Setelah 6 jam menjalani operasi, aku dipindah ke ruang ICU. Tapi, kondisiku masih belum stabil alias masih di masa kritis. "Nak. Gimana kondisi Masmu?," tanya mama pada Dini. "Ma. Mas Ta masih kritis sekarang dan....kita terus doa aja biar Mas Ta bisa lewatin masa kritis nya," jawab Dini. "Din. Yang sabar, Nak. Bunda percaya, kamu bisa kuat. Kalau kamu kuat, bunda yakin, Mas Ta juga akan kuat didalam sana. Dia juga lagi berjuang melawan sakitnya, sayang," hibur bunda dan ia peluk Dini. "Iya, Bunda. Mas Ta tuh kuat. Dini tahu, dia bisa," ujar Dini. Lalu, Mas Ferdy dan istrinya juga melakukan videocall dengan semua yang di rumah sakit. "Din. Kamu kuat. Aku yakin kamu bisa dan sebentar lagi, suami kamu sehat sepenuhnya. Din. Insya Allah, gitu usia Radit memungkinkan untuk flight, aku dan istriku akan bawa Radit juga ke Jakarta untuk jenguk suamimu. Kamu yang sabar, Mas yakin, adik kesayangan Mas bisa," ujar Mas Ferdy. "Iya, Mas. Aku berusaha kuat. Tapi, aku juga takut Mas Ta kenapa-kenapa," curhat Dini. "Din. Kamu tenang dan harus percaya akan kuasa Allah. Orang sebaik suamimu, Insya Allah selalu dijaga sama Allah, Din," hibur Mbak Fika dan Dini sejenak bisa bercanda dengan Radit, keponakan kecil kami. Saat itu, aku merasa jiwaku bisa berkelana melihat reaksi orang-orang tercintaku akan apa yang sedang terjadi padaku. Kulihat, mama dan 2 adikku menangis. Bunda mertuaku juga sedih walau ia coba menenangkan Dini. Ya. Istriku itu memang sangat terpukul dan ia menangis. Sungguh, aku tak bisa melihatnya sedih. Namun, aku tak mampu untuk sekedar memeluk dan menenangkannya seperti biasa.
Lalu, saat jiwaku masih bingung, aku didatangi seseorang dan ternyata....aku bisa menemui almarhum papa. "Mas Ta," panggil papa padaku. "Pa....Mas Ta udah sama papa?," tanyaku bingung. "Kamu belum waktunya ikut sama papa. Papa nemenin kamu disini dan nanti kamu akan pulang, Nak," jawab papa. "Pulang? Pa. Mas Tata dimana sekarang?," tanyaku bingung. "Nak. Ini kamu sedang berada diantara alam dunia dan alam setelah kematian. Papa disini menemanimu sampai jiwamu bisa kembali ke ragamu, anakku. Papa cuma mau bilang, selesaikan apa yang kamu mulai. Tugasmu belum selesai di dunia. Nak. Lihat. Banyak sekali yang menangisi kamu, terlebih mama, 2 adikmu, mertuamu, saudara iparmu, dan istrimu. Mas. Insya Allah, setelah ini, kamu akan sehat kembali dan...ada 1 kabar bahagia menanti kalian gak lama setelah kamu benar-benar sehat serta beradaptasi dengan kondisi jantung kamu setelah di operasi ini. Papa gak lama lagi akan punya cucu jagoan dari kamu serta istrimu, dan untuk itu, pulanglah, Nak. Ayo. Kamu papa antar ke pintu itu dan setelahnya, kembali ke dunia yang jadi alammu. Masih banyak tugas yang harus kamu selesaikan," nasihat papa. "Tapi pa. Mas Tata kan, pernah divonis agak susah membuat istri Mas Tata hamil karena beberapa obat yang selama 3 bulan ini Mas Tata minum," curhatku. "Insya Allah, setelah ini kan, kamu gak tergantung obat lagi dan kalaupun ada obat, itu malah bisa memulihkan seluruh kondisi sehingga kamu serta istrimu bisa memiliki keturunan. Nak. Jalani semua prosesnya, dan papa percaya, anak papa bisa. Ingat sekali lagi. Selesaikan apa yang kamu mulai. Lalu, jadilah sosok ayah yang baik untuk anakmu dan gak lupa, jadilah suami terbaik bagi istri kamu," jelas papa. Aku mengangguk dan papa menggandeng tanganku hingga kami tiba di sebuah pintu. "Buka pintu itu dan pergilah. Jemput bahagiamu dengan mereka yang menanti serta mencintai kamu," ucap papa. "Iya, Pa. Mas Tata pamit. Assalamualaikum," pamitku. "Waalaikum salam," ujar papa dan tak lama, beliau menghilang dari hadapanku. Tak lama, kubuka mataku perlahan dan ada beberapa tim dokter. Aku juga mengenali sosok cantik disana. Ya. Ia adalah istriku. "Masya Allah. Kondisi Mas Ta mulai stabil. Udah mulai sadar. Tapi, harus observasi dulu dan tiap 1 jam, harus coba batuk pelan-pelan biar gak ada tumpukan lendir di saluran nafasnya. Tumpukan lendirnya itu, kalau dibiarkan, bisa menyebabkan pneumonia," jelas Dokter Tris. Aku hanya mengangguk karena otakku masih mencerna apa yang baru saja kualami. Usai memeriksa kondisiku, dokter Tris dan tim pamit. Di ruang ICU khusus saat itu hanya ada aku dan Dini. "Mas...," panggil Dini dengan lembut padaku. "Din..sayang...," balasku pelan. Kutatap wajah cantik istriku itu. "Gimana kondisi kamu, Mas?," tanya Dini. "Masih lemes banget. Din. Rasanya badanku capek banget dan aku ngerasa mau batuk, cuma.....agak susah. Aku juga takut, kalau aku batuk malah, luka operasinya kenapa-kenapa," jawabku pelan. Sekujur tubuhku masih dipasang alat. Bahkan, aku memakai ventilator, 1 alat yang almarhum papaku tak mau kenakan meski kondisinya sudah gawat. "Ya..kalau mau batuk, coba aja batuk pelan dulu, Mas. Biar lendir nya gak numpuk di saluran nafas kamu, Mas," saran Dini. "Iya, bunda," sahutku. Dini tersenyum dan berucap, "Iya. Bunda sayang sama ayah," sembari memegang tanganku dan menciumnya. "Bunda...Ayah sayang sama bunda," balasku. Kugenggam tangan Dini seerat yang kubisa. Tak lama, aku malah batuk pelan dan aku merasa kalau dadaku agak nyeri. Tapi menurut Dini, itu side effect usai operasi. Dokter Tris juga mengatakan hal yang sama. Saat itu, Dini dengan sigap mengusap punggungku. Ia juga membasahkan mulutku dengan sedikit madu. Baru sore hari, aku boleh minum air putih perlahan serta makan bubur khusus. Aku juga masih disuruh batuk setiap 1 jam sekali agar jantungku bisa beradaptasi. Karena itu, Dini juga sampai begadang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simphoni Cinta
RomanceCinta kadang hadir tanpa diduga. Jatuh, bangun, dan jatuh lagi sudah kurasakan. Tapi kali ini, apakah ada ketulusan yang kucari? Akankah ada cinta tanpa tapi untukku? Adakah cinta tanpa syarat seperti yang disebut orang selama ini? Dikta Povv