Tak ingin hanya menjadi penonton, Hariwangsa berniat untuk membantu Wistapati. Tetapi sebelum dia berhasil beranjak dari tempatnya, rupanya Surawisesa sudah lebih dulu berdiri di hadapannya.
"Kau ingin kemana, paman Hariwangsa? Lawanmu ada di sini." Ujar Surawisesa tenang, kedua tangannya dia genggam di belakang tubuh sebagaimana yang di lakukan oleh Ayahandanya.
"Oh! Rupanya kau, Surawisesa. Si Raja bodoh," Hariwangsa melemparkan tatapan remeh.
Surawisesa mengangguk enteng, seolah tak terlalu memikirkan cemoohan yang Hariwangsa berikan. Karena akan percuma jika dia meladeni perkataannya. Julukan yang di berikan padanya dari semua Golongan Hitam akan selalu mereka gaungkan ketika menyebut atau bahkan bertemu secara langsung dengannya.
"Bersiap-siaplah untuk mati, Surawisesa!"
..........
Ketika yang lain tengah sibuk bertarung bersama lawannya masing-masing, berbeda dengan mereka berdua. Mengendap-endap untuk bisa meninggalkan tempat itu secepat mungkin. Mereka berdua terlalu fokus dalam misi melarikan diri, sampai-sampai tak menyadari adanya bahaya yang kini telah berdiri tegap mengancam nyawa di depan sana.
"Ingin kabur, heh?"
Langkah keduanya terhenti dengan tubuh kaku serta tatapan terpaku pada sosok di depannya, tengah menatap mereka layaknya mangsa yang siap di santap habis. "Raka-- Gagak Ngampar."
"Ingin pergi kemana? Melarikan diri? Benar?" Wajahnya terangkat angkuh dengan alis terangkat sebelah.
Kemudian senyum miring tersungging jelas di wajah Gagak Ngampar, "Namun maaf. Kali ini kalian tidak akan bisa pergi kemanapun lagi. Sudah cukup kalian melarikan diri dan sekarang, kalian harus menerima hukuman karena berkhianat untuk kesekian kalinya."
"Apa maksudmu, Raden? Kami sama sekali tak berkhianat. Di sini kami berpihak pada kalian, pada Pajajaran." Amuk Marugul mengelak cepat. Matanya terlihat tak tenang setelah kedatangan Gagak Ngampar.
"Benarkah itu, Paman? Kau tak salah bicara? Setahuku aku tidak pernah memberitahu kalian tentang rencana ini. Pun aku juga tidak mendapati kalian selama beberapa hari ini. Lalu bagaimana kalian tahu?"
Amuk Marugul dan Surosowan terdiam kaku. Mereka tak tahu harus membalas ucapan Gagak Ngampar seperti apa.
"Percayalah pada Paman, Raden. Paman--"
"Omong kosong! Berhenti mengelak! Sungguh, aku sudah muak dengan kalian berdua! Sekarang, buktikan padaku seberapa hebatnya kalian hingga berani menyepelekan kebaikan saudara-saudariku!"
Putra tunggal Ambet Kasih itu segera mengambil kuda-kuda dan mulai menyerang Amuk Marugul dan Surosowan. Karena tak ingin tertangkap begitu saja, kedua orang itu memutuskan untuk melawan serangan yang Gagak Ngampar berikan.
Dengan tenaga dalam yang dia tekan pada telapak tangannya, Amuk Marugul memberikan pukulan di dada Gagak Ngampar. Namun serangannya sama sekali tak berhasil melukai Gagak Ngampar yang sudah lebih dulu menangkap telapak tangannya.
Putra tunggal Ambet Kasih itu memelintirkan tangan pamannya ke belakang, kemudian menendang kuat punggung Amuk Marugul. Membuat pria itu terpental kuat dengan ekspresi meringis.
Surosowan menggeram, "Kurang ajar kau, Raka?! Berani sekali kau memperlakukan Uwakku Amuk Marugul seperti itu?!"
"Jika kalian saja berani berkhianat dengan niat melukai saudaraku, lantas kenapa aku tidak berani melukai pamanmu?" Gagak Ngampar melemparkan pertanyaan balik dengan ekspresi serius.
Kedua tangan Surosowan terkepal, tatapannya nampak marah mendengar penuturan Gagak Ngampar. Dia tentu tidak terima ketika ada seseorang yang menjawab sentakannya. Meskipun itu keluarganya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden Kian Santang -Two Lives-
Historical FictionDua sudut kehidupan yang berbeda, menunjukkan bagaimana mereka menyikapi masalah yang hadir di kehidupan masing-masing. Terkadang, ada kala dimana pikiran selalu menggiring untuk berhenti. Namun hati kecil dalam diri selalu menolak dan terus meyaki...