Bab 16. Bukan Bahu untuk Bersandar, tapi Jari untuk Menghapus Air Matamu

418 46 1
                                    

Bismillah,

Sinar melempar ponselnya ke kasur. Perasaannya campur aduk sehabis membaca pesan dari Satrio. Menurut Sinar, laki-laki itu semakin menyebalkan. Kalau sebelum dia menyetujui ajakan pdkt, Satrio menunjukkan betapa sabar dan mengalahnya lelaki itu. Sekarang, dua sikap itu ditambah dengan ketegasan. Hal yang membuat Sinar jadi ketar-ketir.

Pesan yang baru saja diterimanya semakin menguatkan ketegasan Satrio. Satu gambar berisi perjanjian mereka dikirimkan pada Sinar. Lelaki itu tidak lupa menuliskan satu kalimat yang membuat Sinar resmi cemberut.

Satrio: perjanjiannya enggak bisa dibatalkan. Enggak bisa dibakar juga karena bentuknya soft file. Kamu boleh menghapus, tapi aku punya file-nya, Nar. Back up file juga aku simpan di cloud.

Sebenarnya isi dari perjanjian itu tidak jauh-jauh dari yang sudah mereka berdua setujui saat makan siang kemarin. Sinar memang menolak beberapa poin, seperti video call tiga kali seminggu, keluar bareng tiap akhir pekan, plus nelepon dan chat kapan pun. Tapi dasar Satrio, perjanjian itu tetap ditulis dilengkapi tanda bintang kecil dan keterangan kalau poin itu bisa dirundingkan sambil ngafe.

"Nyebelin!" teriak Sinar sambil merebahkan tubuh lalu menutupkan bantal ke wajahnya.

"Oy, Kak! Siapa yang nyebelin?"

Ranjang bergerak karena Aya ikutan berbaring tepat di samping Sinar. Dalam hati Sinar memaki karena lupa kalau Aya sedang berada di rumahnya. Seperti biasa, adiknya itu kabur gara-gara habis berantem dengan Niko.

"Nggak ada," kelit Sinar sambil memunggungi Aya. "Geser sana, Ay. Daripada ke sini mending kamu temenin Fabian."

"Fabian udah tidur." Aya semakin merapat pada Kakaknya.

"Ya udah telepon Niko sana. Bicarakan masalah kalian, terus pulang. Jangan ganggu aku," usir Sinar masih dengan membelakangi Aya.

Bukannya menuruti perintah Sinar, malah perempuan berambut caramel brown itu mengikik. "Jangan coba-coba ngusir aku ya, Kak. Kamu lagi sebel sama Satrio, kan?!" tebaknya dengan tepat.

"Daripada ngerecokin masalah percintaanku, kamu urus masalahmu sama Niko," balas Sinar sambil menoleh sedikit pada Aya.

Tawa keras Aya menyembur. "Oh jadi sekarang Satrio adalah bagian dari percintaan Kakak?"

Sial. Kok bisa keceplosan, sih?

Sinar merutuk dalam hati sambil menutupkan bantal ke mukanya. Setelahnya dia memilih diam, khawatir akan mengatakan hal-hal di luar kewarasan otaknya. Dengan adanya Aya di sini, kejadian itu bisa membuatnya dikejar-kejar. Dia sadar dari dulu Aya adalah teman curhatnya walaupun seringkali dia mengomeli adiknya yang sembrono dan seenaknya sendiri. Namun faktanya, peran Aya sebagai penasihat urusan romantis sekaligus tempat curhat masih sangat penting.

"Kak jangan terlalu keras sama Satrio. Kasihan atuh. Dia sabar loh ngadepin Kakak yang super keras kepala gini," ucap Aya setelah mereka diam cukup lama.

Mendengar itu Sinar masih diam. Meresapi semua kata-kata Aya yang memang banyak benarnya. Dari awal Satrio sudah menunjukkan kesabaran dengan caranya yang unik. Cara yang juga sukses membuat Sinar kesal karena lelaki itu sering membuat jantungnya berlompatan. Masalahnya adalah Sinar masih belum yakin banget untuk membuka hati. Ada luka yang belum sembuh dan diperparah oleh kelakuan Benny.

Istilah kerennya Sinar belum selesai dengan dirinya. Di sisi lain dia pun mulai kesulitan menahan perasaan setiap kali berdekatan dengan Satrio.

"Jangan samakan Satrio dengan Benny, apalagi sama Ayah. Pokoknya jangan! Mereka itu beda, pengalaman hidup dan background-nya juga beda, Kak. Percaya deh sama aku." Aya melanjutkan perkataannya, tidak peduli apakah Sinar mendengarkan atau tidak.

One Twenty DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang