Emma
16. NIGHT TALKING
Aku bersumpah, rasa takutku akan keselamatan Calvin tidak terkuras sama sekali. Rasa ini sangat mengguncang bukan sekedar untuk keadaan Calvin, tapi jauh di masa lalu, hal yang sama terjadi. Alasan Calvin mengambil langkah besar, tidak ingin mengenaliku bertahun-tahun ini.
Emma Lawrence Peter pernah mengumpat dan melemparkan kaleng soda ke sosok paling terpandang di kota ini. Apakah sebuah kejahatan saat aku harus membela teman yang selalu ada bersamaku saat dia dalam keadaan terluka? Aku masih ingat dengan jelas, begitu detail garis luka yang tercetak pada punggung Calvin. Bekas cambukkan. Mungkin memang aku tidak mengerti apa yang sedang mereka alami.
Aku baru kembali dari klinik sekitar pukul sebelas malam, sampai Ezra berhasil membuatku yakin untuk pulang. Dia juga memaksaku makan malam. Taco membuatku cukup kenyang. Darrel ikut bersama kami. Entah apa yang ada dalam pikiran Ezra setelah aku kelepasan bicara di klinik, dia membuatku duduk bersisian dengan Darrel di tempat kami makan. Darrel juga yang mengantar kami pulang dengan mobilnya.
Semua lampu di rumah dalam keadaan mati. Aku masuk lewat pintu samping. Mom membiarkannya tak terkuci saat dia tahu aku akan pulang malam. Aku sempat mengabarinya menggunakan ponsel Ezra. Well, aku sudah menerima ponsel pemberian Darrel, hanya saja aku belum berniat menggunakannya sama sekali.
Mom pasti sudah tidur. Stacy, entalah begitu juga Dad. Aku tidak menemukan mereka di ruangan makan atau ruangan tamu saat aku menuju kamar.
Tubuhku gerah dan lengket. Aku benar-benar harus mandi. Jadi, aku mengambil piama dan handuk segera masuk kamar mandi. Mandi hanya proses singkat untukku.
Selesai mandi dan menggunakan pakaian tidurku yang berwarna biru super kusam dan jaket wol cokelat tua warisan Mom, aku turun ke lantai bawah untuk mendapatkan segelas besar air dingin.
Aku mendapati Dad sedang duduk di meja makan dengan tumpukan kertas di depannya.
Aku mengendap menuju dapur. Perlahan membuka pintu lemari dan mengambil gelas dengan ukuran paling besar. Ketika gelasku terisi penuh, aku kembali mengendap. Kali ini, aku memberanikan diri duduk di sebelah Dad. Dad, memang tidak suka diganggu saat dia sedang bekerja.
Sampai saat ini, aku sama sekali belum mengetahui apa kah Dad tahu soal uang sekolahku di Evergreen. Terakhir kali aku melihatnya saat pertengkaran kemarin malam. Mungkin Mom sudah memberitahukannya lalu mereka menganggap hal ini tidak perlu dibicarakan lagi.
Dad, jauh lebih kurus. Bagian bawa matanya menghitam. Mungkin sedang mengerjakan tulisannya. Tipikal orang yang mudah berkonsentrasi saat malam. Sudah lama sekali aku tidak memperhatikannya sedekat ini.
“Bisa kau ambilkan segelas air untukku juga?” tanya Dad tanpa mendongak.
Aku mengangguk tanpa suara lalu bergerak kembali mengambil segelas air lalu aku meletakkannya pelan di meja agar tidak bersuara.
Dad menurunkan kertas dari wajahnya lalu menatapku.
“Apa yang membuatmu pulang selarut ini?”
Jujur, aku cukup terkejut mendengar pertanyaan ini. Dad jarang sekali menanyaiku sejak berapa tahun belakangan lantaran dia terus menerus sibuk dalam ruang kerjanya. Lagi pula, Stacy jauh lebih menarik atensinya bukan?
Aku akhirnya menjelaskan keadaan Calvin. Dad sudah tahu tentang Ayah Calvin. Tapi, dia sama saja dengan Ezra memilih untuk menutup mulut. Atau dia tidak ingin melibatkan diri sama sekali.
“Bocah malang!” komentar Dad begitu ceritaku berakhir.
“Calvin memenjarakan dirinya sendiri, Dad. Aku sama sekali tidak memahami mengapa dia terus-menerus bertahan dalam keadaan ini.”
“Emma.” Dad menatapku lurus. “Apa pun yang dilakukan oleh Calvin, dia jelas memiliki satu alasan yang tidak akan kau pahami sama sekali. Dengar, jika memang dia tidak bisa menghindar dari keadaan ini dan kau jelas tahu bagaimana konsekuensi dari hal itu, yang perlu kau lakukan adalah mendengarkan dia berbicara dan mengulurkan tangan saat dia membutuhkan bantuan.”
Aku mengangguk, bukan karena aku sepakat dengan perkataan Dad.
Dad kembali menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Aku akhirnya mulai meminum air yang kulupakan selama beberapa menit. Kakiku sibuk bergerak di bawah meja sampai membentur sesuatu. Aneh, teksturnya begitu asing. Tanpa sibuk menebak apa itu, aku segera membungkuk. Koper pakaian di bawah meja?
“Dad ….” Kalimatku terpenggal.
“Oh, itu isinya berkas-berkas yang aku pinjam dari balai kota untuk keperluan tulisan,” jelas Dad cepat.
Aku baru tahu dokumen balai kota bisa dipinjam. Aku yakin isinya bukan tumpukan buku atau kertas.
“Kau dan Ezra sudah kembali bersama?” Dad dengan cepat menangkap gelagatku.
“Yah. Berapa minggu ini.”
“Kau sudah mendapatkan apa yang kau mau.”
“Sementara.”
Dad menatapku lagi. kali ini keningnya mengerut. Dad yang dulu memelukku erat saat aku tahu hubunganku dengan mereka berempat berakhir.
“Dad, kau mengenal Philip Frank? Puteri bungsunya hilang beberapa minggu lalu.” Aku dan Ezra sudah berdiskusi dan membuat keputusan untuk mencari di mana jasad Shania Frank berada, agar dia tidak diikuti oleh hantu anak kecil itu lagi.
“Yah. Dia bekerja sebagai konsultan di Bank kota. Kabarnya anaknya menghilang dan belum ditemukan sampai hari ini.”
“Dad, kau yakin tidak ingin membatu polisi yang tidak menunjukkan kemajuan apa pun?”
Dad mengangkat bahu. “Atau kau bisa meminta bantuan Ibumu.”
“Mom tidak akan melakukannya lagi.” Mom dulunya bisa menerawang menemukan barang atau bahkan orang hilang. Namun, aku tidak tahu mengapa dia memilih berhenti, jika aku tidak salah mengingat dia berhenti melakukannya saat usiaku sembilan tahun.
“Mengapa kau tidak mencobanya kalau begitu?”
“Apa?” Aku sama sekali tidak memiliki kemampuan seperti itu. Kempunan yang kumiliki hannyalah terjebak dalam mimpi buruk.
Dad tersenyum tipis. “Ibumu mendapatkan hal itu dari Ibunya. Aku tidak melihat tanda Stacy memiliki hal serupa, jadi aku berasumsi itu kau.”
“Atau … aku dan Stacy sama-sama tidak memiliki hal itu,” bantahku cepat. “Aku dan Ezra akan melakukan pencarian besok. Aku benar-benar tidak tega melihat keadaan Maya. Menurut Dad, dari mana baiknya kami memulai?”
“Berkunjung ke rumah Maya adalah langkah awal yang baik,” sahut Mom dari belakang.
Aku dan Dad sama-sama tidak menyadari keberadaan Mom di sini. Dia mengenakan piama ungu muda, panjangnya sampai menyapu lantai. Rambutnya mengembang dan sangat kusut. Apakah suaraku dan Dad sekencang itu sampai membangunkan Mom yang kamarnya jauh berada di depan?
“Apa yang membuat kalian tertarik mencari gadis malang itu? seharusnya dari awal kalian ikut membantu polisi saat mereka melakukan penelusuran di hutan kota,” kata Mom panjang.
“Kami hanya ingin membatu … jika bisa.”
“Ini tidak berkaitan dengan Paul Bane’kan?”
Tubuhku seolah tersengat listrik mendengarkan nama itu. Lagi pula, mengapa Mom mengaitkan mereka berdua?
“Ada yang salah?” tanya Mom. “Wajahmu menjadi sepucat itu.”
Aku menggeleng. “Paul Bane dan Shania Frank tidak berhubungan,” ucapku setegang mungkin. Jangan sampai mereka tahu apa yang sudah terjadi.
“Ah. Yah,” sahut Dad. “Paul Bane tidak pernah bermasalah dengan anak kecil. Hanya obat-obatan.”
Aku mengangguk. Mom berjalan menuju pantri. Dia mungkin akan melakukan ritual tengah malam. Aku pura-pura menguap lebar. “Aku akan tidur sekarang.”
Dad memberikan anggukan kecil.
Aku meletakan gelasku ke bak cuci piring terlebih dahulu sebelum kembali ke kamar. Aku buru-buru menyibak tirai dan melihat ke kamar Ezra. Kepala ini terlalu lama berpikir untuk sekedar menyimpulkan Paul Bane yang menculik Shania Frank.
04072023
KAMU SEDANG MEMBACA
Why We Were Born
VampireEzra Morgenstern, playboy kelas Kakap yang malah takluk pada pacar dari Sahabatnya sendiri. Lahir sebagai makhluk berdarah campuran setengah manusia setengah vampire; bagian yang tidak dia inginkan. Sayangnya, sekuat apa pun dia menyangkal faktanya...