Emma
Mery Shely menyukai kesunyian pemakaman. Aku tidak mengerti mengapa karena aku sendiri akan memaksakan diriku menghindari tempat ini. Siang ini mendung. Kabut dingin bulan November terlihat menyelip di sela-sela pohon tak berdaun di tepi pemakaman. Aku berdiri di antara ara pelayat lain, mengantar tubuh kecil Shania Frank ke peristirahatan terakhir.
Ada banyak orang dari kota ini yang menaruh simpati. Sekitar puluhan orang menenteng kamera besar berserta kartu tanda pengenal dari berbagai mendia ada di sini. ada pula anak-anak seusia Shania, aku asumsikan mereka adalah teman sekolah Shania. Beberapa wajah familier yang biasanya kau lihat di kota ini terselip di antara wajah-wajah asing yang muncul.
Orang di sini kebanyakan memakai pakaian hitam, kemeja, jas, mantel, dress atau jaket hitam. Namun, aku perhatikan beberapa orang muncul dengan gaya eksentrik. seorang Wanita berambut pirang membawa payung abu-abu kecil yang bahkan tidak akan mampu melindungi gaunnya yang lebar dari hujan. Seorang pria memaki jas biru duduk bersandar pada salah satu nisan mengisap pipa cerutu yang panjang. Lalu, di sebelahnya, Wanita tua berpakaian hitam memiliki rambut panjang kusut hingga menyentuh mata kaki terus menunduk sambil terus menerus menyisir rambut.
Satu lagi sosok aneh nan menyebalkan di sini. Gadis kecil berbaju merah muda, usianya mungkin empat atau lima tahun. Wajahnya bulat sempurna dengan rambut di kepang dua. Rambutnya berdiri tegak ke atas mirip antena radio. Dia terus berlari di sekitar orang-orang sambil berteriak nyaring. Sesekali dia berhenti lalu menangis. Aku agak terganggu dan berharap orang-orang mau menaruh perhatian padanya. Tapi nampaknya memang hanya aku yang terlalu menyibukkan diri dengan kehadirannya.
Udara ini sangat menggigit dan sayangnya, jaket hitam yang aku kenakan tidak mampu menampik hawa dingin. Dan lagi dress hitam tipis yang aku kenakan sebagai dalaman tak membantu banyak harusnya aku memaki celana dibandingkan memaki dress hitam yang panjangnya hanya sampai betis.
Aku berdiri di samping Ezra. Dia yang begitu bersemangat membawaku kemari. Dia pula yang membayar taxi dan menjanjikan makan siang. Wajahnya begitu khusuk mengikuti acara berlangsung. Aku mencoba seperti dia, tapi gadis kecil pirang itu kembali melintas, kali ini dia membawa balon di tanganya. Aku mendongak guna memastikan apakah orang lain memperhatikannya. Mataku malah bertabrakan dengan sosok lain. seorang pria dengan kepala mengkilap. Butuh satu menit bagiku untuk sadar, matanya bukan tertuju padaku melainkan pada Ezra.
Beberapa menit berlalu dan aku mulai menyadari ada yang salah dengan ujung dressku sebelah kanan. rasanya seperti ditarik dengan paksa. Sudahlah mungkin hanya anak kecil yang nakal.
Kesabaranku seakan diuji di sini. Tarikan kian kuat hingga aku harus menoleh.
“What the ….” Aku tidak boleh mengumpat.
Baju ini terdiri dari dua lapis kain. Satu kain tebal di dalam, dan lapisan tipis menyerupai kain kasa di bagian luar. Sekarang lapisan bagian luarnya terbelit di antara tanaman berduri yang ada tepat di sebelahku. Bagaimana? Apa aku terlalu dekat dengan tanaman itu?
Bagus! Aku tidak mampu menyelamatkan diriku sendiri sekarang.
“Jangan bergerak sebentar!” bisik Darrel dari belakang.
Aku sampai lupa Darrel dan Anya ada di belakangku dari tadi. Sungguh, aku cukup terkejut saat pacar Ezra dan Darrel mengajukan diri untuk ikut serta. Dia dan geng super cantiknya bahkan pernah membully Maya.
Darrel berlutut menggunakan satu kaki lalu perlahan meloloskan dressku dari sangkutan duri. Ini memalukan. Hasil yang aku dapatkan setelah bajuku menjadi jala adalah bolongan kecil tercetak di sana.
Aku berterima kasih pada Darrel dan kali ini aku kembali menghadap ke depan. Wanita yang tadinya sibuk menunduk sambil menyisir rambut menatap telak padaku sambil melambai. Aku menunjuk diriku, dia lantas menggeleng. Aku menggeser tubuhku hingga berbenturan pelan dengan Ezra. Dia hanya menatapku sekilas. Aku menoleh ke belakang, menunjuk Darrel menggunakan bahuku, segera saja Wanita itu mengangguk.
Ah, begitu rupanya.
Satu jam kemudian, semua prosesi selesai. Aku berjalan terlebih dahulu keluar dari area pemakan dan berdiri di depan gerbang. Ezra ingin berbicara terlebih dahulu dengan keluarga Maya.
“Aku turut prihatin untuk bajumu, Emma,” ucap Anya yang tiba-tiba muncul.
“Bisa aku jahit,” kataku cepat. Aku tidak menyukai kepura-puraan ini. coba lihat, wajahnya berubah kuyu dan pucat. Pada hal, tadi dia muncul dengan dandanan sempurna dan sepatu bertumit tinggi yang mengkilap.
“Bentuknya tidak akan sama lagi.”
“Well, yah.”
Mobil hijau Darrel muncul di belakang kami berdua.
“Aku akan menunggu dalam mobil saja,” ucap Anya sambil berjalan ke arah mobil.
Begitu Anya masuk. Darrel melompat turun lalu dia duduk di bagian depan mobil.
“Kau menunggu seseorang?” tanyaku.
“Ezra, tentu saja,” jawab Darrel.
“Kami akan pulang menggunakan taxi.”
“Ezra berubah pikiran. Lagi pula, aku memaksa.”
“Ah, aku yang akan menggunakan taxi.”
“Kau juga.”
Entalah, aku sama sekali tidak memiliki keinginan untuk berdebat sekarang.
Aku kembali mengarahkan pandangan ke dalam area pemakaman. Wanita tua tadi masih berdiri menatap ke arah Darrel.
“Kau tidak akan mengabaikan dia kan? Di mana sopan santunmu?”
Darrel melompat turun dari mobil berdiri di sampingku.
“Namanya Viona. Dia mati karena meminum racun yang dia siapkan untuk membunuh Wanita yang dia kira selingkuhan suaminya.”
“Lelucon yang bagus,” umpatku kesal.
“Kau tidak mengira semua yang ada di dalam sana adalah manusia kan? Kau mengira gaunmu tersangkut sendiri?”
Aku memicingkan mata sekaligus menahan napas. Tubuhku membeku sejadi-jadinya. Darrel sedang mengerjaiku. Aku menolak percaya padanya.
Darrel mengembuskan napas beku lalu menekan bahuku. “Kau bisa melihat mereka sama sepertiku.”
“Tidak!” sangkalku cepat. “Bicarakan hal lain. Aku tidak bisa merasakan lenganku sekarang dan jauhkan tanganmu sebelum Anya keluar dan mencekikku di sini.”
Darrel menurunkan tanganya. “Kau kedinginan. Mau kuambilkan jaket. Aku punya satu dalam mobil.”
Lihat betapa halusnya perangkap ini. Apa sebenarnya yang sedang mereka rencanakan? Aku tidak terbiasa dengan semua kebaikan ini.
Sampai kapan Ezra berada di dalam sana? Aku menatap lagi ke dalam dan Ezra sedang berjalan mendekat diiringi oleh Ayah Maya.
Hey, aku baru menyadari sesuatu. Apakah Anya begitu bersedih melihat cara Ezra memperlakukan Maya? Aku baru tahu hal ini juga. Ezra dan Maya, aku membayangkan keduanya sedang dalam fase yang berbeda lebih dari teman satu sekolah.
Ezra akhirnya tiba di tempat kami. Mr. Frank, Ayah Maya hanya sampai di gerbang, ia melambai padaku sebelum masuk kembali.
“Seseorang, akan mengikuti kita,” bisik Eza getir.
Bagus, aku terus saja mendapatkan banyak kejutan hari ini.
05072023
KAMU SEDANG MEMBACA
Why We Were Born
VampireEzra Morgenstern, playboy kelas Kakap yang malah takluk pada pacar dari Sahabatnya sendiri. Lahir sebagai makhluk berdarah campuran setengah manusia setengah vampire; bagian yang tidak dia inginkan. Sayangnya, sekuat apa pun dia menyangkal faktanya...