Bismillah,
Sinar memutar-mutar mouse sambil menopangkan satu tangan ke dagu. Matanya menatap layar laptop yang menampilkan tabel-tabel. Deadline pengumpulan laporan penelitian semakin dekat, tapi Sinar malah senang melamun akhir-akhir ini. Setelah obrolannya siang itu dengan Karin dia jadi enggak fokus mengerjakan penelitian.
Nasihat Karin memang menghantamnya tepat sasaran. Sinar yang tadinya berkutat dengan trauma mulai sedikit sadar kalau dia harus melanjutkan hidup. Masalahnya sekarang dia bingung bagaimana harus menghubungi Satrio. Sinar merutuk kepatuhan Satrio yang berhenti mengganggunya. Hanya sekali laki-laki itu mengirim pesan chat. Itu pun menanyakan kabar Rafa. Dan, Sinar kesal karena dia hanya membalas dengan satu kata yaitu 'baik'. Balasan dari Satrio datang dengan cepat waktu itu. Stiker jempol warna kuning yang berkedip-kedip seperti lampu hiasan.
Mengingat itu Sinar menggerutu dalam hati. Mengomeli dirinya sendiri yang kaku, introvert dan gengsi-an. Apa salahnya membalas dengan kalimat lebih panjang dan ramah?! Bahkan Benny saja sudah dua minggu tidak menanyakan kabar Rafa.
"Nar, laporanmu sudah beres?" Karin yang baru saja memasuki ruangan, menarik kursi di depan Sinar. Lalu duduk sambil mengunyah jajanan mie rasa micin.
"Gimana bisa beres, ngerjain aja aku enggak fokus!" jawab Sinar sambil menggeser dan menutup laptop. Lalu dengan galau menelungkupkan wajahnya ke meja. "Aku bingung, Rin," keluhnya.
"Bingung apa lagi? Data penelitianmu nggak homogen? Hitungan statistiknya masih salah apa gimana? Aku mau ke Dendy nanti sore. Konsul data nggak jelas ini," tukas Karin sambil memegang kepalanya.
"Bukan itu. Data sudah beres tapi ...."
"Tapi?" selidik Karin sambil menowel-nowel tangan Sinar.
Sinar mengangkat wajahnya. Memasang mimik merengut yang lucu. "Janji jangan ketawa!" tuntutnya sambil menudingkan telunjuk pada Karin. Sahabatnya itu hanya mengangguk pasrah dengan dua jari teracung.
Sinar menghembuskan napas. "Caranya bilang sama Satrio gimana?!" rengek Sinar.
"Astaga Doktor Sinar Mentari yang keren abis dan pecinta ayam geprek!" Karin menepuk kening dengan gaya frustrasi. "Kamu tuh nulis disertasi bisa, nulis artikel bisa, presentasi ilmiah lancar. Masak cuma ngasi tahu Satrio kalo kamu setuju mau kenalan nggak bisa?! Nar, kamu tuh kebanyakan belajar makanya oon," berondong Karin sambil geleng-geleng heran.
"Halah kaya kamu dulu enggak bingung aja. Kalo habis berantem sama Andre siapa yang disuruh SMS, nelepon, datengin ke kosannya? Siapa? Si-a-pa?!" cecar Sinar sambil mengacungkan telunjuk pada Karin lalu memencet hidung sahabatnya yang cuma nyengir.
"Jadi gini, Nar. Itu adalah case study yang berbeda. Aku waktu itu cupu, sedangkan kamu adalah janda yang terindeks ... pengadilan agama." Karin mengikik geli.
Wajah Sinar yang sudah bete semakin bete gara-gara ucapan Karin yang memang mengandung kebenaran ilmiah. Dia merasa berjalan di lumpur. Tidak bergerak tenggelam, bergerak pun harus ngotot. Masak iya dia harus ngotot nge-chat Satrio?! Mendadak Sinar teringat waktu mereka pertama kali bertemu di pom bensin. Teringat betapa dia mengedip-ngedip genit dan berbicara dengan nada manja pada Satrio.
Sinar bergidik ngeri.
"Heh ngelamun mesum-mesum ya?! Makanya cepet jawab Satrio biar enggak bayangin melulu. Langsung eksekusi, Neng kalo sudah punya lawan tanding," sela Karin sambil mendorong-dorong bahu Sinar.
"Karin, ih! Aku nggak ngelamunin apa-apa. Aku bingung! Bantuin dong," rengek Sinar sambil menarik tangan Karin dan menggenggamnya erat.
"Iya, iya ntar aku cariin cara bilang sama Satrio. Eh tapi btw kalo gitu kamu tuh seneng ya sama Satrio?!" goda Karin sambil memasang wajah kepo.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Twenty Days
RomancePunya mantan suami, ayah dan paman yang berselingkuh saat sudah sukses bikin Sinar alergi sama cowok sukses. Waktu Satrio Hendrawan, si calon profesor muda plus duda high quality mendekatinya, Sinar sama sekali nggak tertarik. Sayangnya, sang Ibu da...