Sehari setelah fitting baju, aku harus berangkat ke Makassar untuk show lagi disana. Ya. Ada jadwal lagi yang baru di konfirmasi dan karena waktu masih memungkinkan, aku dan tim manajemen sepakat menerima tawaran tersebut. Ya...Lumayan untuk nambahin biaya pernikahan walau untuk biaya, kadang Dini ikut membantu karena calon istriku serta keluarganya agak keberatan jika aku yang menanggung semua biaya tanpa keterlibatan mereka. Aku setuju saja selama itu baik. Kali ini, aku berangkat hanya dengan tim manajemenku saja karena Dini harus ke rumah sakit pagi-pagi lantaran kondisi emergency dari 2 pasiennya yang harus segera ia tangani. "Meng. Kok gue kepikiran sama Dini, ya? Kan dia tadi buru-buru ke rumah sakit. Mana belum sarapan. Gue takut, asam lambungnya naik lagi kayak waktu di Solo," curhatku. "Iya sih, gue paham. Ya...tapi kan, Dini tuh dokter. Dia bisa handle kondisinya kok. Udah, lu tenang aja," hibur Komeng alias Rahman padaku. "Iya, Ta. Udah, tenang aja. Pas udah sampe, lu chat dia atau videocall deh," saran Ichan. "Ok. Palingan agak sore sih, karena kalau kata Dini, dia ada jadwal operasi pagi ini sampai nanti jam 3 sore. Ya..itu sekalian jadwal visit juga. Ya..gue videocall dia pas mau perform aja lah ntar sore," jelasku. Ya. Aku memang sudah memahami profesi calon istriku sebagaimana ia juga memahami pekerjaan yang kujalani. Intinya, kami memang sudah bisa saling memahami satu sama lain dan mendewasakan cinta kami karena akan menuju tahap pernikahan di waktu yang tak terlalu lama lagi.
Sementara itu, di Jakarta. Dini disibukkan dengan jadwal operasi, visit pasien dan harus menangani pasien di poli rawat jalan. Ia yang sejak pagi belum makan apapun, mendadak merasa pusing. Dokter Yani, salah satu rekannya, melihat itu. "Dokter. Astaga...Mukanya pucet banget," tegur Dokter Yani. "Ya...Palingan agak capek dan efek belum makan apapun dari pagi. Kerjaan lagi padat dan ini aja masih ada pasien dulu sebelum visit, abis operasi juga tadi pagi, Dokter. Ada 2 operasi darurat dari pagiiii banget," jelas Dini. "Ya udah. Dokter makan dulu aja. Biar pasien selanjutnya, saya yang handle. Kasian...sampe pucet banget loh, dokter," tawar Dokter Yani. "Ya....Makasih banyak, Dokter. Saya makan sebentar. Udah mulai gak enak banget rasanya," ujar Dini. Lalu, ia ke ruang kerjanya dan memakan pesanan makan siangnya yang sama sekali belum disentuh. Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang. Dini coba makan, namun baru 2 suap, ia malah mual dan alhasil, makanan yang sudah masuk harus keluar lagi. Ia sampai 2 kali muntah karena itu. "Astaga....Udah lama gak kena maag yang kayak gini. Bener-bener gak bisa deh, kalo skip makan," batin Dini dan wajahnya makin pucat. Tapi, usai muntah, ia coba lanjut makan walau yang ia rasakan, perutnya justru makin sakit. "Ya Allah...sakit banget tiap kubawa makan. Tapi, harus makan dan harus kuat. Abis ini mau visit pasien sebentar," batin Dini sambil memegangi perutnya setelah berusaha makan lagi usai 2 kali muntah, berusaha menguatkan dirinya sendiri. Ya. Calon istriku itu memang sosok wanita yang mandiri dan kuat. Jadi, sedang dalam kondisi sakit pun, ia mensugesti dirinya bahwa ia baik-baik saja dan mampu menghandle semuanya sendiri. Itu yang kadang membuatku galau setengah mati karena aku tahu, jika dalam kondisi sakit, justru kita memerlukan bantuan orang lain.
Di Makassar. Jelang performance, aku mendadak tak bisa tenang karena nomor handphone Dini tak bisa ku hubungi. Namun, aku coba tenangkan diri karena aku akan perform kurang lebih 45 menit lagi. "Ta. Lu udah coba telepon Dini lagi?," tanya Ichan yang tahu betul kegelisahanku. "Udah 3 kali, dan masih gak diangkat," jawabku. Ya. Aku takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan pada calon istriku. "Coba lagi deh, atau lu hubungi suster Sinta, asistennya Dini," usul Ichan dan aku melaksanakannya. Saat itu, kami baru tiba di backstage dan menunggu giliranku untuk tampil. Tak lama, sambungan berhasil. Dini menerima videocall ku. Namun, yang kulihat malah wajahnya sangat pucat dan ia tengah di toilet yang ada di ruang kerjanya. Aku tahu persis tempat itu. "Sayang. Ya Allah...kamu pucat banget," ujarku. "Mas. Gak apa-apa kok. Udah, kamu konsentrasi aja. Kan mau perform, sayang," sahut Dini dan aku bisa melihat, kekasihku sedang berusaha menahan sakit atau rasa mualnya agar aku tak khawatir. "Sayang. Duh.....Kamu sampe kayak gitu. Tuh. Muka kamu pucat banget. Coba, aku lihat dulu. Nah bener kan...kamu keringet dingin deh itu kayaknya," sambungku. Aku sangat mengkhawatirkan kondisi Dini saat itu. Namun, tiba-tiba malah kekasihku muntah-muntah tanpa sempat mematikan videocall nya. "Ya Allah bunda...sayangku. Tuh kan, sampe muntah beneran....Ok. Abis perform, ayah langsung ke bandara, langsung pulang ke Jakarta deh, pake flight terakhir. Nanti, dari bandara, ayah langsung ke tempat bunda," ucapku saat melihat secara langsung kondisi Dini. Bagaimana tidak. Ia sampai muntah-muntah dan itu mencemaskan hatiku. Tak lama, kulihat Dini membasuh mulutnya. Nafasnya terlihat agak sesak. "Bunda.....Gimana, sayang? Udah lebih lega?," tanyaku, berusaha meredam cemas yang kurasakan. "Udah enakan kok, ayah. Ayah tenang aja. Bunda bisa handle kondisi bunda sendiri. Ayah yang semangat perform nya. Bismillah. Ayah bisa. Inget, ayah minum vitamin, jangan telat makan," jawab Dini, dan ia berusaha memberiku senyuman meski aku tahu, ia dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Malah, ia masih bisa mengingatkanku untuk tidak telat makan dan minum vitamin. Astaga sayangkuuu. Gimana coba aku gak makin cinta. "Gimana coba, ayah bisa tenang kalau ayah tahu kondisi bunda kayak gini? Pantesan aja, ayah dari tadi kepikiran bunda terus dan firasat ayah bener kalau bunda tuh lagi kurang sehat kayak gini. Bunda. Ini bunda lagi sama siapa? Gak sendirian aja kan?," ujarku. Ya. Aku sangat mengkhawatirkan kondisi Dini. "Ini bunda lagi di toilet yang ada di ruang kerja bunda, abis visit pasien. Bunda lagi sendiri sih, kan di toilet, ayah..Masak ngajak temen. Ini aja bisa angkat telepon ayah karena hp tuh, bunda bawa juga. Hehehe... Ya...Masih mau ngerjain laporan lagi sih, Yah," jelas Dini. "Tuh kan..Bunda. Kerjanya break dulu deh. Kondisi bunda udah lemah begitu. Abis muntah juga, lagi. Nah. Bajunya bunda sampe basah tuh, ayah bisa lihat. Udah, abis ini, bajunya diganti, sayang ya...," ucapku. "Ayah..tenang aja. Bunda gak apa-apa dan abis ini, bunda ganti baju deh, karena udah basah nih bajunya. Kan gak nyaman. Ayah tuh mau perform kan, bentar lagi? Bunda gak apa-apa. Jangan khawatir, ya sayang," sahut Dini, berusaha menenangkanku. "Ya udah. Nanti, bunda kabarin ayah ya. Ayah kerja dulu. I love you," timpalku akhirnya karena waktu perform ku semakin dekat. Aku juga harus profesional dalam bekerja walau saat ini, aku jadi kepikiran dengan kondisi Dini. "Love you too, ayah. Bismillah. Lancar perform nya, sayang," sahut Dini dan sambungan berakhir. Jujur, saat aku harus perform, konsentrasiku terbelah antara harus perform dan memikirkan kondisi tunanganku yang sedang sakit. Bagaimana tidak. Disaat aku yang sakit hingga pengobatan sampai beberapa bulan, sosok Dini selalu ada dan bahkan, ia yang mengobatiku sampai sembuh. Kali ini, aku tahu kondisinya sedang tidak baik dan malah, aku tak ada di sisinya. Saat break, aku coba WA suster Sinta untuk menanyakan kondisi Dini lantaran handphone kekasihku itu lagi-lagi tak bisa dihubungi. "Iya, Mas Dikta," sapa Suster Sinta saat aku meneleponnya. "Suster. Gimana kondisi Dokter Dini? Ini saya lagi break sebentar sebelum perform lagi," ucapku. "Dokter Dini tadi barusan muntah lagi, ya..kalau dihitung, udah 4 kali muntah sih, Mas. Tapi ini malah Dokter Dini masih ngurus beberapa laporan untuk berita acara setelah akreditasi online beberapa waktu lalu dan ya...tadi masih ngobatin pasien. Padahal, kondisi Dokter Dini sendiri udah lemah," jelas Suster Sinta. "Ya Allah Dini....tetep loh, masih kerja. Gini, suster. Kabari saya terus karena handphone Dini gak bisa saya hubungi. Kabari apapun kondisi Dini karena malam ini juga, saya kembali ke Jakarta setelah perform. Kan pesawat terakhir dari Makassar masih ada di jam 8 malam ini. Suster terus kabari saya aja," sambungku. "Iya, Mas. Soalnya, ini dokter Dini lagi charge hp nya dulu. Tuh, lagi sibuk juga dia," timpal Suster Sinta dan sepintas, kulihat Dini sedang serius bekerja ditengah sakit yang ia alami. Lalu, sambungan berakhir karena aku harus perform lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simphoni Cinta
RomanceCinta kadang hadir tanpa diduga. Jatuh, bangun, dan jatuh lagi sudah kurasakan. Tapi kali ini, apakah ada ketulusan yang kucari? Akankah ada cinta tanpa tapi untukku? Adakah cinta tanpa syarat seperti yang disebut orang selama ini? Dikta Povv