Bab 6. Ditolak Lagi!

562 65 2
                                    

Bismillah,

Hari ini wajah Satrio cerah walaupun langit di luar sana mendung. Sambil menggumamkan lagu lawas milik Rod Steward dia tersenyum-senyum menatap ponsel. Ada fotonya bersama Rafa di kolam renang hari Minggu lalu. Tidak berhasil mengajak Sinar berfoto, Satrio tidak terlalu kecewa karena masih bisa berfoto dengan Rafa.

Kepedulian bocah itu membuat Satrio terngiang-ngiang. Kejadian di kolam renang sudah tiga hari berlalu, tapi ekspresi dan ucapan Rafa masih terekam jelas di memori Satrio. Memang mendekati Rafa awalnya modus supaya bisa menarik perhatian Sinar. Tetapi, bocah laki-laki dengan mata menyorot sedih itu malah mencuri hati Satrio.

"Ibunya nyuri hatiku. Anaknya juga nyuri hatiku. Ck, bener-bener sepasang pencuri tersayang." Satrio menggeleng-geleng sambil tertawa. Berkat kejadian di kolam renang itu dia jadi bisa membuka komunikasi dengan Sinar.

Awalnya ragu dan khawatir chatnya tidak dibalas. Tapi semua itu langsung ditepis karena Satrio nekad dan sudah setengah sinting gara-gara mikirin Sinar terus. Jadilah dia mulai mengirim chat, menanyakan kabar Rafa.

Tanpa diduga chatnya dibalas walaupun agak lama. Setelah itu Satrio mulai meningkatkan serangan. Dari nge-chat ke minta video call. Memang Video call dengan Rafa, tapi bisa curi-curi memandang wajah Ibunya yang masih mode jutek.

Hanya begitu saja hati Satrio sudah berbunga-bunga. Efeknya dia jadi lebih semangat di kampus. Setumpuk pekerjaan bisa diselesaikan dengan senyum mengembang. Bahkan di rapat jurusan yang berlangsung alot, Satrio masih bisa ceria. Hal yang membuat Bimo dan Leo penasaran.

"Sat, kamu nggak apa-apa?" Bimo yang baru saja mendekati Satrio, langsung menempelkan punggung tangannya di kening Satrio.

"Eh, najis ya pegang-pegang," balas Satrio sambil menepis tangan Bimo.

"Habisnya kamu kelihatan beda akhir-akhir ini. Senyum-senyum terus. Kamu habis nganu?" Bimo memberi tanda petik khayalan ketika mengucap kata 'nganu'. Lelaki bertubuh sedikit berisi itu cengar-cengir.

"Nganu gundulmu! Gini-gini aku masih bermoral. Nggak bakal buang benih sembarangan," semprot Satrio. Dia pun berdiri sambil membereskan laptop.

Bimo mengikik melihat ekspresi sebal Satrio. Dengan cuek kini dia duduk di atas meja Satrio lalu bersedekap. "Nah terus yang bikin kamu happy banget apa? Sumpah, Sat kamu beda banget. Sudah move on dari Sandrina?"

"Move on sudah lama! Sudah jangan kepo melulu." Satrio menyandang tas laptopnya lalu bersiap berjalan ke luar.

"Eh tuyul, mau ke mana, sih, buru-buru?!"

Satrio mengecek arlojinya. "Jemput Revaline," katanya sebelum cepat-cepat keluar.

"Eh bang Sat, kamu jemput Revaline apa jemput ehem-mu sekalian, sih?! Buru-buru amat!" ujar Bimo. Raut wajah sewotnya tercetak jelas. Dia gagal mengorek keterangan dari Satrio.

Sementara Satrio bersiul-siul sepanjang jalan ke area parkir. Dengan gerakan ringan dia memasuki mobil, lalu menyalakan mesin. Tak sampai lima menit, Fortuner hitamnya sudah melaju meninggalkan area kampus.

Jam menunjukkan pukul 14.45. Lima belas menit lagi Rafa pulang sekolah. Sedangkan Revaline harus dijemput pukul empat. Sembari menunggu Revaline pulang, Satrio janjian dengan Rafa. Mereka akan makan es krim di dekat sekolah Revaline. Kebetulan juga Sinar nggak bisa menjemput Rafa tepat waktu, sehingga memberi Satrio kesempatan besar untuk tampil sebagai pahlawan.

Senyum Satrio semakin lebar membayangkan dia akan melancarkan rencananya hari ini. Setelah menjemput Revaline, Satrio akan ke kampus Sinar mengantarkan Rafa. Sudah terbayang kalau hari ini dia akan bertemu Sinar lalu mengajak perempuan itu kencan di akhir pekan.

One Twenty DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang