TL : 31. Surprising Thing

191 38 23
                                    

Semua orang kecuali Abikara di buat tak mampu berkata-kata dengan apa yang baru saja terjadi.

Masing-masing dari mereka dapat dengan jelas melihat sosok wanita dengan pakaian kerajaan berdiri tanpa rasa takut di wajahnya. Wanita itu bahkan dengan berani membalas tatapan terkejut semua orang dengan tajam.

"Ibunda, kau--" Wistapati kembali menelan kalimatnya saat dia tak bisa melanjutkan ucapannya akibat rasa terkejut yang tak main-main.

Wanita yang selama ini selalu dia anggap tak memiliki ilmu kanuragan, kini menamparnya dengan sebuah kenyataan mengejutkan.

Memang tak aneh jika seorang bangsawan memiliki ilmu kanuragan, selain karena ingin melindungi diri sendiri tapi mereka juga di beri tanggung jawab untuk melindungi kerajaan ketika mereka dewasa.

Tapi sejak dulu, Parwati tak pernah menampakkan jika dirinya seorang pendekar. Bahkan dia sama sekali tak pernah terlihat memiliki ketertarikan untuk belajar apapun yang berhubungan dengan ilmu kanuragan. Hal inilah yang membuat semua orang termasuk rakyat Kandang Wesi mengenalnya sebagai manusia biasa.

"Sejak kapan kau memiliki ilmu kanuragan, Parwati?" Nyi Dahayu bertanya dengan wajah yang masih terlihat terkejut.

"Sudah sejak dulu." Jawaban Parwati semakin menambah rasa terkejut dari Nyi Dahayu.

"Selama itu? Lalu kenapa kau tak memperlihatkannya selama ini jika kau memang bisa?" Kedua tangannya sontak mengepal, Nyi Dahayu merasa tak terima karena di bohongi oleh ibu dari kedua muridnya.

"Aku memang sengaja merahasiakan kemampuanku dari kalian semua. Aku tak ingin kalian menghalangiku dalam membela kebenaran, atau bahkan memaksaku untuk menjadi bagian dari kalian." Masih dengan nada tenangnya, Parwati mulai membeberkan rahasianya sendiri di hadapan Nyi Dahayu dan lainnya.

"Sekarang, aku tanya padamu. Apakah kau juga ikut andil dalam rencana yang Abikara buat?" Dalam hati, Nyi Dahayu mengumpat. Sebab selama ini, dia sama sekali tak merasakan adanya sepercik ilmu kanuragan di dalam diri Parwati.

"Ya."

"Kenapa kau melakukan semua ini, ibunda? Kenapa kau terus membela Abikara?!" Setelah berhasil menguasai diri dari keterkejutannya, Wistapati mulai melontarkan rasa tak terima nya sebab perilaku sang ibu yang tak pernah memihaknya.

Parwati menggeleng, "Aku tidak pernah memihak siapapun. Aku pasti akan memihak padamu namun jika kau berada di jalan yang benar, Wistapati."

"Ketahuilah, sifat kalian sangatlah bertolak belakang. Seperti minyak dan air, kalian tidak akan pernah bisa bersatu. Walau sekeras apapun kau memaksa Abikara untuk melakukan semua perintahmu, Abikara pasti tidak akan mau melakukannya. Kau berada di jalanmu, sementara Abikara pun berada di jalannya."

Sementara Abikara yang mendengar perkataan ibunya, memilih diam. Dia membiarkan ibunya menjawab pertanyaan Wistapati agar kakaknya itu mendapatkan alasan di balik keterpihakan Parwati.

Tak bisa menahan amarahnya, Wistapati kembali melakukan serangan terlebih dahulu. Dan kini tujuannya bukan pada Abikara, melainkan Parwati.

Namun sebelum serangannya berhasil mengenai Parwati, Abikara terlebih dahulu melindungi sang ibunda menggunakan tubuhnya untuk menjadi tameng.

Putra bungsu Parwati itu menatap Wistapati dengan tajam. Sebelumnya, dia takkan merespon segala serangan kakaknya itu. Tapi kali ini, yang menjadi sasaran kakaknya adalah Parwati, Abikara tentu tak terima saat melihat ibunya ingin dicelakai.

"Jangan pernah kau menyentuh kulit ibunda. Karena sedikit saja kulitnya terluka karena kalian, akan ku pastikan kalian semua takkan bisa lari dari pembalasanku." Abikara berseru tajam dan penuh penekanan. Tentu saja hal itu membuat Wistapati juga semua komplotannya merinding, merasa terancam dengan aura gelap yang tiba-tiba saja mengelilingi Abikara.

Raden Kian Santang -Two Lives-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang