Emma
Aku mencoba menjalani hariku di sekolah dengan jadwal yang super padat dengan tenang. Sungguh, aku tidak ingin kehilangan kesempatan kedua berada di Evergreen.
Masih tidak ada kabar terbaru dari Paul Bane meski pun aku terus memantau koran dan tv selama dua hari penuh. Mungkin ini adalah pertanya untukku. Waktunya untuk Emma Lawrence Miller menjalani hari-harinya sebagai manusia normal pada umumnya.
Punggungku benar-benar retak setelah membungkuk untuk les memasak hari ini. Kami diberikan tiga tumpuk kue untuk didekorasi persis seperti contoh dari Mrs. Joline, sebuah floral cake. Dasarnya berwarna merah muda dengan tumpukan bunga mawar dari fondant sedangkan untuk bagian atas kami mendekorasi menggunakan piping bag.
Mrs. Joline adalah manusia paling positif di muka bumi, dia terus meyakinkan kami mendekorasi kue adalah hal mudah.
Yeah. Mudah baginya yang memang seorang Chef Pastry. Satu hal lagi, aku harus melakukannya sendiri. Teman kelas memasakku Maya Frank tidak kelihatan sama sekali. Kami dulunya (kurasa) cukup dekat, sampai saat Anya menamparku di gimnasium. Alhasil, aku harus keluar paling akhir dari kelas.
Lorong panjang menuju gerbang tampak lenggang. Biasanya semua orang berdesakan saat jam pulang di sini. Aku menikmati setiap kelengangan ini.
Hayden!
Aku tidak percaya setelah ratusan jam tak melihatnya, kini dia berdiri di bawah pohon mapel kering sebelah gerbang. Mata birunya menatap ke arahku. Aku melihat ke kiri dan kanan sebentar memastikan memang dia tidak sedang mematikan orang lain.
Jeez! Aku merasakan luapan kerinduan mencekik leher. Aku sangat-sangat merindukan sosok berambut keriting dengan mata biru dan alis tebal sempurna di sana.
Dia mencium gadis lain di depanmu, Miller! Kepalaku mencoba mengingatkan. Namun, terlambat, kakiku sudah lebih dahulu berjalan cepat ke arahnya.
“Emma,” sapa Hayden lembut. Senyuman lebar tercetak di wajahnya. Lihat lah barisan gigi putih nan rapi di sana. Siapa yang bisa menolak godaan itu? “Bagaimana kabarmu?”
“Sangat buruk, kurasa,” jawabku berusaha tenang.
“Maaf!” ucap Hayden. Suaranya nyaris tenggelam.
“Kau meminta maaf untuk apa?” Oh, damnt! Kenapa aku mengucapkan kalimat konyol ini?
“Emma!” Hayden meraih tanganku. “Aku ingin menjelaskan padamu tentang gadis dari St. Andrew.”
“Kau menciumnya di depanku. Apa lagi yang harus diperjelas?” Ayolah, kejujuran ini yang aku dapatkan. Aku sangat bersedia kembali pada Hayden.
“Lucy hanya mantanku …. Kami sungguh tidak memiliki hubungan apa-apa lagi. Dia melakukannya karena kesal kau mengalahkan sekolah mereka. Ayo, kita pergi bersama menemui Lucy.”
Aku mengepalkan kedua tangan, siap-siap untuk melompat pada pelukan Hayden. Mendadak tepukan pelan menghantam bahuku.
“Miller, kau tidak lupa dengan janjimu padaku ’kan?” Darrel menatap tajam padaku.
“Apa?” Demi apa pun, aku sama sekali tidak memiliki janji dengannya. Kami bahkan baru bertemu. Saat makan siang, aku bersama Ezra, Noah dan Calvin.
Pegangan tangan Hayden terlepas. Dia tersenyum sinis menatap Darrel lalu padaku.
“Dengarkan aku, Hayden!” bujukku, “Darrel berbohong, aku sama sekali tidak memiliki janji dengannya!”
Darrel berdehem. “Semalam, di rumahmu ingat?”
Senyuman Hayden makin masam sedangkan matanya berubah tajam. “Sudah lah, lupakan saja!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Why We Were Born
VampireEzra Morgenstern, playboy kelas Kakap yang malah takluk pada pacar dari Sahabatnya sendiri. Lahir sebagai makhluk berdarah campuran setengah manusia setengah vampire; bagian yang tidak dia inginkan. Sayangnya, sekuat apa pun dia menyangkal faktanya...