Saat break 1, aku sampai dipapah oleh Mas Bram, drummer band ku saat menuju backstage. Itu karena perutku sangat sakit hingga kakiku mendadak lemah untuk sekedar diajak berjalan. "Ta! Astaga...Duduk dulu sini," ujar Komeng saat melihat kondisiku. "Meng. Ini kayak Dikta 2 tahun lalu, yang sampe thypus dan opname di rumah sakit kan?," bisik Ichan dan Komeng mengangguk. "Dokter Dini...Tolongin...," panggil Komeng pada dokter yang standby di backstage. Dokter tersebut langsung memeriksaku dan saat ia coba memegang area perutku untuk diperiksa, aku spontan menjerit karena sakit. "Ini dipegang sakit banget, Mas?," tanya dokter Dini padaku sembari memegang area ulu hatiku serta bagian bawah perutku. AKu hanya mengangguk karena sakit itu datang tanpa ampun. "Iya. Ini sepertinya ada peningkatan asam lambung dan..saya curiga ada kemungkinan usus buntu atau lainnya. Kita perlu pemeriksaan lebih intensif supaya pengobatannya tepat," ujar dokter Dini saat selesai memeriksa kondisiku. Ya. Suhu tubuhku saja nyaris 40 derajat Celcius dan tekanan darahku hanya 80/60 mmHg. "Beberapa hari ini udah sering sakit, dokter. Saya minumin pain killer dan obat maag aja," ujarku sambil menatap wajah dokter yang memeriksaku. "Nah. Kalau minum pain killer terus, kan emang berisiko juga, Mas. Tetap harus kita periksa detail, ya," sahut dokter Dini dan dari nada bicaranya, ia sepertinya dokter yang sangat sabar plus hatinya lembut. Ya..beda jauh dengan Sita yang kalau bicara denganku, nyaris tak pernah lembut. Ia hanya bisa menyuruh dan menyuruh saja tanpa mau mendengar pendapat serta perkataanku. "Dokter. Kalau abis ini kami ke rumah sakit, bisa gak?," tanya Komeng pada dokter berwajah imut itu. "Bisa. Kebetulan, hari ini saya sampe jam 8 malem kok prakteknya," jawab dokter Dini. "Nah. Mas Dikta minum dulu, biar lebih rileks ya," ujar dokter Dini dan ia membantuku untuk minum, 1 hal yang tak pernah dilakukan oleh Sita walau kami sudah 5 tahun pacaran. "Makasih, dokter," ucapku pelan. "Iya, sama-sama. Ini sementara saya kasih obat demam, pereda nyeri dan vitamin. Nanti kalau udah dilakukan pemeriksaan lengkap, baru deh, bisa dikasih obat lainnya," sahut dokter Dini. "Iya. Dokter. Makasih banyak ya. Maaf jadi repot nih, dokter," balasku sambil tersenyum pada dokter yang cantik serta ramah tersebut. "Gak masalah. Itu tugas saya, Mas," ujar dokter Dini. Tak lama, aku kembali harus tampil dan kondisiku sedikit membaik walau sakit di area perut masih saja kurasakan. Ini membuatku beberapa kali harus memegangi area perut saat tampil di sesi kedua. Beberapa kru acara sempat melihat, termasuk Ichan dan manajerku, Komeng. "Meng. Dikta sampe kayak nahan sakit banget loh. Mana dia harus nemenin Sita abis ini," bisik Ichan. "Iya sih. Duh. Semoga aja dia bisa kuat sampe selesai acara," balas Komeng. Usai tampil, rupanya Sita menghampiriku saat aku sedang makan. Itupun, saat makan, aku berusaha menahan rasa mual yang tiba-tiba datang. "Beb. Agak cepet makannya ya. Kita temuin klien besar papiku. Ayok," ujar Sita padaku. "Iya. Bentar sayang," sahutku pelan. "Ya..Jangan lama-lama, Beb. Makan aja yang bener, cepet lah kayak biasa. Kita dikejar waktu karena klien papi itu mau segera flight ke Jepang. Yuk. Nanti lagi aja makannya, Beb," sahut Sita dan ia tarik tanganku disaat aku masih duduk serta sedang berusaha memasukkan makanan ke perutku yang terasa mual serta sakit. Karena Sita menarik tanganku disaat posisiku belum siap, aku nyaris jatuh juga. "Beb...Ayo cepetan!," seru Sita dengan nada agak keras padaku sembari tetap menarik tanganku. "Duh....Sita...Bentar. Perut aku sakit banget.....," sahutku sambil memegangi perutku lagi. Melihat kondisiku, Komeng spontan mendekatiku dan Sita. Ichan memberi kode pada dokter Dini untuk siaga jika sewaktu-waktu aku perlu bantuan, terutama kalau harus ke rumah sakit segera. "Sita! Lu punya mata gak sih? Dikta tuh sakit!," seru Komeng dan ia benar-benar marah melihatku diperlakukan seperti itu oleh pacarku sendiri disaat aku sedang sakit. Aku tak mampu berkomentar karena rasa sakit itu makin menyerangku. "Loh. Kenapa jadi marah sama aku? Beb. Kamu kalau udah tahu sakit, obatnya diminum donk," ujar Sita dengan tak kalah emosi. Aku masih diam karena sakitnya memang makin terasa. "Maaf. Saya harus memeriksa Mas Dikta dulu. Dia udah kesakitan banget," sela dokter Dini dengan lembut namun tetap tegas dan berwibawa. "Jangan lama, dokter. Saya harus bawa calon tunangan saya ini untuk nemenin saya dan papi saya nemuin klien besar keluarga kami," ucap Sita. Dokter cantik itu tak berkomentar dan ia memeriksaku. Namun, karena aku sangat mual, aku tiba-tiba muntah dan tanpa sengaja mengenai tangan dokter Dini plus sepatu mahal kekasihku, Sita. "Beb! Aduh. Ini sepatu aku kotor deh jadinya. Ini kan mahal. Kamu kalo mau muntah ya ke toilet dulu....Astagaaaaaa, mana gak bawa sepatu cadangan aku...," omel Sita dan mendengar itu, aku seperti mendapat kekuatan untuk bersuara juga walau tak bisa seperti biasanya lantaran rasa sakit yang masih kualami. "Sita. Aku lagi kayak gini, kamu masih gak mikirin aku. Hubungan kita tuh sebenarnya apa? Kamu anggap aku nih, pacar kamu atau cuma bawahan kamu sih? Kalau kamu gak bisa ngehargain aku, ya udah. Kita gak usah pacaran lagi aja," ucapku disela rasa sakit serta mual yang lagi-lagi aku rasakan. "Ya udah. Kalau itu mau kamu, gak masalah. Masih banyak yang mau joint sama Hexa kok. Aku juga mau tahu, kamu sehebat apa sih. Palingan baru seminggu karier kamu udah end tanpa tim hebat dari kami di Hexa," balas Sita dengan sangat congkak dan sombong. Lalu, ia meninggalkanku dan sebelumnya, ia berucap, "Oh iya. Bulan depan, jangan urus kontrak lagi karena kamu mulai hari ini, sesuai apa yang kamu minta, kamu bukan bagian Hexa lagi dan bukan pacarku, apalagi calon tunanganku. Lagian, cowok yang penyakitan kayak kamu, bukan levelku lah. Nanti aku cepat tua kalo urusin sakitnya kamu. Trus, sisa kontrak ya...gak masalah. Jalanin aja sama manajemen kamu karena kalian semua, sejak hari ini, bukan bagian kami lagi dan besok surat resminya kukirim ke rumah kamu, loh, Pradikta Wicaksono," sembari menunjuk mukaku, juga semua tim manajemen maupun home band ku dengan nada arogan serta sangat sombong. Disini, aku seolah dibuat sadar kalau selama 5 tahun, aku hanya dimanfaatkan olehnya sebagai mesin uang plus pendongkrak kepopuleran Hexa Production semata, bukan murni sebagai kekasih. "Ya Allah. Bener kata mama, Komeng dan semua tim manajemenku selama ini. Dia gak bisa ngehargain aku sedikitpun. Dia makin seenaknya bentak-bentak aku, bahkan saat aku sakit seperti ini," batinku. Aku merasa bahwa hari ini, aku seolah jatuh tertimpa tangga. Bagaimana tidak. Saat sedang sakit, aku harus kehilangan kekasih sekaligus juga kontrak kerjaku yang tak diperpanjang lagi mulai bulan depan. "Mmmm...Dokter. Maaf. Jadi kena tangannya dokter deh," ujarku pada dokter Dini setelah Sita pergi begitu saja. Aku baru sadar kalau saat aku muntah tadi, tangan dokter Dini juga kena. "Gak masalah. Nih, udah saya bersihkan. Mmmm. Ini jas nya dibuka dulu, tuh udah kena muntahnya. Saya bantuin ya, Mas," sambung dokter berwajah meneduhkan tersebut. Ia bahkan membantuku melepaskan jas dan aku hanya memakai kemeja. "Mas. Pasti dingin. Pake ini dulu aja," ucap dokter Dini dan ia melepas jas dokternya. "Ini jas punya dokter. Udah. Jangan. Saya pake jaket aja. Kebetulan, di ransel saya kayaknya ada jaket," balasku pada dokter cantik itu. Komeng dengan sigap mengambilkan jaket di ranselku. "Ya udah, sini saya infus sebentar dan abis itu, saya bantuin pake jaketnya. Soalnya kondisi Mas Dikta udah lemes banget nih, dan masih sakit kan perutnya?," ujar dokter Dini sambil membantuku. Aku mengangguk untuk membenarkan apa yang ia ucapkan. Bahkan ia sendiri yang memakaikanku infus di tangan kanan. "Ok. Udah. Kita pake ambulance ke rumah sakit karena saya mau cek keseluruhan kondisi Mas Dikta," ujar dokter Dini dan aku menurut padanya. Itu karena aku juga penasaran dengan kondisiku dan aku harus sembuh untuk memulai perjalanan baruku sebagai penyanyi, juga musisi dan aktor dengan record company ku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simphoni Cinta
RomanceCinta kadang hadir tanpa diduga. Jatuh, bangun, dan jatuh lagi sudah kurasakan. Tapi kali ini, apakah ada ketulusan yang kucari? Akankah ada cinta tanpa tapi untukku? Adakah cinta tanpa syarat seperti yang disebut orang selama ini? Dikta Povv