34. INGIN BUBUR AYAM

473 23 51
                                    

"Anissa lagi, Anissa lagi... Kapan sih kamu berhenti membahas soal ini. Dia gak ada pentingnya buat aku!" ucap Sultan jengkel dengan pembicaraan Narulita.

Narulita cukup kaget karena jawaban Sultan. Lalu dia berbicara dengan nada tinggi, "Anissa gak ada pentingnya buat kamu, Mas? Sadar, Mas, sadar!! Dia itu juga istri kamu. Sudah sepantasnya sebagai suami, kamu memperhatikan dia."

"Narulita, cukup! Jangan ajari aku soal itu. Aku selalu memperhatikan Anissa disaat kamu tidak ada di sini. Kamu pikir, aku selama ini tidak bersikap peduli pada Anissa?!" Sultan hampir saja memukul Narulita jika dia tidak bisa mengendalikan emosinya. Lalu Sultan sedikit menggeram sambil menurunkan tangan kanannya.

Sultan sekilas melihat jam tangannya lalu mendesis. Sudah pukul setengah delapan pagi, itu artinya dia harus cepat-cepat datang ke kantor untuk melaksanakan meeting bersama klien yang akan dimulai jam delapan pagi.

"Aku pergi, gak ada waktu lagi untuk berdebat." Sultan pergi begitu saja dari hadapan Narulita yang terdiam.

Wanita itu memandangi punggung suaminya yang semakin menjauh sambil berkata dengan suara pelan, "Mas, semoga kamu sadar."

Tak lama setelah Sultan sudah sepenuhnya menuruni anak tangga, Narulita kembali masuk ke kamar. Dia cukup terkejut saat memandang Anissa yang sesenggukan di atas ranjang.

"Anissa, kenapa kamu menangis, kenapa?" Narulita berjalan tergesa-gesa mendekati Anissa lalu duduk dan menyentuh pundak Anissa.

Anissa mendongakkan kepalanya lalu menatap Narulita yang duduk di sampingnya. "Kak, apa aku sebaiknya pergi..." Anissa menggantungkan ucapannya. Dia bimbang bercampur dengan kesedihan.

"Apa yang kamu maksud?" Narulita jelas bingung dengan perkataan Anissa.

Anissa tidak menjelaskannya dan kembali berkata, "Kak Sultan sepertinya tidak mengharapkan aku lagi." Lalu dia mengusap air matanya yang sedikit mengalir.

Narulita mengusap-usap punggung Anissa sambil berkata pelan, "Kenapa kamu berpikiran seperti itu? Mas Sultan masih membutuhkan kamu. Ingat, ada janin yang belum lahir di kandunganmu, kalau kamu pergi, siapa yang akan merawat mu nanti. Tetaplah di sini, Anissa, tinggal bersama Mas Sultan."

"Tapi, Kak. Kak Sultan seperti tidak menghiraukan ku. Dia terlalu fokus sama pekerjaannya. Selama ini yang paling memperhatikanku hanya Bi Sari sama Bi Laksmi, termasuk Kakak juga." Anissa berucap sesuai pemikirannya. Dia tidak berbohong. Lalu dia kembali berucap, "Aku ingin sekali Kak Sultan lebih sering memperhatikanku daripada pekerjaannya."

Narulita iba mendengar penuturan Anissa, lalu dia memeluk Anissa untuk menenangkannya. Berada di pelukan Narulita membuat Anissa semakin menangis tersedu-sedu. Bayangan-bayangan tentang suami yang ia idam-idamkan hilang musnah ditelan fakta. Anissa menginginkan suami yang selalu perhatian dan memberikan kasih sayang, tapi faktanya tidak seperti yang ia harapkan. Menikah dengan Sultan memang membuat hidupnya makmur, segala kebutuhannya bisa terpenuhi di sini. Hanya satu kekurangannya, Sultan tidak pernah memberikan kasih sayang untuknya.

"Anissa, Kakak selalu berdoa untuk kamu dan Mas Sultan." Narulita berkata lirih sambil mengelus-elus punggung Anissa.

****

"Bagaimana Bi, Natan rewel?" Narulita masuk ke kamar sebelah yang bersebelahan dengan kamar Anissa.

Di dalam kamar ada Bi Laksmi yang sedang menjaga Natan. Dari jam tujuh pagi tadi bayi itu masih tidur. Bi Laksmi pun menoleh ke arah Narulita.

"Oh enggak, Nyonya, Den Natan nggak rewel. Dia anteng banget dari tadi, saya jadi nggak kerepotan. Bahkan tadi, saya masih sempat nyapu kamar," ucap Bi Laksmi dengan nada senang. Menjaga bayi yang tidak rewel memang menyenangkan hati.

Sultan Jatuh Cinta 2 : Istri Kedua [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang