Bab 3. Strategi Tidak Ilmiah dalam PDKT

657 66 11
                                    

Bismillah,

Satrio menghempaskan tubuh ke kursi kerjanya. Dua tangannya terlipat di belakang kepala dan senyumnya mengembang penuh. Dia tahu pasti mimiknya terlihat bodoh karena senyum-senyum sendiri. Tapi dia tidak peduli.

Sebenarnya jauh di dalam hati dia heran kenapa bisa begitu happy setelah bertemu Sinar. Perempuan itu bersikap jutek padanya. Bahkan jelas-jelas menjaga jarak dan kelihatan alergi. Anehnya, Satrio malah semakin terbayang-bayang.

Kejadian setelah workshop dua hari yang lalu diputar ulang di kepala Satrio. Khususnya saat sesi foto bersama yang berakhir heboh.

"Pak Satrioh bisah kitah fotoh duluh?"

Senyum masam Satrio terbit mendengar permintaan itu. Bukan karena ajakan berfotonya, tapi bagaimana kalimat itu diucapkan. Penuh desahan-desahan manja yang membuatnya geli campur mual.

"Maaf, maksudnya apa ya, Bu?" tanya Satrio pura-pura tidak mengerti.

"Foto dulu, Pak." Merlina mengulang lagi. Kali ini dengan normal tapi ditambah kedipan mata dan senyum manja plus kibasan rambut.

"Oh fotoh bersamah," ulang Satrio dengan tampang cuek.

Justru gara-gara itu Merlina dan beberapa perempuan lain langsung melongo. Sedangkan Ananta kerepotan menahan tawa. Satrio memang ajaib. Kadang dia terlihat frustrasi diserbu para fans akademiknya yang kebanyakan perempuan. Lalu sedetik kemudian berubah cuek, datar dan terkesan melucu secara spontan.

Aida, tenaga kependidikan yang menjadi MC mengarahkan para peserta untuk foto bersama. Satrio berjalan santai menuju lokasi foto yang diinfokan Aida lalu sibuk dengan ponsel. Tidak sampai lima menit perempuan-perempuan fans beratnya ikut menyerbu. Berebutan ingin berdiri paling dekat dengan Satrio. Kehebohan itu berakhir setelah Ananta mengancam kalau sesi foto akan dibatalkan. Barulah fans akademik Satrio berpose dengan tertib.

Giliran Aida yang sekarang kebingungan. Gadis berambut pendek itu melongo melihat peserta workshop dan Satrio sudah tersenyum dan siap untuk difoto.

"Da, ayo cepet difoto. Kenapa malah bengong, sih?!" teriak Merlina tidak sabar.

Dengan ekspresi meringis, Aida mengangkat dan menggerakkan dua tangannya seperti ketika sedang memotret. "Maaf, Bu. Kameranya mana?"

Suasana aula langsung hening. Detik berikutnya suara tawa meledak berbarengan. Termasuk Ananta yang kali ini tidak lagi bisa menahan tawa.

"Pake kamera saya saja, Mbak." Satrio berinisiatif. Menyerahkan ponselnya supaya sesi ini tidak memakan waktu. Dia juga jengah berada berdekatan dengan perempuan-perempuan yang nyata sekali mencuri pandang tiap lima detik padanya. Khususnya Merlina yang berdiri mepet dengannya.

Aida memberi aba-aba," Oke, bilang sate ya!"

Aula langsung riuh karena peserta berbarengan mengucap kata 'sate'. Semua sibuk tersenyum dan berpose sebaik mungkin. Khususnya para perempuan yang ingin segera mengunggah story di sosial medianya. Tentu saja karena mereka punya foto dengan Satrio yang digadang-gadang akan meraih gelar guru besar dalam waktu dekat.

Sementara Satrio celingukan. Di antara peserta dia tidak melihat Sinar. Merutuk kekonyolannya dalam hati, Satrio tidak bisa menampik kalau dia ingin Sinar juga ikut berfoto.

Akhirnya sesi foto yang menyiksa itu selesai. Satrio langsung mendekati Aida, mengambil ponsel sambil bertanya lirih, "Bu Sinar kok nggak kelihatan ya, Mbak?"

"Bu Sinar tadi pamit mau salat Ashar dulu, Pak," jawab Aida yang kemudian pamit meninggalkan aula.

Sementara Satrio berdecak kesal. Dia pun tidak mengerti kenapa harus kesal hanya karena Sinar tidak ikut berfoto. Dalam hati bertekad kalau akan menunggu sampai Sinar kembali ke aula.

One Twenty DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang