13. Apology

12 6 0
                                    

Ezra



“Dia tidak ada di rumah,” ucap Stacy lesu. Wajahnya pucat dengan rambut super berantakan.  Dia menggunakan piama hijau tua super besar yang membuat tubuhnya terperangkap dalam balon.

“Jadi di mana dia?” tanyaku sekali lagi.

Pagi sekali aku menginjakkan kaki di rumah keluarga Miller untuk mencari Emma. Secara sadar aku tahu ucapanku pada Emma kemarin sangat keterlaluan. Namun, kepalaku kekurangan kata agar Emma tidak perlu menaruh perhatian lagi pada Paul Bane. Aku akan mencari cara terbaik untuk mengeluarkan Mark Steward dari masalah ini. Dalam hitungan hari, segala pencarian akan menuju padaku juga.

Stacy Miller berdiri di taman depan, mengguyurkan air pada tanaman herbal sang Ibu. Rambutnya sama persis dengan Emma, merah, hanya saja Stacy lebih tahu membawa penampilan dibandingkan dia. Meski demikian, aku melihat jelas kantong mata menempeli wajah kekasih detektif ternama di kota ini.

Stacy menarik napas panjang. “Mungkin di rumah pohon. Aku mengira dia ada di kamarnya semalam. Saat aku mengecek keadaannya, hanya ada kamar kosong. Bawa dia pulang, Ezra. Aku mohon. Jika Mom tahu Emma tidak ada di kamarnya, dia akan sangat panik.”

“Baik lah,” kataku, “aku akan mulai dari rumah pohon. Bagaimana jika dia tidak ada di sana?”

“Percaya padaku. Aku mengikutinya semalam. Tapi, aku yakin dia tidak akan mau kuajak pulang.”

Aku memberikan anggukan sekali lagi dan pamit pergi.

Sebelum ke rumah pohon, aku kembali ke rumah mengambil sepeda, lebih cepat lebih baik bukan.

Secara Teknik, rumah itu dibangun melingkari pohon, fondasinya dari batang-batang besi dan berlantai semen. Dari SD, di bagian belakang perpustakaan ada jalan rahasia yang sering kami gunakan untuk menyelinap ke sana. Rumah pohon itu dibangun oleh orang tua kami berlima. Untuk lahannya, tanah luas dengan danau  itu milik Dad.

Dulu, kami membuat janji jika tempat ini bersifat rahasia. Namun, beberapa tahun ini kami menjadikannya tempat pesta, terkadang untuk minum-minum, barbeque atau sekedar acara kumpul-kumpul dengan music ekstra besar. Ada aturan untuk semua orang ketika pesta berlangsung jangan mengotori dinding atau kau akan pulang dengan hidung berdarah.

Sesosok gadis menuruni tangga yang melingkar. Rambutnya lurus dan hitam legam, jelas dia bukan Emma. Aku mengambil langkah seribu, semenjak kapan tepatnya rumah itu dijadikan tempat milik orang lain.

“Mei Lin?” Aku mengerjap mestikan sosok yang kulihat.

“Tentu saja ini aku,” balas Mei Lin pelan sembari menyibak rambutnya ke belakang.

“Apa yang kau lakukan di sini?”

“Ssst!” Mei Lin merapatkan jari telunjuknya ke bibir. “Dia bisa terbangun.”

“Siapa?”

“Emma. Kau ke sini untuk dia kan?”

Aku tidak memberikan tanggapan apa-apa. Hati-hati saja berbicara dengan si mata sipit yang satu ini, salah bicara sedikit saja, dia akan menyebarkan rumor ke seantero kota.

“Dia baik-baik saja.”

“Cukup kacau saat dia datang. Tapi sekarang dia terlelap seperti bayi. Aku yakin dia sedang menghadapi masalah berat.”

Aku adalah masalahnya.

“Well, aku punya morfin, mungkin dia akan sedikit lebih baik.”

“Tidak!” ucapku tegas sembari berjalan melewati Mei Lin.

“Aku akan menyiapkan sarapan jika aku jadi kau. Mungkin secangkir kopi.”

Sungguh? Kenapa si gadis bermasalah ini menjadi baik pada Emma.

“Aku mengunci pintu dari luar, dia tidak akan bisa ke mana-mana.”

“Sungguh, bagaimana bisa ….”

“Aku akan ke stasiun tiga puluh menit lagi, sebelum itu, aku akan membelikan Emma sarapan, aku memakan sandwich-nya semalam. Tapi, karena aku di sini, mungkin bebanku bisa kau ringankan, anak baik.”

“Baik lah.”

“Ah, senang mendengarnya. Sekarang aku harus mandi.”

“Di sini?”

“Sd memiliki kamar mandi yang bagus. Sekarang pergi lah. Aku mungkin sudah ada di stasiun saat kau kembali.”

Satu-satunya kelebihan Mei Lin, dia tidak akan berbohong pada siapa pun, termasuk polisi. Dia pernah ada sel tahanan, aku kurang tahu kasusnya.

Aku memasang earphone, lagu Jet Black Hearth mengalun pelan, lalu aku kembali mengayuh. Kopi lalu croissant atau mungkin beagel aku sudah membuat rencana, aku juga akan sarapan di sana.

Aroma roti hangat menyambut saat aku tiba. Aku diam sebentar di depan etalase mempertimbangkan apa yang bisa kubeli.

“Hey, Bro!” Darrel menepuk bahuku dari belakang.

Aku cukup terkejut dan berbalik. Ada Anya di sisi Darrel menggandengnya. Mungkin mereka berada satu kamar semalam. Hatiku langsung tercambuk cemburu.

“Anya mendobrak pintu kamarku pagi ini,” ucap Darrel memahami tatapanku.

Senang mendengarnya meski sangat meragukan.

“Hari ini hari istimewa Darrel, bagaimana kau bisa lupa, kita pertama kali bertemu di sini.”

“Yah, saat kau muncul dengan rambut kepang dua dan baju merah muda itu. Tentu aku tidak lupa.” Darrel mengecup bibir Anya. Aku membuang muka. Sialan! Mungkin Anya lupa jika kami juga pertama kali bertemu di sini. Dia memainkan peran dengan sangat baik. Sampai jantungku tertusuk sangat dalam.

Tepat saat itu pelayan toko datang membawa pesananku, tanpa kata aku keluar dari toko menuju café kecil di sebelah toko roti.

Aku melihat Darrel dan Anya dari seberang jalan. Darrel melambai padaku. Aku hanya membalas dengan mengangkat dagu dan mulai mengayuh sepeda menuju tempat rumah pohon.

Aku terbakar di dalam. Bagaimana pun caraku mengatakan Anya adalah milikku, melihat kenyataan pahit ini, rasanya aku ingin mengubur diriku sendiri. Cemburu menjadi energiku mengayuh sepeda lebih cepat kembali ke rumah pohon.

Anak tangga cokelat ini sebanyak tiga puluh enam anak tangga kunaiki, aku ingat dengan baik jumlahnya. Pintu rumah tidak terkuci dari seperti ucapan Mei Lin. Ada cela tipis antara daun pintu dan bingkainya. Jari telunjukku terulur menyentuh ujung pintu pelan, seketika benda kayu itu terbuka lebar.

Aku masuk ke dalam. Tempat ini masih sama, kecuali semua coretan hasil karya masih kecil kami, ditempel oleh Emma dan Calvin menghilang dari semua dinding.

Tumpukan kertas menggunung di bawah jendela. Sebuah ransel rajutan di sisi kasur yang menggulung. Emma memang ada di sini. di sebelah tas, sebuah buku catatan terbuka lebar. Aku melihat tulisan berantakan di atas kertas. Mungkin pesan untukku, siapa lagi yang melepaskan catatan dalam kondisi terbuka kalau tidak ingin dilihat.

Paul Bane. Nama orang tua, Donna Alisyon dan Logan Harold. Donna Alison Ibu Dari Frederick Hall, kesimpulan Paul Bane adalah paman dari Anya.

Sungguh? Ini seperti sebuah dongeng konyol. Namun, aku percaya. 

Sekarang, di mana si rambut jahe itu berada.

Aku keluar lagi dari rumah pohon menengok ke bawah. Emma sedang duduk di bangku hitam panjang di tepi danau. menyelubungi dirinya menggunakan selimut merah terang.

“Hey, aku membawa sarapan,” lontarku saat kembali berada di anak tangga pertama.

Emma menoleh lemas. “Oh, bukan Mei Lin,” ucap Emma kemudian.

“Sayangnya, dia mungkin sudah ada di stasiun.”

“Semoga dia tidak ketinggalan kereta.”

Mei Lin adalah si pembuat onar, seluruh kota mengenalnya. Sedangkan Emma, memang dia gadis menyebalkan super penakut. “Semenjak kapan kau berteman dengan Mei Lin?” lontarku tak tertahankan.

“Semenjak kapan kau peduli tentang orang-orang yang kutemui. Tidak lah penting,” balas Emma. Matanya memandang lurus ke depan.

Udara tertahan di dalam mulutku hingga pipi mengembung. Biasanya tampang ini akan meluluhkan hatinya, tapi mengingat situasi, aku melepaskan mereka kembali ke alam.

“Sarapan?” tawarku sekali lagi.

“Peri hutan membawakanku sekeranjang berry.”

“Yah, dan para troll akan mencari buah jeruk emas lalu membuatkan segelas jus,” sambungku.

“Apa Mei Lin memberimu sesuatu?” Aku balik bertanya.

Emma menggeleng. “Dia menawariku berbagai pil.”

“Aku sungguh penasaran bagaimana bisa kau berkenalan dengan Mei Lin.”

“Kami bertemu itu saja.”

“Yah. Kita berjanji ini menjadi tempat rahasia.”



Emma tertawa pelan. “Tiga tahun belakangan aku berdiam diri dalam rimbunan semak menatap kejauhan. Melihat kalian berpesta pora di sini. Kalian sangat bahagia. Sekarang katakan, bagian mana dari tempat ini yang bersifat rahasia?”

Aku terdiam. Dia benar.

“Aku minta maaf untuk perkataanku kemarin, Emma dan juga berapa hal buruk berapa tahun belakangan ini.”

“Itu salahku.” Emma mendadak menarik napas panjang hingga bahunya terangkat. “Segala hal buruk terjadi karena salahku.”

“Hey, aku sudah mengatakanya kemarin. Berhenti menyalahkan dirimu, Emma.”

“Shit!” seru Emma sembari menutupi wajahnya. “Bagaimana bisa aku menangis sekarang. Aku bisa bertahan semalam.”

Emma tidak mungkin mengaisi Mark Steward.

“Hey, bagaimana cara membuat ini berhenti?” Emma berulang kali menyeka air matannya, berulang kali pula tetesan bening mengaliri wajahnya yang mulai memerah. Dia lalu berdiri.

Aku ikut berdiri, lalu memeluk Emma. “Mulai dari sekarang, aku berjanji kita akan selalu bersama, seperti dulu.”





















Why We Were BornTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang