Belatung

45 4 1
                                    

"Loh, teman-temanmu udah pulang Kak Tri?" tanya Sasya saat berpapasan dengan Tantri ketika gadis itu hendak masuk ke dalam kamarnya. Sasya celingukan ke ruang depan. Kosong.

"Udah," jawab Tantri datar.

"Cepet banget."

"Biarinlah, bukan urusanku juga," ucap Tantri ketus setelah itu masuk ke dalam kamarnya.

Ia kesal, sungguh. Pada dua orang yang merusak moodnya itu. Bisa-bisanya Dandi meminta serum berharganya begitu saja.

"Cih, memangnya siapa dia?" tukas Tantri sembari berbaring kembali di atas tempat tidur.

****

Dua hari kemudian, Tantri sudah bisa pergi ke kampus. Beberapa pasang mata menatapnya tanpa jeda. Tantri tersenyum lega karena masih banyak yang menganggapnya cantik. Tak sia-sia ia mengganti bentuk rambutnya.

Ia memotong poni untuk menutupi perban lukanya.
Tantri merapikan bentuk rambut baru yang ia punya. Sedikit menyentuh dahi yang masih diperban. Luka goresannya masih ada dan menimbulkan garis yang cukup panjang dan berbekas. Namun, sudah tak terlalu nyeri.

Ia berjalan menyusuri koridor masih dengan tatapan kagum beberapa orang. Khasiat dari serum itu masih bekerja. Ia memakainya tadi pagi dengan mengesampingkan luka yang ia punya.

Begitu masuk ke dalam kelas. Para penghuni kelas menatap ke arahnya. Menjadikan ia seperti sosok idola. Tantri menyibakkan rambut sembari jalan menuju bangku. Memilih duduk di bangku belakang yang kosong. Tak ingin duduk di sebelah Swastika.

Sudah pasti karena hubungannya dengan gadis itu yang tak akrab. Akan aneh jika Tantri duduk di sebelahnya. Apalagi kedatangan Swastika dan Dandi kemarin membuatnya semakin membenci gadis itu.

“Tri!“ panggil seseorang.

Suara itu membuat Tantri mendongak, di depan pintu sana ia lihat Dimas tengah berdiri sembari menatapnya lekat. Kini banyak pasang mata memperhatikan keduanya dengan iri.

Tantri tersenyum simpul, menyelipkan rambut di belakang telinga sebelum beranjak berdiri. Ia mendekati Dimas yang langsung menarik tangannya pergi. Tak sengaja berpapasan dengan Swastika yang baru saja datang. Tantri dengan acuh mengalihkan pandangannya.
.
"Lukamu sudah sembuh?" tanya Dimas dengan tatapan khawatir. Ia menatap wajah Tantri lekat. Tangannya terulur menyibak rambut gadis itu. "Kau mengubah gaya rambutmu untuk menutupi luka ini?"

"Sudah lumayan sembuh. Gimana? Bagus tidak? Bukankah ini membuat tampilanku jauh lebih cerah dari sebelumnya?" Tantri tersenyum lebar, menggerak-gerakkan poninya.

"Aku pikir kenapa kau tiba-tiba meninggalkanku beberapa hari lalu. Ternyata karena masalah ini. Kalau kau katakan dari awal, aku akan mengantarkanmu pulang, Tri."

"Aku tak mau merepotkanmu."

"Tapi kau pacarku."

Tantri bersemu, namun tak lama kemudian menatap Dimas dengan alis saling bertautan. "Tapi kau tidak datang menjengukku kemarin."

"Ah, soal itu." Dimas mengusap tengkuknya, ia mengalihkan pandangan dari tatapan Tantri. "Aku sibuk, sedikit ada urusan. Kau tahu aku hampir mendekati semester akhir, banyak persoalan yang harus kuselesaikan."

"Ya, tapi aku berharap kau datang saat aku sakit kemarin."

"Aku sudah mengirim pesan padamu."

Tantri tersenyum simpul, ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Ya sudalah, aku bisa bilang apa kalau pacarku mengatakan begitu."

"Jangan marah." Dimas merogoh kantungnya. "Ini coklat buatmu! Aku sengaja belikan supaya kau tidak marah lagi."

"Benarkah? Untukku?" Tantri sumringah, ia menerima coklat itu dengan senyuman lebar. "Kalau begitu akan kumaafkan."

Toko M153 (Serum Terkutuk)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang