Aku terjebak.
Tick ... tock ... tick ... tock, kepalaku terus mengulang suara jam kuku tua di pojok ruangan. Entah berapa jam sudah aku menduduki sofa merah maroon ini. jika berdiri nanti, bekas tubuhku akan tercetak jelas di sini. Perlahan, aroma bunga mawar dari pojok ruangan sebelah jam membuatku muak.
Kepalaku lelah menunduk, dan lagi mataku tak mungkin bergerak tak beraturan menjelajahi ruangan yang notabene adalah rumahku sendiri. Namun, aku tidak akan menetapkan tatapan pada wajah Mr. Kenneth. Dia adalah vampir tua gila berwajah bulat, persis seperti Foster Adam. Giginya menguning dan besar. Vampir sejati memiliki karisma, daya pengikat, tidak berlaku untuk dia kurasa. Aku baru ingat jika Tomas McQueen memiliki kembaran, mereka nyaris serupa.
Mr. Kenneth duduk lurus di depanku terpisah oleh meja kaca berukuran dua kali satu setengah meter. Mata hitam pucatnya terus terpaku padaku. Bibirnya membentuk senyuman panjang. Seperti yang sudah kukatakan, aku di sini berjam-jam dan dia mempertahankan senyuman mengerikan itu. Wajar saja dia bukan manusia, tapi tetap saja rasa tak nyaman menggerogotiku. Apa lagi vampir satu ini memiliki kegemaran memangsa remaja laki-laki. Dalam kepala berambut jabrik itu, dia mungkin sedang memikirkan strategi atau barangkali bagaimana rasa darahku. Well, dia mungkin akan berusaha dengan Dad jika berani menyentuhku. Mungkin kah? Maksudku, dia jarang sekali peduli.
Aku belum mengetahui apa tepatnya rencana Dad. Dia hanya memintaku, dengan sangat lembut untuk duduk diam di sini selagi dia dan seluruh clan memasuki balai pertemuan. Ruangan makan Morgenstern Manor. Aku juga diawasi oleh Mr. Kenneth. Tubuh dan pikiranku terlalu lelah untuk berdebat. Aku menurut. Awalnya aku memainkan game sniper di ponsel, sekedar mengalihkan pikiranku dari semua hal yang sudah terjadi sekaligus menunggu kabar baik dari rumah sakit. Semua kejadian itu masih datang silih berganti mengisi kepala hingga aku terus kalah dalam game.
Sekarang, saat leherku mulai ngilu tertunduk dan ponselku benar-benar kehabisan daya, mataku berkelana dan berhenti tepat pada kuku merah muda milik Mr. Kenneth.
"Ah!" seru Mr. Kenneth senang. "Akhirnya kau mau mengakui keberadaanku Morgenstern muda."
Perutku seketika bergejolak. Aku tidak suka nada bicara manja Mr. Kenneth. Dia memperlakukanku seakan aku anak berusia lima tahun yang menginginkan permen. "Kuku yang bagus," ucapku. Aku menekan rasa muakku dalam-dalam.
"Ah, yah. Seorang gadis dari Wales bersedia mengecat kuku gratis setelah aku mengancam akan menyula pacarannya. Mereka sebetulnya bukan pasangan serasi. Konyolnya, si gadis tetap mempertahankan pemuda kurus bertato buah berry itu." Tawa Mr. Kenneth pecah mengisi ruangan.
Aku memaksakan suara tawa dan hasilnya hanya adalah, ha. Ha. Ha. Mungkin seperti suara Santa Klaus saat tersedak abu jelaga.
"Aku turut berduka untuk sahabat baikmu. Dia bocah tampan yang malang," kata Mr. Kenneth. Kini dia menangkup tangan besar berkuku indahnya di depan dada. Tidak ada ketulusan di sana. seratus persen, dia hanya ingin memancingku bicara.
Aku hanya mengangguk. Semakin aku menjawab, semakin banyak dia akan bicara. Emma biasa begitu kadang-kadang.
"Jamie Swartz adalah bajingan sialan yang tidak menginginkan bocah malaikat itu hadir dalam kehidupannya."
"Benar." Aku setuju untuk yang satu ini.
"Pada hal, wajah anaknya sekarang persis sama seperti dia waktu masih muda. Well, saat dia ditinggalkan oleh Ibunya yang memilih menikahi pria yang lebih muda dari ayahnya."
"Sepertinya kau mengenal keluarga Swartz dengan sangat baik."
"Aku lah yang mengenalkan Ibu Jamie pada Orson. Dia pria yang baik. Tak menyangka mereka akan berhubungan sejauh itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Why We Were Born
VampireEzra Morgenstern, playboy kelas Kakap yang malah takluk pada pacar dari Sahabatnya sendiri. Lahir sebagai makhluk berdarah campuran setengah manusia setengah vampire; bagian yang tidak dia inginkan. Sayangnya, sekuat apa pun dia menyangkal faktanya...