih?“
“Kamu gak ngasih aku kesempatan dulu dan langsung nerima Dimas begitu saja?“
“Cih …. Memangnya kalau aku kasih kesempatan, kamu bakalan mau jadian sama aku.“
Laki-laki itu tak menjawab, namun pipinya bersemu merah. Tantri mengibaskan rambut karena merasa di atas angin. Sudah berapa orang yang menyukainya dan ingin menjadikannya sebagai pacar. Bahkan ia tak menyangka Aldi begitu menyukainya.
Tantri berdehem, bertingkah centil dengan memilin rambutnya.
“Kalau begitu berusahalah, Di. Kalau kau bisa membuatku jatuh cinta, aku akan meninggalkan Dimas dan jadian denganmu.“
“Kau serius?“
Tantri mengangguk tanpa ragu, menjawab tanpa berpikir. Lalu berjalan menjauh dan duduk di bangkunya. Samar-samar dari arah perkumpulan para gadis di sudut kelas yang lain, Tantri mendengar bisikan mereka yang menyinggungnya dengan menyebutkan nama Swastika beberapa kali.
“Dimas, kan, pacarnya Swastika. Masa sekarang jadian dengan Tantri? Tuh anak ngerebut pacar sahabatnya sendiri?“
“Iya, kan? Gila, gak banget sih. Wajah cantik tapi hati busuk sama aja.“
"Lagipula lihat deh, masa dia bisa tiba-tiba cantik begitu. Ada yang ngerasa aneh gak, sih?"
"Ih, gak boleh gitu kali aja dia make up," ucap salah seorang dari mereka yang masih berpikir positif.
Tantri menoleh seketika dengan pandangan sengit. Suara bisik-bisik itu langsung terhenti. Ia mengalihkan pandangan kembali menuju bangkunya. Kali ini Jasmine datang dan ia memilih duduk di bangku belakang sebelah Dandi.
“Tri!“ Langkah wanita itu tertahan saat Swastika memegang lengannya. Tantri berdecak sembari memutar bola mata. Menoleh ke arah Swastika.
“Apa sih?“ Ia menepis tangan wanita itu lantas menyilangkan tangan di depan dada.
“Kamu jadian sama Dimas?“ tanya Swastika padanya membuat Tantri berdecih seketika.
“Iya, kenapa? Kamu merasa tersaingi?“
“Bukan begitu, Tri, aku ….“
“Udahlah Tik, bukan karena kamu udah putus dari Dimas lantas dia sekarang jadian sama aku. Dari awal yang dekat dengan Dimas itu aku, bukan kamu. Jadi jangan merasa sok ngelepas Dimas buat aku. Aku tahu, itu yang kamu pikirkan, kan?“
“Tri, bukan, kamu salah paham, aku cuma ….“
“Cuma? Cuma apa? Cuma mau buat aku jadi yang paling salah di sini? Kamu tahu sekarang mereka gosipi aku, kan?“ Tantri menunjuk perkumpulan wanita yang sedang menggosip di luar kelas dengan suara nyaring. Seketika suasana hening mendadak dan memperhatikan Swastika dan Tantri yang sedang berseteru.
“Udahlah Tik, aku muak, jangan ganggu aku lagi,” sambung Tantri kemudian berlalu dari hadapan Swastika dan berjalan menuju bangku belakang.
Tepat saat akan duduk, matanya tak sengaja bersitatap dengan Dandi yang sedang membaringkan kepala di atas meja. Sontak Tantri membuang muka sembari menghela nafas dengan berat.
Sementara Dandi hanya menggeleng saat melihat tingkah wanita itu. Ia seketika merubah arah pandangannya dan memilih membaringkan kepala menghadap dinding.
“Astaga Selena!“ pekiknya kaget sembari menegakkan punggung saat berbalik tadi Selena tiba-tiba saja berada tepat di depan wajahnya.
Beberapa teman sekelas yang mendengar teriakan Dandi termasuk Tantri seketika menoleh. Laki-laki itu hanya menggaruk tengkuk dengan perasaan tak enak. Ia hanya menangkupkan kedua tangan di depan dada, setelahnya menatap Selena yang kini berdiri di sebelahnya dengan tatapan sengit.
“Kenapa ngagetin sih?“ bisiknya dengan kesal.
“Maaf-maaf, aku tak sengaja.“
“Sudahlah, jangan mengacau! Pergi sana ke luar jangan menggangguku untuk saat ini. Orang-orang akan semakin beranggapan aneh denganku nanti,” ucap Dandi lirih sembari menatap ke depan.
Kerumunan para gadis yang sedang berbicara sembari berbisik-bisik di depannya sesekali menoleh ke arah Dandi. Sementara di ujung sebelah kanannya tepat di depan meja Tantri para kerumunan laki-laki juga tengah melakukan hal yang sama.
Dasar!
“Aku hanya ingin tahu Dandi.“
Laki-laki itu berdecak, memutar bola mata.
“Soal apa?“
“Pada hari di mana aku memintamu untuk menyadarkan gadis itu kalau dia sedang dalam bahaya.“ Selena menunjuk Tantri yang kini tampak sibuk dengan ponselnya. “Apa kau tidak melakukannya? Soalnya aku masih melihat sosok berwajah jelek itu di punggungnya.“
“Kau, kan, tahu sendiri aku melakukannya di depan toilet wanita dan dia sama sekali tak menghiraukanku?“
“Ya aku tahu, tapi apa kau tidak melakukannya lagi? Maksudku berusaha membujuknya?“
Dandi berdecak, menatap Selena dengan malas.
“Untuk apa? Dia juga tidak mau mempercayaiku walau aku berusaha meyakinkannya. Untuk apa aku bersusah payah berusaha melakukan hal itu bahkan orangnya sendiri juga tidak mau sadar?“ Dandi berucap lirih dengan suara tegas.
“Kalau kau mau, kau saja yang melakukannya!“ Ia kemudian bangkit dengan cepat hingga kursinya berderak nyaring. Beberapa kerumunan yang membicarakannya seketika terdiam saat Dandi melewati mereka. Setelah laki-laki itu ke luar barulah kerumunan itu mulai ribut kembali.
Dasar orang-orang munafik yang tak pernah berani untuk mengatakan hal-hal yang tak mereka sukai di depan orangnya langsung dan itu membuat Dandi muak. Apalagi Selena yang terus-terusan membujuknya untuk menyadarkan Tantri sedangkan ia tak akrab dengan gadis itu.
Sementara Selena hanya menatap kepergian Dandi dengan pandangan nanar. Kini tatapannya beralih pada Tantri dan sosok dibelakang punggung gadis itu yang sesekali menjulurkan lidah dengan air liur berwarna hijau.
Ia memejam sejenak dengan tangan terkepal. Sosok itu mengingatkannya akan sesuatu. Sesuatu yang membuatnya perasaannya kacau dengan rasa sesal dan sedih serta kecewa menjadi satu.
“Kalau saja aku bisa Dan, kalau saja aku masih hidup, aku pasti akan berusaha menghentikannya. Namun, semuanya sudah terlambat.“
Selena menghela nafas dengan wajah menunjukkan penyesalan teramat dalam. Ia melangkah dengan gontai sembari menembus dinding kelas menuju ke luar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko M153 (Serum Terkutuk)
HorrorMenjadi cantik dengan cara instan. Siapa yang tidak mau. Hanya butuh tiga tetes darah saja. Namun, benarkah instan? Atau malapetaka malah terjadi usai kecantikan itu datang?