Bab 13. Membuang Ragu Demi Ibu

369 56 7
                                    

Bismillah,

Aroma kopi menelusup lembut mencapai penciuman Sinar. Anehnya, perempuan itu sama sekali tidak tergerak untuk mengangkat cangkir dan menyesap isinya. Sinar biasanya bersemangat melihat kopi tapi tidak kali ini. Dua tangannya terlipat di meja bertaplak putih sementara tatapannya tertuju entah ke mana.

Suara tawa Rafa dan keponakannya meningkahi kesunyian. Percakapan di halaman belakang juga terdengar samar untuk Sinar. Tadi, Fajar duduk di sebelahnya. Tapi kakak lelakinya itu akhirnya meninggalkan ruang makan, lebih tertarik ikut barbeque-an bersama Aya.

Jadilah dia terjebak bersama laki-laki yang sudah membuatnya trauma. Haribawa sejak tadi berusaha bertanya ini itu. Mengajak Sinar mengobrol dengan penuh harap. Sayang, Sinar hanya menjawab sekenanya.

"Jadi kamu sudah doktor sekarang? Ayah bangga sama kamu. Dari dulu Ayah yakin kamu bisa kuliah sampe S3. Beasiswa lagi," puji Hari dengan senyum masih menempel di bibirnya.

Sinar hanya mengedikkan bahu. Sejak tadi jawaban yang keluar dari mulutnya sangat terbatas. Ketika Fajar masih ikut duduk bareng, percakapan lumayan mengalir. Kakak sulungnya bisa bersikap ramah pada Ayah. Aya juga bersikap seperti Hari tidak pernah melakukan kesalahan. Lain hal dengan Sinar yang tidak bisa menyembunyikan perasaan sakitnya.

"Kapan mau ke Surabaya? Siapa tahu kamu ada seminar atau acara di sana. Nggak usah nginep di hotel, Ayah sama Tante Dewinta nyiapin kamar buat kamu, Fajar dan Aya."

"Mending Sinar tidur di hotel," gumam Sinar sambil membuang muka. Dia tidak ingin bersikap kurang ajar, tapi bersikap baik juga berat. Bayang-bayang perselingkuhan Ayahnya masih menancap di ingatan Sinar. Bahkan perasaan yang menghantam dadanya ketika hari itu dia melihat Dewinta di pangkuan Ayahnya masih menggores dalam.

Sinar masih ingat hari itu. Hari ketika semua mimpi dan kebahagiaannya hancur dalam sedetik.

Di dalam bus yang tidak terlalu penuh Sinar duduk di bagian tengah, tepat di samping jendela. Sejak kendaraan ini mulai melaju, senyumnya tidak sedikit pun pergi. Dia terlalu senang sampai merogoh kertas di dalam kantong jaketnya setiap lima menit.

Rencananya sudah tersusun rapi. Begitu turun dari bis, dia akan naik taksi menuju toko kue yang letaknya tidak jauh dari kantor Ayahnya. Dia akan membeli cake dan lilin warna warni. Sinar tersenyum sendiri membayangkan raut Ayah yang pasti akan diliputi kebahagiaan.

Ini hari ulang tahun Haribawa dan Sinar sudah punya kado terbaik untuk lelaki cinta pertamanya.

Saking semangatnya, Sinar nyaris melompat ketika bis sudah berhenti. Kakinya melangkah cepat menuju pangkalan taksi. Sebagai anak seorang kepala cabang, uang sakunya lumayan berlebih. Sehingga untuk membayar taksi bukan hal yang sulit.

Tidak berapa lama Sinar sudah duduk manis di dalam taksi. Melewati jalanan padat Surabaya yang panas, Sinar sama sekali tidak mengeluh. Dia sebenarnya ingin cepat-cepat sampai di kantor Ayahnya. Membayangkan membuka pintu kantor dan menunjukkan kue ulang tahun. Lalu setelah mengucapkan selamat ulang tahun, Sinar akan mengeluarkan kertas dari universitas impiannya. Selembar pemberitahuan kalau dia diterima menjadi mahasiswa baru lewat jalur tanpa tes.

Bibir Sinar tertarik penuh. Membuat dua lesung pipi kecil tercetak di pipinya.

Akhirnya taksi itu sampai di depan bangunan bertingkat tiga. Sinar bergegas memasuki gedung setelah membayar taksi. Dia mendekati resepsionis, mengatakan kalau ingin bertemu Ayahnya. Perempuan berseragam abu-abu itu menerimanya dengan sopan walaupun Sinar menangkap kegugupan di wajahnya.

"Ada apa, Mbak? Apa Ayah saya sedang pergi?" tanya Sinar sambil mengeryit.

"Oh, eh ... ada kok, Dik. Pak Hari ... di ruangan. Tapi ... saya beritahu beliau dulu ya kalo Dik Sinar di sini," ucap si resepsionis dengan sedikit gelisah. Matanya bolak balik melirik ke arah lantai dua. Tempat ruangan para bos berada.

One Twenty DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang