Bab 9. Semangat Menjemput Jodoh!

454 59 1
                                    

Bismillah,

Sejak pembicaraan dengan Mamanya, semangat Satrio seperti kembali penuh. Bagaikan balon yang tadinya kempes, sekarang sudah mengembang penuh. Efek dari disebutnya nama Sinar sungguh dahsyat. Bad mood, angin-anginan dan wajah masam Satrio sudah hilang tanpa bekas.

Seperti di rapat jurusan hari ini. Satrio sama sekali tidak terlihat kesal walaupun sempat berdebat kecil dengan ketua jurusan. Wajahnya tetap fresh dan happy ditambah senyum yang betah menghiasi bibir. Kondisi yang membuat Bimo dan Leo enggak berhenti saling melirik penuh tanya.

Begitu rapat selesai, Satrio cepat-cepat berdiri dan bersiap meninggalkan ruangan yang lumayan pengap itu. Ketua jurusannya perokok berat, karena itu sejak rapat berlangsung asap rokok sudah meracuni udara. Kalau saja tidak sedang berbunga-bunga, Satrio pasti sudah mengomel. Untuk seorang Satrio yang menganut gaya hidup sehat, rokok itu musuh nomer wahid.

"Sat, buru-buru banget, sih?" sapa Bimo yang sudah menjejeri langkah Satrio.

Tidak menjawab, Satrio malah melirik arlojinya. Leo datang menyusul dan berjalan di samping kiri Satrio. Sehingga lelaki berkemeja abu-abu itu terlihat dikawal dua bodyguard yang body-nya enggak bagus-bagus amat.

"Kamu sudah hepi lagi, Sat?!" Sekarang Leo yang bertanya.

"Kepo!" balas Satrio masih terus berjalan.

"Kepo pangkal pandai, Sat!" Bimo mendengkus, kesal dengan jawaban irit Satrio.

"Heran ya, kamu tadi bisa enggak emosi meladeni Pak Irawan. Nggak kaya biasanya," ujar Leo.

"Masih emosi, tapi manajemen emosiku emang bagus banget, kan." Satrio memasang wajah sombong. "Irawan masalah kecil," tambah Satrio sambil membuat gerakan dengan jarinya.

Mereka bertiga sampai di ruang dosen. Satrio langsung menuju tempat duduknya, tapi tidak duduk. Dia membuka laci, mengeluarkan charger ponsel lalu bergegas memasukkan ke dalam tas. "Aku cabut dulu ya. Takut telat," pamit Satrio.

Bimo dan Leo berdiri serentak. Menatap heran pada Satrio yang sudah melangkah ke arah pintu. Tanpa diduga Bimo dengan sigap berlari ke arah pintu dan langsung menguncinya. Sedangkan Leo mendekati Satrio yang menghembuskan napas kesal. Dua kolega dekatnya ini rupanya sedang kepo level internasional.

"Jangan coba-coba kabur sebelum cerita! Sudah cukup kamu tutup mulut dengan wajah jelek semingguan kemarin. Sedih dan nggak mau bagi-bagi sama temen itu oke, Sat. Tapi seneng dan masih nggak mau bagi-bagi sama temen itu ke-ter-la-lu-an!" semprot Leo yang menarik lengan Satrio lalu mendudukkan lelaki itu kembali di kursinya.

"Ya ampun kalian berdua kaya emak-emak tukang gosip ya?!" cetus Satrio sambil menuding Bimo dan Leo bergantian. Keduanya sekarang berdiri sambil bersedekap dan menatap Satrio dengan sok galak.

"Elah Sat, apa susahnya, sih, cerita!" desak Bimo.

"Oke, oke,tapi aku nggak bisa lama-lama. Bisa telat beneran ini." Satrio lagi-lagi melirik arlojinya dengan cemas. "Jadi gini, seminggu kemarin aku sumpek mikirin Sinar. Aku ditolak."

Sepi. Lalu suara tawa Bimo dan Leo menyembur berbarengan. Satrio memasang tampang kecut sambil berucap, "Puas lihat temennya susah?!"

"Sorry, sorry. Lanjut, Sat. Sekarang yang bikin kamu happy apa?" Leo berhasil menahan tawa dan melanjutkan bertanya dengan kepo. Sebenarnya mereka bertiga cukup dekat dan satu angkatan sejak kuliah. Yang membedakan karir Satrio meroket cepat, sementara Leo dan Bimo memilih rute santai.

"Mama mau ngenalin aku sama seseorang." Satrio menghindari pandangan menyelidik dua sahabatnya.

Bimo dan Leo saling melirik dengan kening terlipat. "Dan ... orang itu adalah?" tanya Leo.

One Twenty DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang