Bab 17. Kedatangan Pak RT

368 44 7
                                    

Bismillah,

Jari Satrio masih menyapu perlahan pipi Sinar yang basah karena air mata. Dalam hati Satrio memaki dirinya karena berani-beraninya menyentuh perempuan yang sering menolaknya ini. Yang dilakukannya memang di luar kendali. Semuanya hanya refleks, melihat mata sembab Sinar dan pipi dengan jejak air mata membuat Satrio teringat pertemuan pertama mereka. Saat itu Sinar menangis di dalam mobil, dan Satrio tidak sengaja memergokinya.

Semua sudah terlanjur, tidak mungkin Satrio menarik lagi jarinya. Apalagi jarinya yang langsung bersentuhan dengan pipi Sinar mengirimkan sengatan langsung ke jantungnya. Membuat Satrio bahagia dan lupa kalau setelah ini bisa saja Sinar menggamparnya.

"Sudah malem, Sat." Sinar memalingkan wajahnya sedikit, membuat jarak dengan jari Satrio.

Berdehem untuk menyingkirkan gugup, Satrio menurunkan tangannya. Sebenarnya tidak rela karena sentuhan tadi menyuntikkan dopamine, serotonin dan oksitosin berbarengan. Satrio lupa kapan dia merasa seperti ini. Pernikahannya dengan Sandrina sudah lama terasa hambar sebelum mereka benar-benar bercerai.

"Maaf," bisik Satrio.

Mendengar itu Sinar mendongak sedikit. Ucapan Satrio hanya dibalas dengan tatapan mata sendu dan mulut membisu.

"Aku enggak bermaksud kurang ajar, Nar. Maaf ya," ulang Satrio. Cemas melihat reaksi Sinar.

Ketika perempuan itu mengangguk kecil, Satrio merasa luar biasa lega. "Lain kali enggak nyentuh pake jari, Nar."

Sinar mengangguk lagi. Kali ini dengan cuek. Seolah sudah malas berbasa-basi dan berharap Satrio cepat pulang.

"Nyentuhnya pake bibir," tambah Satrio.

"Satrio!" Sinar menghentakkan kaki seraya memasang tampang cemberut. Kesal sekaligus gemas pada Satrio. Kesal juga karena dia belum pernah bisa membalas keusilan lelaki itu.

"Becanda, Nar, becanda," kata Satrio dengan tawa usilnya.

"Sudah malem." Sinar mengkode sambil memalingkan wajah. Matanya sekilas menangkap jalanan depan rumah yang sudah lengang. Selain itu dia enggak sabar ingin mencicipi pastry.

Mengangguk lalu mengecek arloji, Satrio mengerti maksud ucapan Sinar. "Oke. jangan lupa makan yang bener, jangan ayam geprek terus," ucapnya. "Aku balik ya," pamit Satrio yang sudah siap memutar tubuh.

"Satrio!"

Mendengar panggilan itu Satrio tidak jadi berbalik, malah tertegun melihat Aya keluar dari ruang tamu. Tidak menyangka akan melihat si adik yang super ajaib di rumah Sinar. Sedangkan Sinar terlihat membuang napas kesal. Apalagi setelahnya Aya memaksa Sinar minggir, dan membuka pintu lebih lebar.

"Kok buru-buru? Kenapa enggak duduk dulu terus ngobrol sama Kak Sinar?" celoteh Aya.

"Eh enggak usah, Ay, sudah malem. Aku balik aja," tolak Satrio setelah sempat melihat ekspresi Sinar.

"Belum jam sembilan. Setengah jam cukup lah buat ngobrol sama ngopi." Aya bersikeras, ikut-ikutan melirik Sinar yang tidak bersuara. "Yuk masuk," ajaknya tanpa berdosa.

"Hm ... kayanya Sinar udah mau tidur, Ay. Lain kali aja ya." Lagi-lagi ekor matanya menangkap raut wajah sebal Sinar. "Besok malem aku ke—"

"Udah duduk aja." Tanpa peringatan Aya sudah menarik lengan Satrio dan menggiringnya ke ruang tamu. "Silakan duduk, aku buatkan kopi ya. Kak Sinar, temenin Satrio, dong. Masak udah jauh-jauh datang malah dicuekin."

"Enggak jauh kok, Ay, rumahku dek-"

Ucapan Satrio terpotong karena Aya memelototinya. Lalu dengan santai perempuan itu melenggang masuk. Meninggalkan Satrio dan Sinar yang sama-sama canggung.

One Twenty DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang