Bab 15. Perjanjian Kita

393 49 2
                                    

Bismillah,

"Boleh ngapel malam minggu, boleh nelpon dan nge-chat kapan aja, boleh ngajak makan kapan aja, dan ... boleh nganter jemput tiap hari."

"Banyak banget 'boleh'nya?! Nelpon dan nge-chat nggak bisa kapan aja," tolak Sinar sambil menghindari tatapan Satrio.

"Nelpon dan nge-chat nggak dibatasi waktu, video call yang dibatasi, gimana?" Satrio mencoba bernegosiasi. Kesabarannya menghadapi Sinar seperti tidak berbatas.

Sudah hampir satu jam mereka duduk di lantai dua kantin di kampus Satrio. Taman kampus dengan barisan pohon tabebuya, tanaman berbunga dan rumput hijau menyejukkan siang yang panas. Sekaligus menambah stok kesabaran Satrio saat menghadapi Sinar yang keras kepala.

"Tapi ya nggak bisa tiap waktu juga. Aku enggak biasa ditelpon sewaktu-waktu. Males banget," keluh Sinar.

"O maunya langsung ditemuin, ditemenin seharian gitu?!" goda Satrio.

Refleks Sinar menggeplak tangan Satrio yang menopang di meja. "Satrio, ih ngeselin banget!"

"Cie nyentuh-nyentuh nih. Giliran disentuh nggak mau," balas Satrio sambil pura-pura mau meraih tangan Sinar.

Perempuan itu buru-buru menyembunyikan tangan di bawah meja lalu membuang muka. Dalam hati merutuk Satrio yang suka membuat jantungnya seperti berkejaran. Sinar menyesal karena sudah menyetujui usul Satrio untuk makan siang bersama di kantin kampus. Tadinya dia datang ke kampus ini untuk menemui pengelola jurnal. Jurnal yang dikelola fakultasnya berencana mengadakan studi banding untuk peningkatan mutu. Sinar tidak menyangka kalau Satrio akan mendadak menghadang dan 'memaksanya' makan siang bareng. Dalam hati bertanya-tanya dari mana Satrio tahu kalau dia sedang berada di kampus lelaki itu.

Sebaliknya Satrio mendapat angin segar karena Aya tahu-tahu mengirim pesan, memberi tahu kalau Sinar ada rapat di kampus Satrio. Masih heran bagaimana Aya bisa tahu nomernya, Satrio tidak banyak bertanya. Dia cepat cepat menyimpan nomer telepon Aya dan tidak bisa menahan diri untuk berbahagia karena Aya kelihatan mendukung hubungannya dengan Sinar.

"Ya sudah, kamu maunya gimana?" ucap Satrio akhirnya. Setelah melihat Sinar terlihat kewalahan menahan malu sekaligus menyembunyikan wajahnya yang merona.

"Aku enggak mau terlalu intens." Sinar melirik lelaki berkemeja biru di depannya, lalu cepat-cepat membuang pandang. Pura-pura menelusuri taman di samping kanannya.

Kalo kebanyakan ketemu, chatting, dan telepon aku takut kecewa, Sat.

Sekarang Sinar menunduk, menatap dua tangannya di atas pangkuan. Kenangan pahit bersama Benny melintas lagi. Bagaimana dulu mantan suaminya itu pedekate dengan cara nekat plus sedikit memaksa, mirip dengan Satrio. Sinar belum lupa bagaimana Benny begitu menggebu-gebu berusaha meraih hatinya. Nyatanya laki-laki itu tetap saja berselingkuh.

Sinar merasa dadanya diremas. Ada sakit yang enggak kelihatan sekaligus rasa takut yang seperti mulai terbangun.

"Oke, yang penting aku boleh nelepon dan nge-chat kamu, kan? Aku janji enggak bakal sering-sering, Nar. Aku ikut aja maunya kamu gimana." Satrio mengulas senyum. Tidak berlebihan tapi cukup menenangkan. Gingsul di gigi barisan atasnya terlihat sedikit.

Mau enggak mau Sinar terpana. Sedetik. Hanya sedetik. Karena detik berikutnya dia memerintah dirinya dengan keras untuk sadar.

"Nar," panggil Satrio setelah mereka sempat saling diam.

Sinar mengangkat wajahnya.

"Kalo weekend boleh nggak kita keluar bareng-bareng. Sama Rafa dan Revaline?" Raut wajah Satrio terlihat sangat berharap.

One Twenty DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang