12. Make It Worst

11 6 0
                                    


Emma

“Paul Bane sudah mati saat Mark Steward menembaknya. Dia bangkit sebagai vampir yang haus darah dan aku sangat yakin Mark hanya melindungi diri sendiri!” Aku bicara lepas. Teoriku yang satu ini pasti benar-benar terjadi.

Memang konyol membela pria yang kukenal sekilas saat berjalan membelah semak demi mencari sisa buah beri musim gugur. Namun, keyakinanku sangat kuat. Jika Mark sampai masuk penjara karena kesalahan kami, ini sangat tidak ter maafkan. Harusnya, kami tidak pernah membawa Paul Bane ke dalam bunker.

Ezra menghela napas panjang ke udara. Hanya ada aku dan dia di jalanan yang lembab. Angin beku berembus membawa aroma kayu lapuk dan dedaunan busuk. Awan kelabu yang menggantungi langit dari pagi kini bertambah gelap.

“Apa yang dinginkan oleh Paul Bane, Ez? Kau sudah menemukan sesuatu?”

Ezra menggeleng.

“Bersama Anya jauh lebih menarik,” umpatku tak tertahan. Mungkin aku cemburu dia berhasil mereka berempat baik-baik saja dan memperburuk keadaanku sendiri.

Ezra masih diam.

“Jika memang Mark Steward dihukum, ini adalah kesalahan kita!”

“Emma, bisa kau tutup mulutmu sebentar!” bentak Ezra. Suaranya bak jarum berujung runcing, aku tersentak sakit di dada.

“Aku sedang berpikir! Berapa kali aku mengatakan padamu, ini urusanku! Aku yang membunuhnya! Sidik jariku yang melekat pada tubuh Paul Bane, cakarku, bukan kau! Kau hanya memasukkan dirimu dalam cerita agar kau bisa memenuhi obsesi masa lalumu. Kau hanya memikirkan isi kepala sendiri dan tidak akan pernah puas sampai kau … lupakan saja! Mulai detik ini, aku tidak ingin kau melibatkan diri dalam urusan ini! Aku tidak akan pernah menyebutkan namamu jika aku diseret ke kantor polisi! Dan satu hal lagi, apa pun obsesimu tentang aku, tolong berhenti!”

Kata-kata tertahan di tenggorokan yang kering. Aku tak mampu mengeluarkan suara, hanya mataku yang mulai memanas. Jika air mataku tumpah di depan Ezra, dia akan mengecapku si tukang drama lagi.

Ezra melangkah melewatiku, seperti kali terakhir dia memutuskan hubungan denganku empat tahun lalu. Sakit ini terulang lagi.

“Baik,” ucapku pelan.

Ezra tidak berhenti, dia terus berjalan menjauh.

Benar sekali, kebahagiaan dalam kepalaku berada di jalan yang salah. Ezra memberiku kesempatan berbaikan dan aku mengacaukannya dalam hitungan detik. Dia membenciku, lalu Calvin, Noah dan Darrel. Berikutnya, hari-hariku mungkin hanya akan diisi oleh pikiran di kepala membayangkan bagaimana jika hari ini tidak pernah terjadi.

Aku kehilangan momen itu sekali lagi.

Aku menghabiskan berjam-jam di kamar. Pertama aku mengerjakan tugas matematika. Hasilnya adalah semua cakaranku tak menemukan hasil. Aku menyerah dan mulai menyibukkan diri dengan memaku karton tebal di jendela sebagai bentuk pertahanan diri dari keinginan menatap ke rumah tetangga.

Mom memanggang ayam untuk makan malam. Nafsu makan malamku biasa sangat besar. Aku bisa menghabiskan empat atau lima potong. Malam ini, aku hanya sanggup memakan sepotong sayap dan tiga sendok tumisan sayur. Lagi pula, makan malam kali ini berlangsung dalam diam. Baik Mom atau Stacy tidak memancing obrolan dan aku hanya ingin menjadi pendengar.

Dad pada jam sibuknya jarang sekali bergabung untuk makan malam. Selama satu tahun belakangan, dia makin sibuk dengan proyeknya hingga dia jarang sekali menempati kursinya di meja makan.

Setelah makan malam, tugasku merapikan meja makan dan memasukkan semua piring kotor ke mesin cuci piring.

Aku kembali ke kamar, menyalakan lilin aroma terapi lavender. Mom mengajarkanku meditasi untuk ketenangan. Sama seperti tumpukan tugas yang tak mampu aku selesaikan, kepalaku tidak mampu untuk fokus. Umpatan penyesalan datang setiap detik menusuk kepala seperti serpihan kaca.

Why We Were BornTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang