06. Senyuman pertama

122 66 78
                                    

"Akhirnya, aku merasakan semanis apa senyuman yang tak pernah kau umbar untuk siapapun."

---

Pagi-pagi sekali, Shelila harus sudah mengeluarkan banyak tenaga karena harus berlari dari arah sebrang jalan menuju gerbang SMK Airlangga yang hampir saja tertutup rapat.

"PAK, Ya Allah, cuma 1 detik doang kayanya, saya nggak boleh banget buat masuk?" tanya Shelila panik.

"Sesuai peraturan, tunggu sini sampe anak OSIS kesini buat bawa kalian ke Pak Ardi. Abis itu baru boleh masuk." ucap satpam tersebut.

Shelila menghela nafas kasar. Ia duduk disebuah batu berukuran sedang yang ada di depan gerbang sekolah itu. Sembari menetralkan nafas yang tersengal-sengal akibat berlarian, ia memikirkan hukuman apa yang akan ia dapat pagi ini? Berapa banyak lagi tenaga yang akan Shelila keluarkan untuk pagi ini?

Ia menengok kesana kemari, tak ada satupun orang yang bersamanya. Mungkin hanya dirinya saja yang terlambat dan yang akan di hukum hari ini.

"Please, ada yang temenin gue buat di hukum kek!" Monolognya.

Shelila memainkan rambutnya yang sudah ia kuncir satu. Sudah beberapa menit ia menunggu agar para OSIS keluar, namun tak ada juga yang keluar sampai detik ini.

"Apa gue bolos aja kali ya?" Monolog Shelila lagi.

Ia menggeleng cepat, membuang jauh pikiran bodohnya itu. Ia tak boleh bolos hanya karena akan mendapatkan hukuman. Mau terkena marah dengan gaya apa jika Ibunya tau?

"PAK! KAPAN MEREKA KELUAR SIH? PANAS LOH INI!!!" teriak Shelila.

"Sttt!! Jangan brisik! Suruh siapa kamu telat."

Shelila berdecak sebal, jawaban satpam itu membuat mood-nya lebih berantakan. Ia menghela nafas pasrah, kemudian duduk kembali pada batu itu, di bawah teriknya panas matahari pagi.

Beberapa menit berikutnya, suara gerbang itu terbuka menampilkan dua orang OSIS dengan tampang tegas. Shelila menoleh, lalu bangkit dari duduknya.

"Kak Lila? Tumben telat?" tanya Aura.

Shelila mengangguk, "Ban motor bokap gue bocor di jalan, jadi gue naik angkot kesini, tapi angkotnya ngaret."

Aura terkekeh kecil, "Yaudah ayo masuk!"

"Gue nggak di hukum, Ra?" tanya Shelila penuh harap.

"Peraturan tetep peraturan, Kak."

Shelila menghela nafas kasar ketika mendengar jawaban Aura. Aura terkekeh melihatnya. Shelila yang ketika kesal membuat ia gemas.

Kini Shelila berada di lapangan, berdiri di bawah teriknya sinar matahari. Meskipun matahari pagi bagus untuk kesehatan, Shelila tetap tak menyukai itu.

"Hormat ke bendera 15 menit, terus nanti pulangnya, nyapu koridor utama!" ucap Pak Ardi.

"Ra..." rengek Shelila kepada Aura ketika Pak Ardi sudah pergi.

Aura terkekeh, sesekali ia merasa kasihan pada Shelila. Namun mau bagaimana? Ia harus profesional dalam tugasnya. Peraturan ya tetap peraturan. Siapapun yang melanggar, ia harus terkena hukuman.

"Semangat!" hanya itu yang mampu Aura ucapkan.

Tanpa mengharapkan keajaiban yang akan menolongnya, Shelila langsung hormat pada bendera yang berkibar.

"Lila tuh, Rei!" ucap Gibran pada Reiki yang berada di seberang lapangan.

Mereka keluar dari ruang OSIS, lalu menatap Shelila yang tengah berdiri seraya hormat pada tiang bendera.

HE IS KETUA MPK ( SELESAI✓ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang