Bab 10. Berduaan

477 55 12
                                    

Bismillah,

Tatapan Sinar menancap pada Satrio. Perempuan itu memasang wajah jutek seperti biasa. Tapi kerutan-kerutan di dahinya terlihat jelas. Kentara sekali dia bingung kenapa Satrio ada di rumah Ibunya.

Beberapa saat kemudian Sinar sepertinya tersadar kalau ada orang lain yang belum dikenalnya di ruang tamu. Sinar beralih pada Ibunya.

"Bu Salma, ini Sinar anak saya," ucap Triana seolah paham dengan maksud tatapan putrinya. "Nar, ini Bu Salma, Ibunya Satrio. Beliau ini teman Ibu di pengajian." Triana tersenyum manis, mengkode Sinar untuk melakukan hal yang sama.

Mendengar itu Sinar perlahan merubah ekspresi juteknya. Senyum manisnya tercetak tanpa kesulitan. Bahkan Satrio sampai melongo melihat keajaiban itu. Belum lagi degupan di jantungnya meningkat melihat senyum manis Sinar yang jarang dilihatnya.

"Maaf, Tante. Saya Sinar, ini Rafa anak saya," ucap Sinar sambil mencium tangan Salma.

Sedangkan Salma tidak bisa melepas tatapannya dari Sinar. Jelas sekali kalau perempuan 65 tahun itu sudah terpesona pada Sinar. Pembawaannya yang santun, pakaiannya yang tertutup plus wajahnya yang manis membuat Salma tertawan.

Pantesan Satrio langsung mau dijodohkan.

Salma membatin seraya terus meneliti Sinar yang berdiri tepat di depannya. Baru pertemuan pertama, dia sudah terkesan dengan perempuan berhijab warna biru muda ini. Salma mengerjapkan mata, seperti baru menyadari sesuatu. "Kok warna bajunya Sinar sama ya dengan Satrio? Apa ini kode keras dari semesta? Kalian sepertinya jodoh," sela Salma.

Tidak bisa menahan diri, Sinar langsung melirik Satrio. yang dilirik sedang memelototi kemejanya, lalu tersenyum tenang. Tanpa disangka Sinar malah terbatuk-batuk setelah memastikan kalau dia dan Satrio memang mengenakan baju dengan warna yang sama.

"Loh, kenapa, Sinar? Sini, sini duduk sama Tante," kata Salma sambil membimbing Sinar untuk duduk di sebelahnya. Tangannya menepuk lembut punggung Sinar, lalu mengangsurkan secangkir teh.

"Ma," panggil Satrio dengan sedikit gusar.

"Apa sih panggil-panggil?!" balas Salma.

"Mama ... itu-"

"Biar Sinar minum dulu," ucap Salma memotong ucapan Satrio. Perhatiannya kembali pada Sinar yang sudah menyesap teh dari Salma. Batuknya mulai reda, dan Salma tersenyum lega.

"Ma, itu tehku. Sudah aku minum tadi." Satrio akhirnya menyuarakan kegusaran sambil meringis.

Sontak Sinar, Salma dan Triana menatap ke arah Satrio. Dua perempuan sepuh itu senyum-senyum. Sebaliknya Sinar langsung menutup mulutnya dengan tangan. Wajahnya memerah saking malunya. Kalau enggak salah ingat sudah dua kali dia dan Satrio minum dari cangkir yang sama.

Masih belum menemukan kalimat untuk menutupi malu, Sinar menghindari bertemu muka dengan Satrio. Dalam hati dia merutuk kenapa tadi harus batuk-batuk segala. Kenapa juga enggak mendengar apa yang mau dikatakan Satrio dulu. Yang paling membuatnya cemas adalah apa kira-kira komentar Ibunya dan Salma setelah ini.

"Kayanya ... ehem ... memang kode semesta, Jeng." Triana mengedipkan satu mata pada Salma. Kemudian keduanya mengikik keras.

Setelah bisa mengendalikan diri Sinar berdehem, lalu tersenyum manis pada Salma dan Triana. "Maaf ya, Tante, Bu, Sinar mau ke belakang dulu," pamitnya sambil siap berdiri.

"Daripada ke belakang mending ke depan sana, temenin Satrio. Ajak ngobrol," usul Triana. Matanya melirik Salma sambil mengacungkan jempol sembunyi-sembunyi.

"Nah betul itu. Ide yang sangat cekatan," sahut Salma.

"Cemerlang, Mama, bukan cekatan." Satrio membetulkan perkataan Salma sambil geleng-geleng. Mamanya memang ajaib. Sering salah ucap tapi masih saja nekad memakai istilah-istilah ribet.

One Twenty DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang