Ezra
Rencanaku bersama Anya untuk menonton film semalam gagal total. Kami sama-sama datang terlambat dan lupa membeli tiket.
Kepalaku membutuhkan beberapa menit menyiapkan opsi ke mana kami harus pergi. Aku sudah makan malam, begitu pula Anya. Dia makan malam bersama Darrel. Kami juga tentu saja tidak bisa ke tempat umum meski aku sangat ingin berduaan di tempat boling. Murid Evergreen High bisa ada di mana pun. Dan aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Kami juga tidak bisa masuk ke dalam bar.
Pada akhirnya, kami hanya duduk di bangku taman yang agak menatap lalu Lalang orang-orang yang lewat.
Anya duduk di sebelahku, begitu rapat. Aroma samponya yang ingin kuhirup sekarang, dia bersandar pada bahuku, rasanya begitu nyaman. Anya menerbangkan semua pikiran di kepalaku tentang apa pun juga.
“Harusnya kita sudah ada di barisan penonton,” sungut Anya. “Tapi itu salahku juga, aku yang membuat janji lalu melupakannya begitu saja.” Dia memindahkan diri, lalu menatapku tajam. “Dan kau lebih banyak diam hari ini!”
Aku selalu menyukai wajah cemberut yang satu ini. aku membiarkan Anya terus bicara, aku hanya ingin bersamanya.
“Ez … kau sama sekali tidak mendengarkanku!” Bibir Anya makin mengerucut.
“Aku mendengarkan,” ucapku tertahan.
“Katakan sesuatu!”
“Apa yang harus aku katakan? Aku terlalu sibuk mengagumi kesempurnaanmu, Anya.”
Bibir Anya bergetar. Senyuman tertahan di ujung bibirnya. Dia bergerak cepat mengecup bibirku.
Hampir satu bulan, kali ini aku baru merasakan kelembutan bibirnya. Aku bisa melakukan ini sampai kapan pun.
Dentuman keras membuat kami buru-buru memisahkan diri. Sesosok manusia tak diundang, sang pengacau, jatuh tersungkur di depan kami. Aku bersumpah ingin membakarnya hidup-hidup.
Anya buru-buru mengulurkan tangan.
Sangat mengejutkan sosok yang muncul adalah Maya Frank. Aku cukup mengenali wajah yang satu ini, sebab dari semua siswa Evergreen, dia adalah yang paling sering aku temui setiap hari. Dia penggemar terparah yang kumiliki. Aku sudah terang-terangan mengatakan penolakan ditahun kedua, dan dia tidak pernah menyerah. Hebat sekali, dia pasti akan mengadukan apa yang sudah dia lihat pada Darrel. penetapan hukum gantungku sudah ditetapkan.
“Anya!” panggilan lain muncul.
Kali ini jantungku berdentum lebih keras. Shit! Darrel berdiri tepat di belakang Maya.
Kepalaku kosong. Aku sama sekali tidak memiliki persiapan untuk ini.
Darrel masih memakai jaket yang sama seperti dalam postingan Anya di Instgramnya tadi. Tanganya menenteng tas kertas berlogo konter ponsel di kota.
“Hay, babe!” Anya langsung menggandeng tangan Darrel dan mendaratkan ciuman pada pipinya.
Aku menoleh ke arah lain, momen manis semenit lalu tak lagi berbekas.
“Kau bilang akan mengunjungi Pamanmu,” ucap Darrel pada Anya.
Anya menatapku sekilas, lalu membenamkan jemari lentiknya ke helaian rambut sembari menundukkan kepala perlahan.
“Aku mengubah rencanaku,” ucap Anya manja, “Rasanya aneh mengunjungi Paman Collin tanpa buah tangan. Jadi, aku kembali dan menemukan Maya dan Ezra.”
Mata Maya membelalak kaget.
Hebat! Apa yang aku lakukan bersama Maya di sini? Darrel tahu aku tak pernah akan pernah mendekati Maya.
“Yah.” Suara keluar dati mulut Maya. “Aku baru membeli minuman di mini market. Aku lupa membawa uang dan kembali ke sini terburu-buru.”
“Dan apa yang kalian berdua lakukan?” Mata Darrel menatap tak percaya padaku. Sesuai perkiraan.
“Emma,” nama itu tercetus begitu saja.
“Yeah, Emma meminjam buku catatanku,” jelas Maya cepat, “aku akan ulangan jadi aku ingin memintanya kembali tapi aku tak bisa menghubunginya karena ….”
“Ponselnya rusak,” sambungku cepat. “Dan Maya tidak mengetahui jalan ke rumah Emma jadi kami bertemu di sini.”
Darrel menganggukkan kepala.
“Well, kami pergi!” Aku menggerakkan kepala pada Maya.
Maya mengangguk dan berjalan di sebelahku.
“Kau sengaja menjatuhkan diri?” tanyaku setelah kami cukup jauh dari Darrel dan Anya.
Maya tidak memberikan tanggapan, dia hanya menarik jaket hitam panjangnya dengan kuat hingga kedua sisi mengisut mengikuti bentuk tubuhnya.
“Maya?”
“Jadi, apa yang dikatakan oleh Emma benar terjadi?” Maya menatapku sekarang.
Bagaimana cara menjelaskannya? Lagi pula aku tidak tahu apa yang dia lakukan. Kemungkinan terburuk adalah aku harus berada di dekatnya agar dia tidak membicarakan kejadian malam ini dengan orang lain.
“Aku melihat Emma sangat terpukul saat itu.”
“Maya, aku ingin kita membicarakan apa yang baru kau lihat!”
“Jangan kawatir, itu bukan urusanku.”
“Kau akan memberitahu Darrel apa yang sebenarnya terjadi?”
Maya menengadah ke angkasa yang gelap. “Jika aku ingin melakukannya, aku tak perlu membuang tenagaku untuk berlari dan harus menjatuhkan diri di depan kalian.”
“Kau hanya perlu bicara ….”
“Kau tidak pernah mendengar.” Maya memasukkan kedua tanganya di saku.
“Maaf,” ucapku sungguh-sungguh. “Jadi, apa yang bisa aku lakukan sebagai ucapan terima kasih?”
Maya menarik turun tas yang menggantung di bahu kirinya. Dia mengambil selembar kertas dari dalam.
“Adik perempuanku menghilang.”
“Sudah berapa lama?” tanyaku. Rasa simpati langsung menguar dalam diriku.
“Hampir satu minggu. Dia tidak pernah pulang.” Kata terakhir Maya tak terdengar jelas. Kepalanya makin dalam menunduk.
“Polisi?”
“Mereka sudah melakukan pencarian dan hasilnya nihil.”
Aku menerima pemberian Maya, melihatnya sekilas. Foto gadis kecil berambut keriting kepang dua tanpa gigi depan memakai kostum lebah. Dentuman kencang menggebrak dadaku, dia mirip sekali dengan anak kecil dalam mimpiku.
“Kau pasti sangat merindukannya.” Kalimat apa yang barusan aku ucapkan?
“Yah. Kau punya adik, Ez?”
Aku menggeleng. “Tapi, Emma bisa menjadi adikku kadang-kadang.”
“Kadang-kadang?” tanya Maya bingung.
“Saat kami berbaikan.”
“Ah. Jadi apa yang dia katakan dulu benar adanya.”
“Maksudmu?”
“Emma selalu mengatakan jika kalian dulu sangat dekat, mirip seperti kakak laki-laki dan adik perempuan. Tapi, tidak seorang pun mempercayainya. Kalian memperlakukan dia seperti potongan sampah.”
Aku tersenyum masam.
“Aku dan Shania sangat dekat. Dia sangat berisik. Begitu dia menghilang, aku menjadi sangat membenci kesunyian,” kata Maya sambil menyeka air matanya.
Maya tidak lebih tinggi dari Anya. Aku melingkarkan tangan ke bahunya, menepuknya perlahan berharap dia jauh lebih tenang.
“Jadi, apa yang kau lakukan di sini?”
“Membagikan brosur ini. Aku berharap seseorang dapat menemukan Shania segera.”
“Berikan brosurnya padaku!”
“Tidak sungguh.”
“Kau sudah membatuku. Anggap saja ini sebagai ucapan terima kasih.”
Maya menatapku sekilas, lalu menduduk lagi. “Terima kasih, Ez.”
Malamku berakhir demikian. Aku bahkan sampai mencarikan taxi untuk Maya.
****
Pagi ini, di tengah kepekatan November dan udaranya yang makin menggigit aku kembali berada di lapangan sekolah.
Tim rugbi sedang latihan. Darrel salah satu dari mereka. aku mengundurkan diri tahun lalu setelah cedera tulang lutut.
Darrel tipikal orang yang mudah melupakan sesuatu. Tapi rasanya dia agak berbeda pagi ini. Aku juga belum melihat Anya sama sekali.
Aku mengenal teman-temanku dengan sangat baik. Darrel lupa melupakan kesalahan-kesalahan kecil. Noah mengidap asma, aku selalu membawa inhealler cadangan di dalam tas arena dia suka lupa. Calvin, dia memiliki hidup yang cukup berat di balik setiap ketenangannya itu, dia kerap kali terluka jadi ada plester luka dan obat merah dalam tasku. Mereka semua baik padaku, semua hanya hal kecil yang bisa aku lakukan.
“Sekarang apa yang ada dalam pikirannya?” ucap Noah yang berdiri di sebelahku.
Aku mengikuti ke mana mata sang bangsawan bermulut tajam itu tertuju.
Emma sedang berjalan menunduk dan terus menerus menabrak orang yang lewat.
“Selamatkan dia sebelum dia jatuh terjungkal di air mancur,” kata Noah tanpa mengalihkan tatapan dari layar ponsel.
Langkah kakiku dan Noah kalah cepat. Emma hampir menceburkan dirinya sendiri ke ari mancur di tengah lapangan.
Untung saja, Calvin muncul tepat waktu. dia menarik kerah baju Emma lalu menjentik ujung hidungnya.
“Kau kira apa yang barusan kau lakukan, Miller!” Noah menjewer telinga Emma kesal.
“Aku kurang tidur!” Emma mendorong tangan Noah. Usahanya sia-sia.
Emma menatapku sebentar. Matanya kemudian berpindah pada Calvin.
“Kemari!”
Emma memeluk Calvin, menyandarkan pipinya ke dada Calvin. Cara aneh mereka berkomunikasi. Aku tahu artinya itu, ada rahasia yang tidak akan pernah dia katakan padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why We Were Born
VampireEzra Morgenstern, playboy kelas Kakap yang malah takluk pada pacar dari Sahabatnya sendiri. Lahir sebagai makhluk berdarah campuran setengah manusia setengah vampire; bagian yang tidak dia inginkan. Sayangnya, sekuat apa pun dia menyangkal faktanya...