Ezra
Paul Bane, aku mencari namanya menggunakan beberapa mesin pencari sekaligus semalam. Nama itu aku dapatkan dari petugas di lokasi kejadian. Ada puluhan sosok yang muncul dengan nama serupa, tapi tidak satu pun wajah yang sama persis dengan sosok mayat di dalam hutan.
Bertemu polisi membuat kepalaku tegang setengah mati. Ketakutan mungkin akan mematahkan pertahananku dan membuat semua kenyataan tumpah ruah hingga aku lah yang di giring ke kantor polisi sebagai tersangka utama. Untung saja, aku bisa mengendalikan diri. Andaikan aku kelepasan berbicara aku akan menyeret teman-temanku sekalian.
Kejadian malam itu kembali mengusik tanya dalam kepalaku. Darah apa yang sebenarnya dia gunakan untuk membasahi tubuhku hingga jiwa liar yang ternyata bersemayam dalam kepalaku selama ini bangun.
Siapa dia sebenarnya dan apa tujuannya, masih menjadi misteri.
Aku mengingat baik teman-teman Dad, bagaimana rupa mereka dan bagaimana koneksi hubungan mereka. Mereka semua bersikap sangat baik di sini. Namun, apa mungkin salah satu dari mereka sedang merencanakan sesuatu.
Beberapa nama aku masukkan ke dalam daftar curiga.
Pertama, Shilas Crum. Dia semasa menjadi manusia normal berdarah Spanyol. Dia selalu menatap Mom setiap kali dia datang ke rumah. Dia berada tepat di bawah Dad dalam hal kepemimpinan dunia bawah.
Kedua Lilit Morgan, dia berulang kali berdebat dengan Dad. Dalam strata kevampiran, dia berada di bagian kelima.
Tetap saja, dari semua nama ini, kenapa mereka melibatkan aku?
Aku belum siap membicarakannya dengan Dad.
Semalam, aku bermimpi aneh dan terasa begitu nyata. Aku bermimpi tentang seorang gadis kecil di pojok kamarku menangis sesenggukan. Dia mengatakan satu kata berulang-ulang, “tolong!” Hanya mimpi.
“Mr. Morgenstern!” Mrs. Smith berdiri di depan mejaku. Kedua tanganya tersilang di depan dada. Dari balik kaca mata berbingkai merah muda di wajahnya itu, kedua bola matanya seakan ingin melompat dan menjitak kepalaku. “Kau sama sekali tidak memperhatikan pelajaran. Keluar dari kelasku sekarang!”
Aku mengangguk dan berjalan ke luar kelas. Sebaiknya memang begini.
Sekolah ini lebih mengerikan dari pemakaman saat musim dingin. Tidak ada matahari. Penerangan hanya dari lampu-lampu suram.
Aku akan kembali ke perpustakaan. Bukan untuk tidur lagi. Rasanya tubuhku masih kuat untuk begadang malam ini.
Setelah mengisi buku kunjungan, aku berjalan menuju meja komputer bagian paling pojok dan membuka Google. Jemariku hanya mengetuk mouse beberapa saat. Mengingat usahaku semalam tidak membuahkan hasil sama sekali.
Paul Bane, terkutuk lah kau … ah, dia sudah tak bernyawa mengutuknya pun percuma.
“Babe …,” sapaan lirih mengusik.
Aku berbalik. Anya berdiri di sisi kananku. Matanya kelabunya berbinar dan bibir cheri tertekan gigi kelinci. Malaikatku datang. Kegundahanku hilang saat melihat wajahnya.
Anya menarik kursi. Dia menatap keliling sebentar lalu meraih tanganku. Telapak tangan halus itu membuatku ingin menarik tubuh Anya dan menciumnya seperti di gimnasium. Kali terakhir kami berciuman karena dampak lain dari hari itu adalah sekolah bukan lagi tempat teraman untuk bersama.
“Kau terlihat sangat kacau,” ucap Anya pelan.
“Aku baik-baik saja, hanya kurang tidur.”
“Kau tidak bisa berbohong padaku, Morgenstern.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Why We Were Born
VampireEzra Morgenstern, playboy kelas Kakap yang malah takluk pada pacar dari Sahabatnya sendiri. Lahir sebagai makhluk berdarah campuran setengah manusia setengah vampire; bagian yang tidak dia inginkan. Sayangnya, sekuat apa pun dia menyangkal faktanya...