Bab 11. Mengalahkan Hidup yang Brengsek!

461 53 5
                                    

Bismillah,

"Bu, Sinar enggak mau dijodoh-jodohkan kaya gini. Lagian Ibu tahu sendiri, Sinar belum mau nikah lagi." Sinar menggenggam lembut tangan Ibunya. Mereka duduk bersebelahan di ruang makan. Sementara Rafa sudah tertidur di kamar Sinar.

"Bukan dijodohkan, tapi dikenalkan. Siapa tahu cocok, kan. Apalagi Rafa langsung lengket gitu sama Satrio," balas Triana hati-hati. Dia tahu luka di hati Sinar belum sembuh. Luka lama bertumpuk dengan luka baru. Perselingkuhan Hari –mantan suaminya- sangat melukai Sinar. Sejak kecil Sinar memang lebih perasa dibanding Aya dan Fajar, kakaknya. Ditambah lagi, Sinar adalah adalah anak yang paling dekat dengan Ayahnya. Triana dapat meraba betapa putri keduanya itu merasakan sakit hati parah.

Sembari melepas perlahan genggaman tangannya, Sinar menghembuskan napas. Lalu menopangkan satu tangan ke dagunya. Pandangan matanya kosong. Sosok Satrio mengisi benaknya. Begitu juga dengan percakapan mereka tadi sore.

Menyadari kalau Satrio punya nilai plus dengan cara pedekatenya yang ajaib, Sinar tahu laki-laki itu sebenarnya tidak salah. Masalahnya Sinar tidak ingin membuka hati dan membuka kisah baru. Dia takut endingnya akan sama saja. Benny dulu juga bersusah payah mengejar dan meyakinkannya. Lelaki yang sudah tidak punya ibu itu begitu gigih berusaha mendobrak hati Sinar. Sampai akhirnya Sinar menyerah.

Nyatanya image awal yang ditampilkan Benny hancur berantakan. Lelaki itu sama saja dengan Ayah dan Omnya.

"Nar, enggak semua laki-laki seperti Benny. Ibu memang belum kenal Satrio, tapi cobalah buka hati, Nar. Kenalan saja nggak ada salahnya, toh." Triana melanjutkan setelah ruang makan sempat sepi beberapa saat.

"Sinar sudah kenal sama dia, Bu."

"Nah, itu bagus to. Satrio kayanya seneng sama kamu," ucap Triana sambil tersenyum. "Kode keras semesta menyatukan-"

"Bu." Sinar memotong sambil menatap Triana dengan muka cemberut.

Triana hanya mengangkat bahu sambil nyengir untuk merespon.

Rasanya letih sekali, jadi Sinar menyandarkan punggungnya lalu menarik napas panjang. Kepalanya berdenyut. Jari Sinar bergerak memijit perlahan keningnya sembari memejamkan mata. Percakapannya dengan Satrio sore tadi mendadak terngiang-ngiang.

Flashback

"Sebagai pasangan mungkin kita gagal, Nar. Tapi ... jangan sampe kita gagal menjadi orangtua."

Sinar yang tadinya tenggelam dalam lamunan masa lalu, sedikit tersentak karena ucapan bijak lelaki itu. Pembawaan kocak Satrio ternyata menipu. Laki-laki ini pun sebenarnya sama terluka seperti dirinya. Mungkinkah sikap yang ditampilkan Satrio hanya kamuflase? Kamuflase untuk menyembunyikan luka.

Diam-diam Sinar melirik, lalu mengembalikan tatapan ke langit secepat mungkin. Dia menemukan Satrio sedang menerawang. Dalam hati Sinar bersyukur karena laki-laki itu tidak memergokinya melirik tadi. Sinar hanya penasaran dengan ekspresi Satrio ketika mengucapkan kalimat yang sangat bijak itu. Apakah dia terlihat serius atau sambil nyengir usil seperti biasa.

Nyatanya Satrio sedang memasang ekspresi yang enggak biasa.

Selama beberapa saat Sinar sempat terkesiap lalu salah tingkah. Suasana plus topik pembicaraan ini menempatkan mereka dalam situasi canggung. Mungkin hanya Sinar yang canggung, karena Satrio terlihat dalam posisi santai dengan raut muka masih diliputi keceriaan.

Dengan debaran jantung yang mendadak meningkat gara-gara habis melirik Satrio, Sinar pura-pura menatap langit lagi. Padahal dia sudah kehilangan fokus. Banyak pertanyaan yang mendadak berkeliaran di dalam kepalanya. Pertanyaan tentang bagaimana pernikahan Satrio dulu. Seperti apa istrinya? Apakah dia lalu terpuruk ketika tahu istrinya selingkuh? Sinar memarahi dirinya sendiri gara-gara sempat lupa kalau lelaki pun punya perasaan.

One Twenty DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang