Sakit.
Itu yang Tantri rasakan di sekujur tubuhnya saat ini. Luka di dahinya membuat tubuhnya juga seolah merasakan sakit yang sama. Suhu tubuhnya juga naik secara tiba-tiba hingga ia tidak masuk kampus pagi ini.
"Lagipula kamu ini sebenarnya kenapa sih, Tri? Tiba-tiba pakai luka di wajah kayak gini segala. Mana cukup dalam dan goresannya panjang lagi. Lihat, darahmu yang lumayan banyak ini!" tukas Ibu dengan kesal sembari mengelap luka di dahi Tantri dengan hati-hati. Sesekali meringis karena ikut merasakan perih melihat luka yang cukup lebar itu.
"Ngelindur kali Bu, orang Sasya bangunin tadi malam saja teriak-teriak terus seperti orang yang kesurupan." Sasya yang berdiri di ambang pintu ikut angkat bicara. Ia bergidik ngeri melihat luka kakaknya itu.
"Kegores paku saat kamu tidur, mungkin Tri," celetuk Tiara yang berdiri di dekat lemari. Ia menggeleng sembari berjalan keluar dari kamar adiknya itu. Merasa aneh juga prihatin sebab Tantri mengaku tiba-tiba mendapatkan luka.
Mustahil sekali, tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Tidak mungkin luka itu muncul begitu saja.
Sementara Tantri hanya terdiam sembari berbaring di atas ranjang dengan cermin di tangannya. Merasa percuma menjelaskan beberapa kalipun keluarganya tak akan percaya, kalau luka ini berasal dari makhluk mengerikan yang menggoreskan kuku di wajahnya.
Ia menatap wajah di balik cermin itu dengan frustasi. Masalahnya wajah cantik yang selama ini ia banggakan berubah menjadi jelek sekali. Apalagi dengan perban panjang di dahi hingga pelipisnya yang membuat wajahnya semakin tak karuan. Tak ubahnya seperti mumi.
"Sudah, istirahat saja, kamu gak kuliah hari ini, kan, Tri?"
"Gak Ibu, lagipula bagaimana mau kuliah dengan keadaan seperti ini? Tubuhku juga demam." Tantri beralasan, sebenarnya itu bukan faktor utama. Yang terpenting adalah ia tidak mau kalau teman-temannya melihat ia sedang berwajah jelek seperti ini.
"Sasya, kamu gak sekolah?" tanya Ibu kemudian menyadari Sasya masih berada di kamar Tantri. Gadis itu tengah memperhatikan serum yang ada di meja rias kakaknya dengan wajah penasaran. Mencari-cari keberadaan belatung yang kemarin ia lihat.
"Sekolah Bu, ini mau pergi."
"Ya sudah, ayo! Jangan di sini terus. Segera pergi sarapan sana, nanti kamu terlambat."
"Iya-iya," tukas Sasya kesal. Ia beranjak pergi mengikuti sang Ibu yang keluar dari kamar dengan menggaruk kepalanya. Sekilas ia menatap Tantri yang terus berkaca.
Aneh, padahal kemarin malam ia melihat dengan jelas kalau belatung-belatung itu ada di dalam serum sang kakak. Lalu, ini kenapa tidak ada sama sekali?
***
Pagi ini jam delapan kurang. Dandi sudah berada di kampus. Tak seperti kebiasaan ia sebelumnya untuk menelungkupkan wajah di atas meja. Kali ini Dandi mulai memperhatikan sekeliling dan melihat-lihat semua orang yang melangkah masuk ke dalam kelas.
Satu persatu hingga ia mulai mengenali dari separuh teman kelasnya. Hal yang sangat jarang terjadi karena sifatnya yang terlalu acuh.
Beberapa menit berlalu dan kegiatannya masih tetap sama. Terkadang membuat teman-temannya heran karena baru kali ini Dandi menampakkan muka.
Beberapa teman kelasnya berbisik-bisik melihat tingkah Dandi yang aneh. Lelaki itu terus memperhatikan setiap orang yang masuk ke kelas. Hingga dosen tiba dan seseorang yang ia tunggu juga tak kunjung datang.
Tantri, gadis itu yang Dandi tunggu sejak tadi.
“Benar yang kuucapkan, Tantri tak datang," ucap Selena, sedari tadi ia berdiri agak jauh di samping Dandi. Sejak membuka artikel merah Selena tak pernah mau dekat-dekat dengannya.
Dandi mengangguk, tadi pagi keduanya membahas hal ini. Tentang efek samping serum yang dipakai oleh Tantri. Selena terus mengatakan kalau Tantri tak akan lama merasakan kecantikannya. Berita buruknya, gadis itu tak datang membuat Dandi semakin yakin kalau yang dikatakan Selena benar adanya.
Gadis itu berada dalam bahaya, sama seperti dirinya yang hampir tertimpa plang iklan yang terjatuh kemarin. Membuatnya susah, karena untuk menghilangkan kutukan bahaya yang menimpanya ia harus menyelamatkan Tantri juga karena keduanya terhubung saat ini.
Artikel merah dan toko itu benar-benar kurang ajar.
“Firasatku mengatakan sesuatu terjadi padanya. Mengingat kemarin kau juga hampir celaka, kemungkinan ia juga mengalami hal yang sama."
"Maksudmu jika dia celaka aku juga akan celaka atau jika aku celaka maka dia juga akan celaka."
Selena menatap Dandi dengan dua alis bertaut. Meski ucapan lelaki itu sangat berbelit-belit ia tetap mengangguk.
“Lalu, aku harus apa sekarang?"
"Ya ampun!" Selena menepuk dahinya tak habis pikir. "Coba cari dia Dandi, ke rumahnya atau tanya pada temannya tentang keadaan Tantri sekarang."
"Swastika?" tanya Dandi pelan sembari menaikkan sebelah alisnya.
"Ya, dia yang paling dekat dengan Tantri."
"Tapi kulihat dia yang paling jauh sekarang. Swastika dan Tantri bahkan kemarin kulihat bertengkar," gumam Dandi.
"Ya setidaknya kau tanyakan padanya di mana rumah gadis itu supaya kita bisa mendatanginya. Semakin cepat semakin baik." Selena menghela nafas, melirik bayangan perempuan di belakang Dandi yang kini semakin membesar, lalu melihat wajah jelek itu yang kini menyeringai ke arahnya.
Selena bergidik, jujur mendekat ke arah Dandi sekarang ia sangat ogah.
Kali ini Dandi menatap Swastika. Gadis itu tengah duduk di kursinya sembari melamun, menatap kursi kosong di sampingnya, tempat di mana Tantri biasa duduk.
***
“Swastika!“ panggil Dandi usai kelas berakhir membuat gadis itu menoleh.
“Ya, ehm… Dandi bukan?“
Lelaki itu mengangguk, mengusap tengkuk. Memang tak banyak yang mengenalinya dalam kelas. Apalagi ia tak berusaha membaur dan memperkenalkan diri. Wajar kalau Swastika tak mengenalinya.
“Ada apa, Dan?“
“Oh, tidak. Kau mau ke kantin, kan? Aku ... hanya ingin ikut.“
Swastika mengangguk. Dandi tahu raut wajah gadis itu terlihat bingung. Sudah pasti, teman yang tak pernah mengajak bicara tiba-tiba sok akrab dengannya.
Belum lagi beberapa orang yang memperhatikan ia dan Swastika yang sedang berjalan beriringan. Beberapa dari mereka berbisik-bisik. Kemungkinan akan ada gosip setelah ini.
Swastika si gadis populer jalan dengan si Dandi yang aneh.
“Kau mau pesan apa? Biar aku yang antri,” tawar Dandi setelah mereka menemukan tempat duduk.
“Aku pesan sendiri.“
“Gak usah biar aku saja,” ucap Dandi memaksa.
Swastika terdiam, alisnya naik sebelah. Kemudian ia mengangkat bahu. "Ya sudah siomay saja.“
“Oke.“
Dandi beranjak menuju gerai siomay. Untuk mempercepat waktu ia juga memesan makanan yang sama. Padahal tadi sangat ingin pesan bakso Pak Abdul yang gerainya berada di sebelah siomay. Namun Selena yang dari kejauhan terus mengisyaratkannya untuk cepat-cepat membuat Dandi mengurungkan niat.
Lima menit menunggu, pesanannya dan Swastika selesai. Ia juga memesan es teh manis sebagai minumannya.
“Nih, punya kamu."
Swastika menerima. Dandi mulai melahap makanannya. Sementara sedari tadi Swastika seperti tak nafsu makan. Gadis itu malah menatap Dandi menelisik dan hanya menusuk-nusuk siomay di hadapan menggunakan garpu.
“Aku sedang tak ingin berburuk sangka, Dan.“
“Hm?“ Menaikkan sebelah alis. Dandi tak mengerti maksud perkataan gadis itu.
“Kita tak cukup dekat untuk makan bersama begini. Maaf jika aku menyinggungmu. Tapi, kulihat kau tidak punya teman. Apa sekarang kau berusaha mendekatiku?“
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko M153 (Serum Terkutuk)
HorrorMenjadi cantik dengan cara instan. Siapa yang tidak mau. Hanya butuh tiga tetes darah saja. Namun, benarkah instan? Atau malapetaka malah terjadi usai kecantikan itu datang?