Emma
Pelukan hangat pertama setelah semua hal buruk yang harus aku hadapi. Aku tidak akan melupakannya. Tidak akan.
Ezra berhasiil menyakinkanku untuk pulang. Secara ajaib rumah kembali dalam keadaan normal. Mom sudah kembali tertawa menatap tv dan aku mendengarkan suara mesin ketik dari ruanga kerja Dad. mungkin semalam hanyalah bagian dari mimpi burukku.
*_*_*_
Tidak ada hal yang begitu istimewa hari ini. Semua pelajaran berjalan seperti biasa. Kepalaku mulai fokus lagi dan aku merasa akan sangat mudah mendapatkan beasiswaku kembali … mungkin.
Sesekali bayangan tentang Paul Bane menyelip dalam ingatan. Harus aku akui, segala hal tentang pria gila ini mulai menjemukan. Tidak ada perkembangan terbaru dari media. Tom juga tidak pernah berkunjung ke rumah lagi. Mungkin saatnya untuk melepaskan semua hal tentang dia meski pun aku masih merasa bersalah sepenuhnya pada Mark Steward. Kabar terakhir yang aku ketahui adalah dia ditahan di penjara kota. Peluru terakhir yang bersarang di dada Paul Bane berasal dari senapan angin yang digunakan untuk berburu rusa. Senapan tersebut ditemukan dalam pondok kayu milik Mark.
Jam makan siang, aku kembali berada di tempat biasa.. Maya Frank ada di meja sebelahku. Aku beru melihatnya lagi setelah berita kehilangan adiknya beredar. Maya tertunduk lesu. Tanganya memainkan sendok. Aku perhatikan tubuhnya mengalami penurunan drastis.
Aku dan Maya pada bulan-bulan awal tahun pertama kami di Evergreen sangat dekat. Dia orang pertama yang menjadi sahabatku setelah aku kehilangan mereka berempat. Namun, obsesi bodohku pada Ezra, Noah, Darrel dan Calvin mengantarkan hubungan tulus itu pada ambang kehancuran. Maya tidak bisa menerima obsesi konyolku pada mereka dan menganggap Emma Lawrence Miller sebagai penipu. Tepat setelah itu, aku mendaftarkan diri mengikuti seleksi pemain hoki. Aku diterima. Anggota yang baru diterima dididik secara dasar dulu, sekitar satu tahun aku hanya mempelajari cara memegang stik dan mengoper kepingan hoki. Aku hampir terbunuh karena rasa jenuh. Evergreen mewajibkan semua siswanya masuk ke dalam klub. Aku tidak menemukan minat dibidang lain. Aku mencoba masuk klub music sama seperti Calvin, aku gagal di garis pertama karena sangat buta pada nada. Well, aku memang gagal, namun tetap bisa masuk ke studio tempat Calvin latihan.
Maya ada di barisan terdepan saat Anya menamparku dulu. Aku bisa melihat tatapannya mengintimidasi, seakan mengatakan aku sakit jiwa takluk pada obsesiku. Anggota klub hoki juga ada di balik punggung Anya. Satu minggu setelahnya, secara ajaib kuda poni gila itu masuk ke dalam tim utama. Sedangkan aku menunggu satu setengah tahun dan duduk dibangku cadangan.
“Hey, kau baik-baik saja?” Aku tak tahan lagi setelah Maya menekan kuat sendoknya ke makanan.
Maya menoleh padaku sekilas lalu kembali ke piring makanannya. Dia masih tidak menyukai keberadaanku. Aku ingin ke sana dan mengucapkan bela sungkawa, tapi dia mungkin akan berjalan menjauh.
“Kau mau puding?”
Aku berbalik dan mendapati Calvin sudah duduk di depanku. Dia mengulurkan puding ke arah piringku.
“Ini jagung,” kataku sembari meneliti kemasan.
“Ada kandungan susu di dalamnya.”
“Ow.” Aku meletakan kembali puding di meja. Calvin alergi pada susu. Sewaktu masih di sekolah dasar, aku dan Darrel selalu berebutan semua produk susu bagian Calvin.
“Kau bisa menolak ….”
“Favoritmu.”
“Aku tak ingin menangis sekarang, sungguh.”
Calvin hanya tersenyum.
“Kau sungguh-sungguh tidak ke studio music lagi?” tanya Calvin sembari mengelap apel hijau dengan lengan bajunya.
“Hey, aku berusaha menghentikan diri sebagai pengganggu. Hargai usahaku.”
“Kau tak mengganggu. Kehadiranmu di sana satu-satunya hal yang membuatku merasa kau sudah memaafkan apa yang aku lakukan.”
Kepalaku seolah baru mendapatkan benturan keras. Apakah ini mimpi atau semacam khayalan berlebihan. Aku tak sanggup menanggapi, jadi aku memilih membuka puding kedua dan makan.
“Kau akan ada di sana lagi?”
“Entah lah. Aku merasa harus belajar lebih ….”
“Kau tak harus memaksakan diri lebih keras lagi.”
Aku menunduk. Aku paham maksudnya. “Uangnya sangat banyak.”
“Jangan pikirkan itu. Aku mohon. Kami ingin kau tetap di sini.”
Aku menahan air mataku dengan merengut. Oh, aku tak seharusnya terlihat sejelek ini. “Senang rasanya memiliki teman makan lagi.”
“Kau pasti merindukan pacarmu, Hayden.”
“Kau ingin mengatakan mantan pacar bukan?” Aku tak bisa menahan tawa. Tawa tragis kemalangan.
“Dia tampan.”
“Yah, itu yang coba aku katakana pada Darrel. Tapi, dia mengatakan kau bisa mencari yang lebih baik.”
Calvin tertawa ringan. Dia menatapku, mulutnya berhenti mengunyah. “Kenapa kau harus meyakinkan dia?”
“Yah kenapa?” Aku malah mengulang ucapan Calvin.
“Lantas, bagaimana perasaanmu padanya sekarang?”
Bless me. Aku benar-benar lupa Calvin mengetahui perasaanku pada Darrel.
“Dia memiliki Anya. Kasus selesai bukan begitu?”
Calvin memicingkan mata. “Katakan padaku, apa kau bisa mempercayai gadis yang menduakan kekasihnya?”
“Kau barusan menembak kepalaku!”
“Aku dan Noah mengetahui hubungan mereka.” Calvin mengecilkan suara.. kening dan hidungnya mengerut sebentar. “Tapi, kami tidak seberani dirimu.”
“Yah. Konsekuensinya sangat besar.”
“Hmm. Biarkan mereka menyelesaikan masalah mereka sendiri.” Calvin menggulung lengan bajunya sampai ke siku. Mataku langsung terpaku pada garis ungu dari pergelangan tangan. Aku yakin garis itu jauh lebih panjang. Calvin segera menyadari ke mana tatapanku tertuju, dia buru-buru menggulung lengan bajunya lagi.
“Miller!” nada suara berat yang sudah lama tak kudengarkan bersuara. Sandy Valentine mendekati kami. Dia sudah mengubah gaya rambutnya menjadi pendek sebahu dengan warna biru gelap.
“Kau seperti tenggelam ke pusat bumi!” Sandy duduk di sisi Calvin. “Kapan kau bergabung bersama kami lagi di lapangan?”
“Mr. Sheldon sudah menendangku keluar!” ucapku cepat.
“Jika dia melakukan itu, maka kita akan mengganti pelatih. Kami tunggu kau di lapangan. Aku sudah mendendang Anya ke luar.”
“Oh, maaf. Aku benar-benar tidak bisa ikut sore ini.” Aku memiliki rencana lain.
Sandy meutar bola matanya. Dia bukan tipikal orang yang suka dibantah.
“Aku mohon, berikan Emma izin …,” pinta Calvin pelan.
Wajah Sany mendadak terbakar, kulitnya berubah sama seperti warnna rambutnya dulu. “Yah, tentu,” ucap Sandy pelan. Dia kemudian berbalik padaku. “Aku akan menghancurkan lokermu jika kau tak muncul.”
-__()()
Rumah pohon kami harus dibersihkan, ini dia agendaku sore ini. Udara lembab yang terlalu lama terkurung di dalam sana, bisa membuat dinding dan lantai kayunya membusuk seperti masa lalu kami di kepala teman-temanku. Aku tidak melihat jam saat aku tiba. Sebelum kejadian di gimnasium, aku kemari ke sini paling tidak sebulan tiga kali guna membuat keadaannya tetap bersih saat tidak ada satu pun dari mereka yang datang kemari.
Aku membiarkan pintu dan jendela terbuka, memberikan kebebasan untuk angin dingin diri dari hutan. Kertas-kertas sobekan dari dinding masih membentuk tumpukan seperti saat aku meninggalkan mereka di sana.
Aku meletakan ember dan perkakas dan lain, lalu duduk bersimpuh di sisi tumpukan kertas mulai membukanya satu persatu-satu.
Kertas pertama. Putih dengan totolan bekas lem. Lumayan tebal dan bertekstur halus. Kertas dari buku gambar Noah aku ingat. Ini dia, gambar telapak tangan kami berlima.
Darrel atau mungkin Anya sudah menyobeknya menjadi tiga bagian. Aku meletakkan kertas di lantai, merapikan kerutan perlahan. Aku mengerahkan seluruh tenaga dan ekstra hati-hati merekatkan kembali potongan dengan lem.
Telapak tangan biru yang paling besar di sini adalah milik Darell. Paling mungil berwarna merah muda dan emerland adalah aku dan Noah. Ezra dan Calvin berebutan warna merah dan pada akhirnya menempelkan tangan mereka bersamaan di bagian bawah seperti kupu-kupu. Kepalaku mereka ulang kejadian lama itu.
Kertas kedua, cokelat, kasar dan sangat tipis. Ini kertasku, aku mengambilnya dari meja kerja Dad.
Isinya puisi konyol tentang kabut. Astaga, aku tidak sanggup melihat tulisan tanganku sendiri. Aku terkikik, sebentar lagi akan berguling di atas lantai. Puisi macam apa ini.
“Maaf!” suara berat terkejut membuatku juga ikut berbalik dan terkejut.
“Darrel!” Aku berharap bisa menyebutkan nama orang lain. Apa yang dia lakukan lagi di sini.
Darrel muncul menggunakan hoodie hijau gelap, celana jeans kumal dan sepatu putih lusuh. Bukan jenis penampilan yang akan dia gunakan saat berada si sisi Anya. Darrel menenteng kantong kertas berwarna cokelat.
Aku buru-buru meraup sisa kertas di lantai menjejalkan semuanya ke dalam ember.
“Untuk apa?” mata Darrel tertuju pada ember.
“Membawa mereka pulang.”
Alis Darrel terangkat. Damn it, aku tidak suka caranya melakukan itu.
“Kau bisa membuat mereka menjadi abu di dalam kepalamu,” lanjutku, “atau bakar saja kertas lain.”
“Kau menebak lagi?”
“Kau yang membuang mereka semua.”
“Sungguh?”
“Aku punya saksi. Kau di sini bersama Anya.”Aku tidak tahu perasaan apa yang sedang dia sembunyikan di balik wajah datarnya itu.
Darrel duduk bersimpuh di lantai. Dia menarik napas, lalu mengeluarkan isi kantong kertas, lem, gunting, pensil dan gunting. “Semua harus kembali seperti semula.”
“Kenapa kau menghancurkan semuanya kalau begitu? Kau tahu semua sangat berarti bagiku!”
“Ini bukan untukmu!” ucap Darrel tanpa menoleh.
Hatiku baru saja mengalami serangan panas membakar hingga rapuh dan hancur menjadi abu. Kertas-kertas di dalam ember seakan tertawa mengejek.
“Yah, ini untuk Anya.” Aku menarik napas, tapi dadaku alah makin sesak dan mata mulai terasa perih. Ini dia, aku kembali sebagai gadis cengeng. Aku akan melompat ke danau sekarang. “Agar dia bisa menghancurkan mereka lagi! Hebat sekali.”
“Hidupku tidak selalu berhubungan dengan Anya.”
“Ah, begitu,” ejekku sinis.
Darrel menatapku tajam. Terkejut melihatku bisa mengejekmu Mr. Eldrige aku dalam kondisi tak terkendali sekarang. Aku tidak akan sungkan mendorongmu sekalian.
“Kalian selalu bersama. Kau menjemput Anya setiap hari. Dari depan gerbang berpelukan seperti sepasang kekasih yang sedang berbulan madu, ciuman perpisahan di koridor, meja makan siang, lalu bertemu dalam kelas! Anya selalu benar untukmu!”
Darrel tampaknya tidak begitu menaruh perhatian pada ucapanku barusan, tanganya masih sibuk dengan lembaran kertas.
“Damn it!” Aku menarik kertas dari tanganya memasukkan ke dalam ember lagi. lebih baik membawa mereka semua pulang. Aku bisa membuat kliping atau semacamnya.
“Kau cemburu pada Anya, Em?” Darrel menahan tanganku. Mata biru gelap itu tepat di depanku membuka lebar.
“Aku tidak akan membuang-buang energi untuk itu.”
“Emma ….” Kalimat Darrel menggantung, dia kembali menarik napas. “Bantu aku untuk menempelkan kertas-kertas itu kembali.”
“Gunakan saja kertas lain!”
“Aku tidak melakukan ini untukmu, tapi untuk Calvin!”
“Kau orang terbodoh yang pernah aku temui! Naif sekali kau menyebutkan nama orang lain untuk ….”
“Aku serius! Calvin memiliki masalahnya sendiri, kau pasti tahu. Hanya ini satu-satunya tempat yang membuatnya tenang, lukisan kita yang tak berbentuk, puisi konyolmu itu. aku tidak akan memaafkan diriku sendiri jika terjadi hal buruk padanya!”
“Yeah, dan kalian pasangan bahagia menghancurkan semuanya.”
“Anya melakukannya, aku datang untuk mencegahnya. Mei Lin yang mengabariku. Saat aku tiba di sini, semua sudah hancur.” Darrel membuang muka.
“Aku memang cemburu pada Anya. Pintu maaf selalu terbuka untuknya dalam keadaan apa pun. di sisi lain, untukku adalah gunung batu.” Aku kembali mengambil gumpalan kertas mulai merapikannya. Untuk saja, Anya tidak menghancurkan semua menjadi serpihan kecil. Rata-rata hanya terbagi dua atau tiga.
Tidak ada suara lain selain dari kesibukanku, aku berbalik melihat Darrel lagi, dia terpaku pada tempatnya, menataku tanpa berkedip.
“Apa?”
Darrel menggelengkan kepalanya. “Kau tahu baik hubunganku dengan Anya. Bagiku dia memang gadis yang baik, apa yang membuatmu selalu saja menilainya dari sisi negatif.”
Aku memukul pipiku sendiri sebelum tertawa lebar dan mengatakan jika gadis kesayangannya itu berselingkuh dengan sahabat karibnya.
“Baik lah, ini dia karanganku. Aku selalu ingin menjadi anggota cheers Ever Green. Jika kau ingat aku pernah terobsesi pada pom-pom tapi, aku sudah diskualifikasi sebelum menujukan apa-apa karena Anya tidak ingin akua da di sana. Sahabatnya membullyku di tahun pertama, mereka mengurungku di toilet sampai aku ditemukan oleh petugas kebersihan pukul tujuh malam ….” Aku menatap Darrel sekali lagi, dia mulai menyibukkan diri dengan kertas. Dari tadi aku bicara sendiri. Lagi pula, semua cerita burukku tentang Anya adalah kebohongan untuk mereka.
“Lalu?” Darrel mendongak menatapku.
Aku hanya mendesis.
Mata Darrel masih terpaku menatapku, ujung bibirnya tertarik sedikit.
Keheningan menggelayut di antara kami sesaat sampai suara langkah terburu-buru. Calvin muncul. Matanya menatap seluruh ruangan dan mungkin tidak menyadari keberadaan kami di sana sama sekali.
Calvin terpaku sesaat, mendadak sekujur tubuhnya bergetar dan dia mulai memukul dada.
“Shit!” Darrel bangkit terburu-buru mendekati Calvin lalu menepuk-nepuk punggungnya. “Kita ke luar.”
Aku menyambar botol air dan membawanya ke luar. Aku ingat perkataan Darrel barusan, aku melakukannya untuk Calvin.
Tubuh Calvin masih bergetar mereka duduk di beranda rumah pohon. Dia masih menggunakan pakaian sekolah. Calvin begitu pucat, dia seperti sosok berbeda dari yang aku temui di meja makan siang tadi.
“Tarik napas!” pinta Darrel di sisi Calvin.
Aku ikut duduk, meraih pergelangan tangan kiri Calvin. Cairan hangat dan lengket membentuk aliran kecil di sana. Darah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why We Were Born
VampireEzra Morgenstern, playboy kelas Kakap yang malah takluk pada pacar dari Sahabatnya sendiri. Lahir sebagai makhluk berdarah campuran setengah manusia setengah vampire; bagian yang tidak dia inginkan. Sayangnya, sekuat apa pun dia menyangkal faktanya...