Bab 18. Ide untuk Mencuri Hati Ayang

407 43 6
                                    

Bismillah,

Sehabis rapat urusan pemilihan senat, Satrio berjalan lunglai menuju ruangannya. Sejak malam Sabtu itu dia bete dan enggak bisa tidur nyenyak. Teringat Sinar ketika ditelepon mantan suaminya. Masih terngiang bagaimana seksi dan beratnya suara si penelepon, membuat Satrio menebak-nebak seperti apa mantan suami Sinar.

Kejadian dengan Pak RT juga masih berkelebatan di kepala Satrio. Masih terekam jelas bagaimana pucat dan paniknya Sinar ketika lelaki berkumis itu datang. Satrio tertawa sendiri teringat itu. Betapa lucunya ekspresi Sinar saat itu. Satrio jadi terjebak dilema. Di satu sisi cemburu, sisi lainnya semakin gemas dan jatuh cinta.

Gara-gara geli sendiri teringat Sinar, dia jadi memutar memori malam Minggu kemarin. Sebenarnya Satrio masih kesal karena cemburu pada mantan suami Sinar, tapi Aya terus merongrongnya untuk datang malam Mingguan bareng. Aya benar-benar menakjubkan dalam hal merayu.

Ralat. Memaksa lebih tepatnya. Perempuan itu beda dengan Sinar yang malu-malu dan pendiam. Aya sangat outspoken. Apa yang ada di dalam kepala langsung disuarakan tanpa takut menyinggung atau membuat orang ngamuk.

Thanks to Cahaya Senja, alias Aya yang berhasil memaksa Satrio untuk datang bermalam Minggu. Yang enggak berhasil adalah mengajak Revaline. Lagi-lagi gadis SMP itu menolak ajakan Satrio untuk bertemu Sinar dan Rafa. Kali ini Revaline beralasan ingin rebahan sambil membaca komik.

Satrio menghembuskan napas berat. Dia belum sukses dengan Revaline. Ada sesuatu yang membuat hatinya berat setiap kali putrinya menolak untuk diajak jalan bareng Sinar. Tetapi, untuk saat ini Satrio memilih menunggu sambil mencari cara lain. Alih-alih memikirkan putrinya, saat ini yang bermain di kepala Satrio malah kenangan tentang malam Minggu itu.

Setelah ini Satrio harus menghadiri rapat lain, sementara di kepalanya ada perang yang sedang berlangsung. Kenangan manis dan pahit tentang malam Minggu bersama perempuan yang sekarang sedang mengaduk-aduk hatinya.

Bubur kali diaduk!

Satrio menggeram sendiri sambil mengacak rambutnya sekilas. Satu tangannya dimasukkan dalam kantong celana sementara kakinya melangkah semakin cepat.

Dia merindukan Sinar dan obat tercepat yang sekarang berputar di kepalanya adalah mengingat perempuan itu. Padahal kenangan yang dimaksudnya hanya akan memperparah level kerinduannya dari 'rindu' menjadi 'sangat sangat sangat rindu' campur cemburu.

Tetapi Satrio tidak punya pilihan. Dia memutuskan mengingat lagi kenangan manis campur pahit itu dengan resiko pikirannya semakin tidak fokus. Padahal dia harus menghadiri rapat dengan dekan setelah ini.

Flashback

"Hai, Sat. Aku kira enggak jadi datang," sambut Aya yang sedang sibuk memanggang daging ayam. Satu tangannya memegang penjepit, sementara tangan lainnya memegang spatula.

Satrio tersenyum tipis. Dia sempat memindai halaman samping rumah Sinar yang mungil. Ada Aya dan laki-laki ganteng yang menurut Satrio adalah suaminya. Seorang balita kira-kira berumur dua tahun berjalan tertatih mengikuti Rafa. Bocah laki-laki itu segera berlari dan mendekap Satrio setelahnya.

"Om. Kok nggak bilang kalo mau ke sini?"

"Kejutan, kan. Buat Rafa." Satrio membalas dekapan Rafa lalu mengacak pelan rambut bocah itu. Kemudian matanya mengitari halaman lagi. Perempuan yang membuatnya datang malah enggak kelihatan.

"Cari Mama?" tembak Rafa langsung.

"Eh, ketahuan banget ya?!" sahut Satrio sambil mengacak rambutnya salah tingkah. Mengutuk dirinya yang tidak tahu malu. Bahkan Rafa saja tahu siapa yang dicarinya.

One Twenty DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang