Ezra
Duniaku berada di ujung tanduk. Akhir kisahku jelas bukan akhir bahagia, sebagaimana kisah dongeng tolol yang aku baca semasa masih kecil dan bodoh.
Terperangkap di tempat asing selama berjam-jam dalam kepura-puraan. Secepatnya mereka akan tahu jika aku sedang mempermainkan mereka.
Aku mencoba memanfaatkan kesempatan untuk kabur begitu hanya aku sendiri dalam ruangan. Aku berlari cepat ke arah jendela. Namun, saat kakiku menyentuh bangkai gagak, aku malah terpental kembali ke belakang. aku mencoba berulang kali sampai tulangku terasa remuk. Hawa dingin di sini setidaknya memberikan keuntungan padaku sedikit, aku tidak berkeringat.
Suara-suara yang datang dari luar lambat laun makin banyak dan aku mulai kesusahan mendengarkan apa inti dari percakapan mereka. Namun, kalimat terakhir yang aku dengarkan adalah, “Emma sudah tertangkap.”
“Emma tertangkap!” Mereka, siapa pun itu mengatakanya seolah dia adalah gadis berandal pembuat onar.
Kegelisahan mengetuk dadaku, aku tidak bisa berpura-pura lagi. Kegelisahan merambati seluruh tubuhku, aku merosot lemas dari tempatku duduk. Ibu Emma masih ada di depanku. Dia masuk semenit yang lalu, duduk memunggungi.
“Kau memang pandai, Ezra. Sama seperti Ayahmu.” Mrs. Miller menoleh perlahan. Rupa halus dan keibuan yang selalu identik dengan wajahnya mendadak lenyap. Sekarang, dia lebih seperti sosok asing. Ia menggunakan eyeliner tebal dan taburan hitam di sekitar mata. Lipstiknya teralu merah.
“Apa ….”
Mrs. Miller berdiri. Dia menatap langsung ke mata ku sekarang. “Katakan, siapa yang melepaskanmu dari mantraku?”
“Tidak seorang pun.”
“Benar, memang tidak seorang pun mampu mematahkan mantraku. Tapi, aku yakin seseorang sudah mematahkannya untukmu. Katakan siapa dia!”
“Kau seorang penyihir hebat, aku rasa kau cukup tahu.”
Mrs. Miller menghela napas panjang lalu tersenyum kaku. Lipstik menempel di barisan giginya yang panjang. “Emma?” Dia tertawa lebar, lalu berjalan ke arah jendela. “Dia mana mungkin ….”
“Apa yang akan kau lakukan pada kami?”
“Bukan urusan kalian!”
“Sungguh? Lantas kenapa kami diperlakukan seperti ini?”
Mrs. Miller hanya tertawa. Nadanya dua kali lebih tinggi.
Langkah terburu-buru muncul dari pintu kelabu. Tak berapa lama, pintu menderit terbuka.
Nenek Noah muncul. Dia menggunakan jubah hitam yang sama.
“Sudah hampir waktunya.”
Mrs. Miller menganggukkan kepala. “Bagaimana dengan anak-anak?”
“Mereka ada di luar.”
Mrs. Miller menatapku sekali lagi dengan wajah datar sebelum dia berlalu pergi.
Kesempatan terakhir datang. Aku berlari lagi ke jendela. Memasang ancang-ancang lebih sempurna agar bisa melewati burung gagak dan keluar. Namun, tubuhku kembali terpental. Kali ini bahu kiriku yang lebih dahulu menghantam lantai.
“Apa yang kau lakukan?” Suara ringan yang amat kukenali datang dari arah pintu. Noah muncul dengan tergesa-gesa. Dia memakai setelan serba hitam juga.
Aku bangkit berdiri. “Aku harus ke luar dari situasi gila ini!” Kataku sambil menepuk bahu kiriku. Tulangku mungkin retak. Sial sakitnya begitu menggigit.
“Kita tidak bisa!” ucap Noah pelan. Tanganya tersembunyi di balik punggung.
“Maksudmu?”
“Ini semua sudah direncanakan!”
Aku menatap Noah tidak percaya dengan ucapannya. “Jika kau tahu keadaan di luar, kau pasti tahu caranya untuk meninggalkan tempat ini.”
Noah menggeleng.
“Emma? Bagaimana keadaannya?”
“Aku membawanya ke mari!”
“Apa?”
“Kurang jelas? Biar aku katakan sekali lagi, aku yang membawanya kemari.”
Kali ini aku melihat Noah sebagai sosok yang berbeda. Bukan lagi sahabat kecil yang aku kenal sejak usiaku enam tahun. Matanya yang selalu ceria mendadak redup. Aku melihat kebencian dan kegelapan merangkak keluar dari sana.
“Aku kira kau akan menyelamatkan ….”
“Aku harus menyelamatkan diriku sendiri. Lagi pula, semenjak kapan kau peduli pada Emma?”
“Aku selalu peduli!”
“Lihat semua kebohongan ini!” Noah tertawa. Tanganya akhirnya terjulur ke depan. Aku melihat jarum suntik di tanganya.
“Kau tahu semuanya sejak awal? Sejak kasus Paul Bane terjadi?”
Noah kembali tertawa. “Aku tahu sejak aku mengenalmu.”
“Kau kira mengapa aku terus mengikutimu sejak kita bertemu. Aku tidak pernah ingin masuk sekolah asrama laki-laki, Ez. Aku juga muak harus berada di Ever Green. Aku susah payah menjebak Paul Bane, membawa kalian ke hutan …. Kau kira semuanya mudah?”
Detik ini, aku hanya mampu menatap Noah dalam diam. Takjub pada semua penjelasannya. Bagaimana mungkin aku berteman dengan orang yang akan mencelakaiku? Noah sangat hebat dalam menjalankan peranya selama bertahun-tahun.
“Ikuti aku dengan tenang. Agar aku tidak perlu memakai ini!” Noah mengangkat tinggi jarum suntik di tanganya.
“Terserah kau saja.”
“Ayolah, Ezra. Sebagai sahabat, ikuti aku keluar dalam damai. Aku katakan padamu, kau Vampir pemula tidak bisa melakukan apa pun untuk bisa kabur. Kau tidak tahu di mana ini kan? Semua tempat ini dijaga ketat.”
“Emma, apa dia baik-baik saja?”
“Yah. Aku rasa, dia hanya lupa memaki sepatu.”
Aku menarik napas. Untuk apa pun yang terjadi. Aku memang mudah menyerah dan benar-benar tidak tahu situasi sekarang. “Aku akan mengikutimu, tapi, jika terjadi sesuatu pada Emma, aku sendiri yang akan mengeluarkan jantungmu!”
Noah mengangkat bahu. Dia membukan pintu kelabu. Sekarang aku melihat barisan manusia berpakaian hitam berdiri berjejeran.
Sengatan kecil terjadi di bahu kananku. Pandanganku berubah menjadi lukisan pudar, sebelum semua menghilang dalam kegelapan.
---
Sekali lagi gelap.
Busuk.
Aku kembali tidak dapat merasakan tubuhku kembali. Nyanyian aneh menyentil telinga. Suara itu seperti dengungan lebah.
Aku mengerjapkan mata, berulang kali. Hingga kali ini, pandanganku kembali.
Sosok berpakaian hitam masih mengelilingi. Kepala mereka tertunduk. Aku mengikuti arah pandangan mereka. Aliran darah melintas di bawah kakiku. Aku baru menyadarinya, darah di sana datang dari dua pergelangan tanganku dan seorang lagi di sebelahku. Genangan itu mengikuti lekuk pahatan pada lantai. mengarah pada sosok manusia tua yang hanya menggunakan kain hitam pada bagian bawah tubuhnya..
Leherku seolah mau lepas saat berbalik guna melihat siapa di sebelah sana.
“Emma,” panggilku. Ini keterlaluan. Aku tidak tahan.
Wajah Emma pucat pasi, kedua tangannya berada pada pegangan kursi ikut meneteskan darah. Matanya tertutup, bibirnya membiru tak ada gerakan sama sekali.
“Emma … Em ….” Suaraku tertahan di tenggorokan. Pandanganku kali ini berubah lagi, oleh genangan air mata. “Emma!” teriakku kesal. “Bangun gadis, tolol!”
Tubuhku kian melemah. “Emma!”
Mata Emma terbuka. Air mata lengser di wajahnya. Dia tersenyum. Manis sekali.
“Ez.” Suaranya tak kalah rapuh. “Kau menangis.”
“Tolol!” umpatku kesal, aku ikut tersenyum. Betapa menyedihkan hidup kami berdua.
“A … ku memiliki … rahasia ….” Napas Emma tersengal.
Aku hanya mengerutkan kening. Jantungku makin melemah.
“Katakan … pada … pada Darrel, aku …. Ingin menikahi dia.” Emma tertawa, saat itu semburat darah keluar dari mulutnya. “Aku … ingin tetap menjadi sahabat baikmu.” Emma menarik napas panjang berulang kali, sebelum kepalanya terkulai lemas dan matanya terkatup.
Aku menarik napas, dadaku seakan meledak di dalam. Mengapa aku harus menjadi selemah ini? Mengapa? Aku tidak bisa menyelamatkan diriku sendiri, apa lagi Emma.
Tawa mendadak menggelegar di dalam ruangan. Pria yang ada di bawa kaki kami berdua telah berdiri. Tubuhnya tinggi menjulang, matanya merah menyala, tarinya begitu panjang. Dia memiliki telinga panjang menyerupai telinga serigala. Sang raja kegelapan telah bangkit dan ini adalah akhir hidupku.
050823
KAMU SEDANG MEMBACA
Why We Were Born
VampireEzra Morgenstern, playboy kelas Kakap yang malah takluk pada pacar dari Sahabatnya sendiri. Lahir sebagai makhluk berdarah campuran setengah manusia setengah vampire; bagian yang tidak dia inginkan. Sayangnya, sekuat apa pun dia menyangkal faktanya...