21. Late Night Party

12 3 0
                                    

Ezra

Hampir dua jam air hujan sekuat batu mengetuk jendela kamar. Selama itu pula, aku duduk di tempat tidur dengan sebuah buku sketsa dan pensil tua yang panjangnya sama dengan jari telunjukku. Dulu, aku suka menggambar sketsa wajah dan berhenti sejak masuk di Evergreen. Sibuk dengan kehidupan baru anak sekolah. Coretan pada kertas itu saling menumpuk. Aku yakin tadi hanya ada tiga nama. Paul Bane, Donna Alison dan Thomas McQueen. Kini tulisan tumpeng-tindih hingga aku kesulitan sendiri membacanya. Aku memiliki tulisan tangan paling buruk di antara semua orang di rumah ini.

Aku membalik halaman menulis ulang, lebih rapi.

Paul Bane, sudah dari awal kalian tahu siapa dia.

Lalu Donna Alison. Dia adalah Nenek Anya, Ibu dari Paul Bane. Aku sudah mencari dan menemukan jika Donna Alison dikenal sebagai Wanita yang awet muda. Dan jika aku tidak salah mengingat, aku pernah melihatnya di acara penggalangan dana yang dilakukan oleh Nenek Noah untuk pembangunan panti asuhan. Dad ada di sana dan mereka pernah berbicara. Aku sangat yakin tentang ini. Namun, bisa saja mereka tidak ada hubungannya sama sekali dengan kejadian ini. Paul Bane mungkin hanya anak yang tidak diakui lagi. wajar saja jika Anya tidak menunjukkan kesedihan apa-apa.

Sebentar, jika Donna Alison juga makhluk berdarah campuran, mungkinkah Paul Bane sebenarnya bangkit bukan karena gigitanku, melainkan memang sudah ada dalam darahnya sendiri. Masuk akal! Tapi, tetap saja dia menyiramku dengan darah anak yang tidak bersalah. Konyol sekali jika pendorongnya hanya rasa penasaran.

Thomas McQueen adalah pria yang menampakkan diri di pemakaman. Kepalaku sedikit kepayahan mengingat nama dan wajah orang lain, apa lagi mereka yang hanya kutemui sekali apalagi kenalan Dad, Mom dan Shawn. Bagiku mereka semua tidak begitu penting sampai aku terperangkap dalam situasi seperti ini. Namun, untuk wajah pria satu ini, aku mengenalinya di mana pun, bahkan aroma tubuhnya yang busuk itu mampu kubaui dengan mudahnya.

McQueen sepenuhnya vampir. Dia sangat menggilai darah anak-anak dan remaja, khususnya laki-laki. Dulunya, dia sangat dekat dengan Dad. Sampai akhirnya McQueen ditendang keluar dari kota ini lantaran tak sanggup memenuhi standar kehidupan vampir di sini. Tidak ada darah manusia, hanya setiap tujuh puluh tahun sekali. Ini adalah satu-satunya cara agar manusia normal tidak menaruh curiga dan melakukan pemburuan. Lagi pula, kesepakatan ini pun sudah disepakati bersama dengan para pemburu bayangan. Buktinya, aku dan Darrel bersahabat dan aku sangat mengenal baik ayahnya juga. Perburuan makhluk immortal sudah berhenti sejak lama.

Suara hantaman hujan pada jendela semakin keras. Tubuhku mendadak menjadi kaku. Aku melirik sedikit, sebentar lagi, kaca di sana mungkin akan pecah.

Kemunculan McQueen yang amat kentara di kota ini amat mencurigakan.

Haruskah aku memberitahu Dad?

Tapi bagaimana? Setelah pembahasan mengenai acara ulang tahunku, aku bahkan tidak merasakan kehadirannya sama sekali dalam rumah ini.

Aku menyingkirkan buku sketsa ke samping lalu berbaling menatap langit-langit kamar yang tinggi berwarna cokelat kehitaman. Lampu kristal di atas bergetar sedikit. Mungkin ada beberapa ekor tikus yang tengah berlarian di atas. Jangan terkejut saat datang kemari dan menemukan seekor tikus berukuran anak kucing usia tiga bulan. Kami membiarkan mereka untuk tinggal dan makan secara cuma-cuma di sini.

Ini melelahkan. Sampai kapan aku akan hidup dalam pelarian?

Aku mulai tak nyaman. Dad memang menghindariku, tapi kelak dia akan tahu. Haruskah aku menunda semuanya lebih lama? Sampai kapan?

Ah! Shit! shit!

Baiklah, aku kembali pada catatan.

Jika memang Paul Bane adalah anak dari Donna Alison yang tidak lain adalah Nenek Anya, dia sama sekali tidak menunjukkan rasa kehilangan sama sekali. Ada dua kemungkinan, Anya tidak tahu atau memang mengabaikannya.

Tolol! Harusnya aku menanyai dia sendiri. Shit! Ini malah memunculkan kemungkinan lain. mungkin  Anya sengaja menyembunyikannya dari kami?

Baiklah! Aku menyerah mencari sesuatu yang tidak tampak kejelasannya. Mungkin aku memang harus menanyai Dad dan menyampaikan padanya soal kemunculan Thomas McQueen. Satu lagi yang membuatku sangat takut. Tatapan McQueen bukan hanya terpaku padaku, dia terus memainkan bola matanya ke kanan dan ke kiri. Ada Anya dan Emma, juga Darrel yang terjangkau pandangannya.

Sama seperti apa yang aku perkirakan, McQueen membuntuti kami saat pulang. Pada hal, aku dengan sengaja mengulur waktu.

Cukup! Aku mengalah. Biarkan masalah ini aku selesaikan dengan campur tangan Dad. Karena memang segala hal selama ini terjadi bukan karena siapa aku melainkan karena Dad.

Hampir tengah malam, aku bangkit dari tempat tidur dan segera menuruni tangga. Ruangan kerja dan kamar Dad ada di bawah.

Lampu kedap-kedip mengiringi langkahku menuruni tangga. Aku sudah terbiasa dengan gangguan kecil ini.

Suara dentingan gelas datang dari ruangan baca. Aku memasang telinga baik-baik, suara tawa menyusul kemudian. Langkah kakiku terhenti di tangga. Tubuhku membeku. Lautan manusia berpakaian serba hitam memenuhi ruangan tengah.

Wow. Aku merasa sangat asing dalam rumah sendiri. Pertama kalinya, Mom tidak memberitahukan padaku akan nada pesta tengah malam di sini. Dan coba lihat diriku yang hanya memakai baju kaus tipis berwarna putih dan celana pendek selutut. Sebelum pasangan mata mendapatiku di sini, baiknya aku kembali ke kamar saja.

“Ezra!”

Shit! Aku segera mengenali suara itu. Thomas McQueen. Aku berbalik memberikan senyuman tipis.

“Lihat dirimu, kau hanya setinggi perutku dulu!” Thomas McQueen menggunakan jaket hitam berbulu yang mengikuti bentuk tubuhnya. Mata hitamnya menyala, memantulkan cahaya lampu.

“Begitulah,” kataku acuh.

McQueen tertawa lebar hingga aku sadar semua mata tertuju pada kami.

Setiap berada bersebelahan dengan McQueen, waktu seolah berhenti. Segala hal tentang dia masuk dalam daftar hal yang paling aku benci. Kemunculannya pula, membuat kepalaku melayang kembali ke dalam ruangan gelap yang sempit, di mana pria bertubuh gemuk ini melucuti pakaiannya secara sengaja di depanku. Beruntung sebelum dia melepaskan celana, Shawn menerobos masuk. setelah itu juga, Thomas McQueen mengangkat kaki dari rumah ini. Aku memang berhasil melupakan kejadian itu. Sayangnya, berada di sebelah McQueen langsung meluapkan kejadian itu kembali. 

Tawa lain melengking dalam ruangan. Aku mengabaikan McQueen, mencari asal suara, sebab aku begitu akrab dengan yang satu ini. Mataku mencari dalam kerumunan sesaat sampai berhenti pada satu-satunya orang dengan pakaian yang berbeda, ungu gelap. Sungguh, Mrs. Miller?









Why We Were BornTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang