Emma
Halaman Evergreen mulai lenggang saat memasuki pukul lima sore. Aroma musim dingin makin kental. Aku memaksakan diri duduk di bangku taman menunggu Calvin. Keinginaku untuk pulang dan meminum secangkir cokelat hangat juga beberapa potong biskuit sangat besar, tapi aku tetap ada di sini. Ujung hidungku terus berkedut, agak gatal. Aku harus menggosoknya berulang kali. Satu hal lagi yang membuatku tak merasa nyaman, telapak tanganku terus bergetar menyebabkan banyak hal terjadi. Sikat gigiku jatuh terlepas, aku tak mampu mencatat semua materi geometri dan saat bergabung untuk latihan hoki, stikku malah terlempar menghantam dinding pembatas. Aku bersyukur benda itu tidak melukai siapa pun.
Malam kemarin lebih kelam dari malam mana pun bahkan jauh lebih mengerikan dari pada malam pembunuhan terjadi. Sampai detik ini, aku belum sanggup mengenyahkan bayangan tubuh gadis kecil yang membiru berbalut lapisan es dalam kotak pendingin. Luka sayatan tercetak pada lehernya kecilnya yang mungil. Monster sejahat Paul Bane memang layak mendapatkan hukuman setimpal.
Satu hal lagi, setelah akhirnya aku menyimpan semua rasa bersalahku sendirian, aku lega aku bisa mengucapkan semuanya pada Ezra. Membuatku sedikit lebih baik.
“Kau harusnya menunggu di dalam,” kata Calvin. Tiba-tiba dia sudah ada di depanku.
“Aku baik-baik saja di sini.” Aku mengangkat pantat yang sudah memberat dari kursi. Rasanya bangku taman tak pernah sehangat ini.
Calvin meneliti wajahku dengan mata biru bercahaya, setenang lautan. Tanganya kemudian terangkat dan menyentil hidungku. “Merah sempurna.”
“Kau tak akan mengatakannya!” kecamku. Kalimat lanjutannya sudah terdengar duluan dalam kepalaku sebelum Calvin mengucapkan lanjutan dari ucapan barusan.
“Ok.” Calvin menarik napas hingga kedua bahunya terangkat. Tanganya kemudian ikut terangkat. Ia membenamkan jemari ke dalam lapisan rambutnya yang tebal, lurus dan berkilau. Calvin dan Darrel pernah mendapatkan tawaran iklan sampo saat kami berusia tujuh tahun. Hal ini membuat Noah dan Ezra cemburu setengah mati. Demi persahabatan keduanya menolak.
“Penny Wise!” seru Calvin sambil melangkahkan kainnya ke depan.
“Kau berjanji!” gusarku kesal. Astaga ada apa dengannya?
Calvin berbalik dan mengedipkan mata. Ia memikul ransel sekolah berbentuk kotak abu-abu dan tas gitar hitam. Aku menunggunya di sini selama tiga puluh menit sampai dia selesai di klub gitar. Aku tidak ingin masuk lagi ke sana, menatapnya dari kejauhan. Membiarkan irama gitarnya menyusup ke dalam telinga. Lagi pula, aku muak melihat Linsandy duduk di depan para pemain gitar di sisi guru musik seakan dia memiliki peran penting di dalam.
Saat jam makan siang, Calvin memintaku untuk menemuinya setelah jam sekolah berakhir. Aku dan Ezra tadi satu kelas sebelum jam makan siang, jadi kami bersama mengantre mendapatkan makanan lalu duduk di bangku yang sama. Calvin muncul belakangan. Noah dan Darrel duduk terpisah bersama Anya.
“Jadi, Mc Donald atau ….” Calvin menggantungkan kalimatnya.
“Aku tidak lapar.”
“Teh?”
“Yah, kedengarannya luar biasa. Aku hampir mati beku di sini.”
“Aku memintamu menunggu di dalam,” decak Calvin tanpa berbalik.
Demi apa pun dia tidak mengatakan itu.
“Penywise!” ungkap Calvin sambil mengayunkan langkah panjang.
Ketika aku masih berusia tujuh tahun lebih, aku lupa tepatnya, aku sangat-sangat ketakutan pada Penywise versi 1990. Hidung merah, wajah putih dan rambutnya sangat menggagu pikiranku. Setelah menonton film yang seharusnya belum cocok untuk aku tonton, aku memimpinya hampir satu minggu.
Aku hanya menghela napas lalu mengejar Calvin. Tepat di sebelahnya, aku menghela napas. “Oooo, haruskah aku berpura-pura takut agar kau senang?”
Calvin tertawa kecil. “Dulu itu membuatku terhibur. Konyol sekali.”
“Itu nama tengahku.”
Tawa Calvin makin terdengar jelas.
“Ayolah, dapatkan segelas minuman hangat dan kita berkunjung ke rumah pohon. Aku percaya ada pekerjaan yang belum selesai di sana.”
Aku menghentikan kakiku. “Aku berpikir kau akan membawaku ke Disney World.”
“Emmm.” Calvin memajukan bibirnya. “Aku berharap bisa menculikmu ke Underworld.”
“Dan membuatku menjadi persembahan untuk makhluk setengah serigala?”
Calvin mendadak diam. Rupa ceria beberapa saat lalu tenggelam.
Aku tidak tahu letak kesalahanku pada kalimat barusan. “Aku punya ide lebih bagus. Mari membeli minuman bubuk dan kita akan membuatnya sendiri.”
“Sepakat,” jawab Calvin kembali tersenyum.
Damn it. Aku merasa begitu lega sekarang.
Aku sadar betul udara makin dingin ketika kami tiba di rumah pohon. Namun, apa pun maksudnya ini.
Calvin yang membeli minuman instan. Ada teh, kopi, susu dan cokelat bubuk. Dia menyambar semuanya dari etalase mini market seakan kami akan menghabiskan semuanya. Tugasku memasak air dengan kompor portabel dan mencuci dua cangkir, barang simpanan Noah.
Calvin sudah membersihkan bangku di depan danau, tapi dia berdiri di tepi danau.
“Sekarang hidungmu yang memerah,” ucapku sambil memberikan cangkir teh padanya.
Calvin menerimanya sambil tersenyum. “Ini sangat lama.”
“Ya, kita berdua tak pernah saling menceburkan diri ke dalam sana.” mataku mengamati air danau yang menghitam.
Calvin menarik napas memendamkannya lama lalau menghelanya menjadi tiupan lembut. Ia memendam sesuatu.
Aku berjanji pada diriku sendiri, jika aku tidak akan ikut campur terlalu jauh lagi mengenai masalahnya. Aku tidak akan jatuh pada lubang yang sama. Rasanya begitu sakit saat harus memendam perasaan, mencoba tak peduli pada penderitaan atas nama kehilangan.
“Kau ingatkan, saat kita berusia tujuh tahun, kau berjanji padaku suatu saat nanti kau akan bermain gitar di atas panggung raksasa disaksikan oleh banyak orang.”
“Sayangnya ingatanku tak sebaik kau.”
“Setelanya kau akan mengatakan jika aku mengaranya dalam kepalaku.”
“Kita sudah membuat surat pernyataan, bagaimana aku bisa menyangkal soal itu.”
Aku berbalik menatap Calvin. Benarkan ucapan barusan datang dari mulutnya. Ia hanya menanggapi dengan senyuman.
Calvin tidak pernah menceritakan tentang keluarganya. Saat kami berempat membagikan bagaimana kehidupan kami di rumah, dia memilih diam, mendengarkan semua hal dengan baik. Hal yang sering Calvin ceritakan jika tidak sedang membuat kepalaku dan Noah terbakar adalah Mr. Gomez, kura-kura pemberian dari Ayah kandungnya dulu. Hal lain yang dia ceritakan panjang lebar adalah biola, saat itu tanganya belum cukup kuat memangku gitar.
Lantas untukku, sejauh apa aku mengenal Calvin? Mungkin hanya sejauh cerita yang aku dengar dan apa yang aku lihat. Malangnya, mataku mengelabuiku juga sekalian. Jadi, memang aku tidak mengenalnya sama sekali.
“Emma.” Calvin menoleh padaku. “Kau tetap menyukai Darrel’kan?”
“Kau menganggap itu pertanyaan?”
Calvin berdehem, bola matanya mengarah ke langit kelabu. “Suatu hari, aku harap kalian seperti dulu.”
“Kau harus meninggalkan masa lalu di belakang.” Ini kalimat tersulit yang aku ucapkan. Rasanya, seluruh tubuhku pecah bak keramik tua membentur lantai. kenyataan jika aku satu-satunya yang tidak bisa meninggalkan masa lalu di balik punggungku.
“Tidak! Kau tidak boleh meninggalkan dia. Berjanji padaku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Why We Were Born
VampireEzra Morgenstern, playboy kelas Kakap yang malah takluk pada pacar dari Sahabatnya sendiri. Lahir sebagai makhluk berdarah campuran setengah manusia setengah vampire; bagian yang tidak dia inginkan. Sayangnya, sekuat apa pun dia menyangkal faktanya...