Ezra
“Di mana?”
“Peternakan laba-laba.”
“Kau bercanda!”
“Aku benar-benar ada di sini.”
“Bersama siapa?” Katakan kau bersama seseorang di sana.
“Bayanganku sendiri.”
Aku memejamkan mata, merasakan kening ikut mengerut. Aku berusaha menjelajahi ruangan tempat Emma berada. Ruangan bercahaya suram, dinding putih, lantai kayu cokelat dan sofa merah maroon. Benar dia ada di sana.
Peternakan laba-laba adalah rumah tua milik Ibu dari Ayah Emma. Rumah tua lapuk itu berjarak sekitar satu kilo dari tempat kami tinggal. Jalanan ke sana menembus hutan lebat. Setiap kali kami ingin nuansa permainan yang berbeda, kami tak sungkan mengayuh sepeda ke sana. Rumah itu sudah lama terbelangkai. Setiap sudutnya dibalut jaring laba-laba. Ketebalan debu di dalam sana membuat asma Noah kerap kali kambuh hingga dia enggan bergabung. Emma sendiri sering menolak jika diajak. Dia tidak menyukai apa pun yang berhubungan dengan rumah tua itu.
“Bagaimana bisa?”
“Menurutmu bagaimana?” Emma mulai ketus.
“Ah, wanita tua di kepalamu lagi.”
“Sekelompok orang … aku yakin mereka adalah vampir … mengejarku.”
“Aku tidak ada di antara mereka.”
“Kau adalah mereka, Ez.”
“Aku tidak akan menyangkal hal itu. Kau melihatnya sendiri, tapi aku mengenalmu, Em. Aku mengenalmu! Camkan itu.”
“Ini tahun tergila dalam hidupku.”
“Menurutmu, aku tidak merindukan diriku sebagai siswa populer di Ever Green?”
“Ah, ya. Pemeran utama yang menghancurkan hati sahabatnya atas nama cinta. Kau bahkan tak tahu apa itu.”
“Kau mulai menyebalkan.”
“Aku ketakutan. percaya padaku, aku tak mampu merasakan telapak kakiku lagi.”
“Kau melupakan sepatumu?”
“Aku panik … ketakutan.”
“Laba-laba di sana tidak akan menyakitimu. Percaya padaku.”
“Seseorang sudah membersihkan mereka. Mungkin Dad. Tapi, aku tetap …. Kau sendiri berada di mana?”
“Aku tidak tahu. Mereka membawaku kemari.”
“Kau mengingat jalannya?”
“Aku tidak tahu. Aku merasakan tubuhku bergerak sangat jauh ….” Sedari awal yang aku lihat hanyalah gerbang rumah. Aku seakan terus berjalan di sana sampai pandanganku berubah gelap.
“Ezra … kau dalam pengaruh sihir.” Suara Emma terdengar makin kecil. “Aku melihat kegelapan di sekitarmu.”
“Emma ….” Aku tidak mendengarkannya lagi. “Emma!”
Dadaku bergemuruh. Menyahutlah lagi, aku mohon, Emma! Bersuaralah.
“Ezra,” panggil Emma.
Murninya sebuah keheningan. Hanya detak jantungku sendiri yang bersuara. Aku tak pernah merasa sendiri. Sangat-sangat sendiri.
Aku merasakan kelegaan luar biasa.
“Bisa kah kau melihat sekarang?”
Aku mengerjapkan mata. Masih ada kegelapan yang sama. Aku mencoba lagi.
Aku melihat.
Seorang bertudung hitam berdiri di depanku.
“Jangan biarkan mereka tahu.” Suara Emma kian lemah.
“Emma,” panggilku sekali lagi. tidak ada sahutan sama sekali. Kalimat tadi adalah kalimat terakhir yang aku dengarkan.
Aku akhirnya menyadari posisiku. Aku tengah duduk pada kursi kayu. Jauh di depanku dinding kelabu berdiri. Ada tebaran bunga di depanku. Dua batang dupa berasap tertancap pada kendi cokelat.
Ruangan ini beraroma kayu manis dan sedikit bawang putih. aroma lain yang aku dapatkan samar-samar adalah aroma tumpukan kertas yang hangus. Aku mendengar ketel air bersiul. Mungkin berjarak berapa ruangan dari sini. Udara di sekelilingku begitu dingin dan lembab.
Lantai di bawah kakiku hitam sekelam kegelapan yang membutakan mataku sebelumnya.
Sebuah jendela lebar persegi di sebelah kanan. Kaca jendela bagian atas pecah. Di bagian bawah bingkai jendela, pada lantai, bertebaran bulu burung abu-abu dan satu burung kaku berwarna hitam. Mungkin seekor gagak. Selain itu, aku melihat potongan ranting berserakan di bawah jendela.
Bagian sebelah kiriku terdapat dinding pucat berwarna kelabu. Beberapa titik, lapisan luar dinding terkelupas, bata merah mengintip di balik setiap cela. Lalu, pada ujung tembok, terdapat sebuah pintu kayu. Pintu itu mungkin dibuat dalam keadaan terburu-buru, sangat tidak cocok dengan bentuk jendela, hanya papan yang dipaku secara asal kurasa. Pintu aslinya mungkin sudah digantikan secara paksa. Serpihan tembok bertebaran di lantai.
Seseorang datang. Aku merasakan kehangatan tubuh manusia, sama seperti detektor. Hey, ini kemampuan baruku. Tapi, sayangnya ini bukan waktu untuk merayakan kemenangan.
Masalahnya sekarang, bagaimana aku bertingkah. Bagaimana berpura—pura agar mereka tidak menyadari aku sudah mendapatkan penglihatanku kembali?
Berpura-pura buta? Bagaimana?
Nasihat Noah untuk mengambil kelas drama harusnya bisa kuturuti.
Shit! Harus kah aku memedulikannya sekarang? Aku benar-benar sendang berjalan dalam jalur menuju kehancuran dunia. Tamatlah riwayatku.
“Mantranya akan melekat pada Ezra sampai tengah malam,” seseorang berbisik di luar ruangan.
“Dia baik-baik saja kan?” Suara barusan sama seperti angin dingin. Tubuhku seketika membeku. Itu suara Mom.
Mereka main dekat. Langkah kaki mereka kini menjadi satu-satunya suara.
Badai dalam diriku menggertak garang. Sekujur tubuh ini ikut bergetar. Bukanya waktunya untuk gentar. Aku harus tenang. Aku benar-benar tidak memiliki gambaran bagaimana tubuhku saat terpengaruh mantra. Di deklamasikan sekarang, aku adalah manusia terbodoh di muka bumi.
Mereka makin dekat dan aku makin kacau.
“Ritualnya harus dilaksanakan besok. Tapi, kenapa kita harus menahan Ezra sekarang?” tanya Shwan. Aku mengenal suaranya di mana pun. aku tahu di luar sana dia sedang berusaha membuat suaranya terdengar manis. Kakakku mana bisa membunuh suara beratnya dalam hitungan detik.
“Kau mengenal adikmu sejak masih kecil. Kau sangat tahu bagaimana dia bertingkah.”
“Paul Bane, pria yang malang.”
Mereka mengetahui soal Paul Bane sejak sekian lama? Apa-apaan ini?
“Kita belum menemukan Emma.” Aku mengenali suara itu sekarang, Mrs. Miller.
“Kita akan menemukan dia secepatnya. Aneh, bagaimana mungkin para pemburu sebanyak itu tidak bisa menemukan dia.”
“Dia seorang penyihir sama seperti aku dan Ayahnya. Dia pasti memakai mantra pelindung.”
“Kau bilang tidak pernah mengajarkannya mantra apa pun!” kata Mom ragu.
“Aku tidak tahu dari mana dia belajar.”
“Bakat alam. Para wanita tua,” cibir Shawn pedas.
“Semua beban yang dia terima selama ini sama sekali tidak mempengaruhi keadaannya,” ucap Mrs. Miller diikuti helaan napas. “Aku benar-benar tidak memahaminya sama sekali.”
Semua beban? Maksudnya semua yang terjadi pada Emma sudah direncanakan?
Bukan hanya Emma, tapi aku juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why We Were Born
VampireEzra Morgenstern, playboy kelas Kakap yang malah takluk pada pacar dari Sahabatnya sendiri. Lahir sebagai makhluk berdarah campuran setengah manusia setengah vampire; bagian yang tidak dia inginkan. Sayangnya, sekuat apa pun dia menyangkal faktanya...