Bab 2. Jurus untuk Memahami Wanita

830 71 9
                                    

Bismillah,

"Jadi Pak Satrio dulu prajabatan bareng sama Indra? Tahun 2005 dong?"

"Iya, Pak. Saya sama Indra satu angkatan prajab dulu. Waktu itu kami kebagian di Surabaya." Satrio membuka galeri di ponselnya, menunjukkan pada Ananta yang kelihatan antusias. "Ini Indra sekarang, Pak. Sudah punya klinik sendiri di Surabaya."

"Memang hebat si Indra. Tapi sekeluarga memang jadi dokter semua, Pak," sahut Ananta sambil memerhatikan foto di ponsel Satrio.

Sejak sepuluh menit yang lalu dua laki-laki berusia sebaya itu asyik mengobrol. Satrio dengan cepat menjadi akrab dengan Ananta, bahkan sangat luwes merespon topik pembicaraan. Sementara Sinar hanya bisa memerhatikan dengan tidak antusias sambil sesekali menghela napas. Rasanya dia sudah tidak bersemangat dengan workshop hari ini.

Entah sudah berapa kali dia melirik Satrio dan Ananta yang kelihatan asyik ngobrol ini itu. Sedangkan dalam kepala Sinar yang kusut rentetan kejadian hari ini diputar berulang kali.

Apa iya aku sial gara-gara lupa nggak nancepin kabel magic com? Kok bisa-bisanya aku nggak browsing dulu muka si Satrio ini.

Sinar menggaruk dagunya sambil mengernyitkan kening. Sejak tadi dia sudah tidak tenang membayangkan lanjutan kejadian hari ini. Terlepas dari keasyikan Satrio mengobrol dengan Ananta, Sinar menangkap kalau lelaki itu beberapa kali meliriknya.

"Nar, kita ke aula sekarang saja."

Sinar bergeming. Pandangan matanya kosong.

"Sinar ayo ke aula," panggil Ananta yang sekarang melongo menatap Sinar. Sayangnya yang dipanggil masih setia dengan lamunan sehingga Ananta mendekat lalu menepuk pundaknya pelan. "Sinar Mentari harum mewangi seperti kopi di pagi hari!"

"Eh iya, Pak." Sinar terlonjak kaget sekaligus tertarik dari lamunannya. "Apa, Pak?" tanyanya dengan ekspresi nggak mengerti.

"Ke aula!" Ananta memutar bola mata sambil menghela napas. Seolah begitu capek menghadapi Sinar versi hari ini.

"O-o-oke, Pak." Bangkit dari duduk lalu merapikan outer dan jilbabnya, Sinar mencoba tersenyum. Lalu matanya menangkap raut geli Satrio. Senyum itu langsung berganti dengan manyun. Tanpa berbasa-basi Sinar melangkah keluar dari ruangan Ananta.

Meninggalkan Ananta dan Satrio yang masih tertegun. Ananta dengan mulut setengah terbuka karena heran dengan tingkah ajaib Sinar. Sedangkan Satrio bertahan dengan raut gelinya.

Memasuki aula dengan kepala tertunduk, Sinar langsung menuju meja yang memang disiapkan untuk pembicara. Sudah ada laptop yang tersambung dengan LCD proyektor dan menayangkan backdrop dengan foto Satrio terpampang.

Sinar langsung mengaduh dalam hati. Menyesali keteledorannya karena lupa wajah Satrio. Padahal dia lah yang berkomunikasi dengan Satrio. Sekaligus menerima data diri plus foto lelaki itu lewat email.

Nar, kamu parah!

Rutuk Sinar dalam hati. Tangannya bergerak memijat kepala yang terasa berdenyut.

"Nar, mana Pak Satrionya?"

Sinar yang tadi menunduk, mengangkat wajahnya. Menemukan Merlina menatapnya dengan menuntut. "Sebentar lagi ke sini sama Pak Ananta."

"Kenapa nggak dari tadi, sih, Nar?" protes Merlina sambil mengerucutkan bibirnya yang dipoles lipstick warna merah. Lengkap dengan gaya mengibaskan rambutnya yang jelas-jelas habis dicatok.

"Nanti tanyain sama Pak Ananta kenapa nggak dari tadi Satrio disuruh ke sini!" Sinar memasang wajah malas. Moodnya sedang dalam mode jelek, jadi tidak bisa diajak bersabar menghadapi Merlina yang aslinya memang nyebelin.

One Twenty DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang