8. Hell No

16 8 2
                                    

Emma

Tony Louise dilihat dari sudut mana pun adalah pemuda kota yang tampan dan religius. Dia memiliki rambut muda Leonardo Di Caprio saat memerankan Romeo pada film tahun 1993. Mata kelabunya tetap tenang meski kedua tanganya terus bergetar di atas lutut. Kekasih Stacy itu mengagukkan jaket kulit cokelat dan celana panjang putih duduk gelisah di teras depan.

Begitu mendengar suaranya mengetuk pintu rumah, setelah aku selesai melakukan komukiasi tak biasa dengan Ezra, segera aku bergegas turun.

Aku mengamatinya sebentar dari balik pintu sebelum keluar. Dad dan Stacy sedang beradu pendapat lagi. Dad tidak pernah mengizinkan Tony masuk ke dalam rumah sebesar apa pun rasa cinta yang mereka miliki. Pria ini lah penyebab keributan antara Stacy dan Dad. Aku menolak berkomentar atau pada dasarnya tidak tahu akan mengatakan apa. Lagi pula, aku jarang sekali berbicara dengannya. Stacy sangat jarang berbicara padaku mengenai kehidupan pribadinya setelah dia berusia delapan belas tahun dan menjalin hidupnya sendiri di New York, sebelum Dad memintanya pulang.

Stacy memperkenalkan Tony saat dia kembali setelah jauh dari rumah pada usianya yang kedua puluh tujuh. Bahkan perkenalan pertama kali pun Dad enggan duduk berlama-lama dengan Tony.

Tony Louise bekerja di kantor polisi bagian penyelidikan. Dulu aku merasa sebagai orang yang bekerja di bidang serupa mereka cocok-cocok saja. Namun, entalah, kepala orang dewasa tak bisa aku pahami sama sekali.

“Hey, Em,” sapa Tony. Pupil matanya melebar saat menatapku. Senyuman ikut melebar kemudian. Tidak heran Stacy mencintainya begini. Wanita mana pun akan berkorban untuk senyuman manis itu.

“Hay,” balasku cepat. “Ingin minum sesuatu?”

Tony Menggeleng. “Kami akan segera pergi.”

Ah, rupanya begitu. Dad pasti tidak mengizinkan Stacy untuk keluar malam ini.

“Jadi, apa yang ingin kau tanyakan sekarang?” Tony menatapku serius.

“Wow. Kau tahu.” Tidak mengejutkan sama sekali. Rasanya aku pernah begini. Hanya saja, aku lupa apa yang sebenarnya aku tanyakan dulu.

“Apa yang terjadi pada paul Bane?” Lontarku tak tertahan. Jika basa-basi masuk dalam mata pelajaran, maka aku lah yang mendapatkan nilai terburuk.

“Paul Bane? Pria yang ditemukan di hutan kemarin?”

Aku mengangguk kaku.

“Kami sedang melakukan penyelidikan.”

Jawaban standar setiap polisi dan detektif. Aku mengangguk pasrah.

“Ah. Kau ada di sana saat dia ditemukan bukan?”

Aku mengangguk lagi, kali ini aku harus menelan ludah. Jangan sampai terlalu banyak bicara. “Kami sedang mengambil foto banker, hanya itu.”

“Ah. Tembakan yang mengenainya terjadi dalam dua jangka watu yang berbeda dan dari jarak yang berbeda. Tembakan di kepala terjadi berapa jam lebih awal.”

“Aku tidak peduli pendapatmu, Dad!” teriakan Stacy membuat tubuhku bergidik sekaligus malu tentu ada rasa kecewa, aku ingin mendengarkan penjelasan lebih panjang.

Stacy keluar. Wajahnya nyaris semerah lipstik yang dia gunakan.

“Ayo pergi!” Stacy menarik tangan Tomy.

“Bye, Em!” Tomy bangkit dari tempat duduknya.

Langkah kaki terburu-buru datang dari dalam. Kesempatan terakhirku pun tak tergapai.

Stacy menarik tangan Tomy lalu berjalan ke arah gerbang. Mendadak Stacy berhenti mengecek tas tangan yang dia bawa.

“Damn it. Emma, ambilkan ponselku di meja ruangan tamu!” teriak Stacy dengan suara tak sabar.

Why We Were BornTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang