Bab 8. Mau Dijodohkan

479 61 4
                                    

Bismillah,

Tampang bete Satrio terpantul jelas di layar laptop yang mati. Lelaki itu menopangkan satu tangan ke dagu, sementara tangan satunya menggulir layar ponsel. Sudah dua minggu dia bergulat dengan perasaan enggak jelas ini. Kecewa iya, patah hati iya. Walaupun Satrio masih ragu dengan istilah 'patah hati'. Dia dan Sinar belum ada hubungan apa pun untuk bisa sah memakai istilah patah hati.

Teringat perkataan Sinar dua minggu yang lalu Satrio kembali lesu. Baru kali ini terjadi dalam sejarah hidupnya. Belum bilang cinta sudah ditolak.

Bah! Apa pesona seorang Satrio Hendrawan sudah luntur gara-gara pernah cerai?!

Satrio mendengkus. Melanjutkan menggulir layar ponsel mencari bacaan untuk menghiburnya, tetapi mendadak wajah Rafa menari-nari di kepalanya. Bocah itu membuatnya kangen. Kangen ngobrol dan bercanda enggak jelas. Kangen dengan kepeduliannya pada perasaan Satrio.

Argh, sialan banget! Kok bisa jadi gini, sih?! Sinar, kenapa hati kamu sulit banget buat ditembus?!

Satrio mengomel dalam hati sambil mengacak-ngacak rambut. Ingin rasanya berusaha lagi mendekati Sinar, tapi otaknya buntu. Belum ada ide bagus lain untuk mengambil hati Sinar. Perempuan itu benar-benar susah dirayu. Sangat berbeda dengan fans akademik Satrio yang enggak usah dirayu sudah ngejar-ngejar nggak kenal malu dan lelah.

Gara-gara nama Sinar tercetus di kepalanya, Satrio jadi ingat satu kejadian, seminggu setelah Sinar 'menolaknya'.

Flashback

Sejak awal presentasi Satrio sudah deg-degan. Bukan karena takut presentasinya tidak bagus, tetapi karena Sinar adalah salah satu peserta yang duduk di barisan kedua dari belakang. Jadi, Satrio terus-terusan mengatakan pada jantungnya untuk bekerja sama. Belum lagi afirmasi yang diulangnya untuk menyemangati diri sendiri.

Dia harus sukses menebar pesona lewat presentasinya seperti biasa. Apalagi ini momen yang sangat istimewa karena kehadiran Sinar. Kehadiran Profesor Eiji, promotornya ketika S3 dulu tidak sedahsyat ini dampaknya. Apalagi perempuan-perempuan yang duduk di baris depan dan berlomba-lomba menarik perhatian Satrio.

Semuanya seperti angin lalu untuk Satrio. Perhatiannya hanya tertuju penuh pada Doktor Sinar Mentari yang memasang wajah tidak ramah sejak awal mereka bertemu di International Conference itu.

Ketika wajah Sinar tertangkap mata Satrio di sesi plenary tadi, dia heran bukan main. Kenapa perempuan yang mencuri hatinya itu hadir juga di conference ini? Apakah dia tidak tahu kalau Satrio adalah salah satu keynote speaker? Padahal nama Satrio muncul di halaman depan website conference yang diselenggarakan sebuah universitas negeri yang cukup ternama ini. Kalau tahu kenapa Sinar mau hadir? Bukankah dia alergi sama Satrio?

Suara tepuk tangan langsung memenuhi meeting room yang cukup luas begitu sesi Satrio berakhir. Beberapa peserta langsung mendekat, bermaksud beramah tamah dengan Satrio. Termasuk beberapa perempuan yang terlihat terkagum-kagum pada sang calon profesor.

"Mohon maaf, nanti kita bisa komunikasi lagi via email. Email saya ada di program book." Satrio menjawab sambil memerhatikan Sinar yang sudah hampir mencapai pintu keluar.

"Kalo sekarang bisa diskusi enggak, Pak?" seorang peserta bertanya penuh harap.

"Maaf, maaf banget saya lagi buru-buru. Saya tunggu email-nya ya," balas Satrio sambil mengangkat satu tangan. Memberi isyarat kalau dia harus pergi. Dia lalu mendekati Profesornya dan berpamitan sebelum memacu langkahnya keluar dari ruangan.

Tanpa memedulikan wajah-wajah kecewa para perempuan di belakangnya, Satrio berjalan cepat. Sesekali celingukan mencari-cari Sinar. Dalam hati dia merutuk kenapa pesona Sinar sekuat ini sampai membuatnya kelimpungan. Dia sudah menduda tiga tahun, dan belum pernah tertarik lagi pada perempuan. Lalu Sinar datang begitu saja. Tanpa permisi mengobrak ngabrik hatinya.

One Twenty DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang