17. Not This Way

15 5 0
                                    

Ezra



Grenside adalah perumahan modern yang sangat mengintimidasi. Jika aku sudah memiliki pekerjaan suatu saat nanti, aku akan segera meninggalkan Morgenstern Manor yang menyerupai kuburan menakutkan itu dan membeli satu Property  arsitektur jaman modern bukan kastil Drakula.

Aku cukup lama menatap rumah berbentuk kotak berlantai dua dengan jendela kaca mengkilap di atas sampai Emma mengamit tanganku dan kami akhirnya berada tepat di depan pintu rumah Maya Frank dan mulai menekan bel.

Emma membuat keputusan yang cukup aneh. Kami bisa saja menemui Maya di sekolah, aku satu kelas dengan hari ini di pelajaran biologi. Namun, gadis berambut jahe ini mengiyakan keputusannya sendiri. Aku bisa memilih tak mengikutinya, tapi kehadiran hantu gadis kecil ini mulai membuatku tak nyaman. Mimpi melihat wajahnya terjadi lagi semalam.

Aku menyempatkan diri menghubungi Calvin, menanyakan bagaimana kabarnya. Dia baik-baik saja sekarang. Makhluk campuran seperti kami memiliki tingkat kesembuhan yang jauh lebih cepat dibandingkan manusia biasa. Sayangnya hanya secara fisik, bukan mental. Jika mentalku bisa pulih dengan cepat, aku tidak akan peduli pada Paul Bane atau hantu gadis kecil berbaju kuning yang konon mengikutiku karena darahnya. Shit!

“Dia tidak ada di rumah,” kataku setelah tak kunjung ada sahutan dari dalam.

“Tunggu sebentar lagi,” balas Emma.

Pertama kalinya aku melihat pakaian Emma Miller cukup normal. Tak ada jaket wol kebesaran atau baju bertabrakan warna. Dia sangat normal dengan jaket levis biru muda, baju kaos putih dan celana jens berwarna senada dengan jaket. Dia juga merapikan rambut dan sepatu kets putih. Ah, tak lupa ransel hitamnya. Tidak ada tas wol norak rajutan hari ini.

“Apa pun yang ada di kepalamu sekarang, darahku tak cukup sehat untukmu,” kata Emma tiba-tiba.

“Hah?” kepala lamban ini berusaha mencerna kalimatnya barusan.

“Kau terus menatapku seakan ingin menelanku hidup-hidup.”

“Mungkin!” Aku memutar bola mata dan mengalihkan tatapanku pada pintu berwarna abu-abu gelap.

Beberapa menit tidak ada sahutan, aku kembali menekan bel. Aku mendengar Emma menghela napas panjang.

“Aku rasa kau benar, dia tidak ada di rumah,” decak Emma kemudian.

“Tunggu sebentar lagi.” Aku mengulang ucapan Emma tadi. Gantian dia yang memutar bola matanya.

Kami berdiam diri sambil memasang pendengaran, kalau-kalau ada suara dari dalam.

“Dia sangat cantik,” ucap Emma pelan.

“Yah, aku menyukai senyuman manisnya itu,” jujurku padanya.

“Jadi, kenapa kau merebut Anya dari Darrel?” serang Emma. Nada suaranya menanjak tiba-tiba. Dia jelas lupa sedang berada di depan rumah Maya Frank.

“Itu bagus untukmu,” dengusku kesal. “Lihat sisi baiknya, jika dia memilihku kau bisa memiliki Darrel.”

“Percuma saja, jika Darrel menyukaiku dia tidak akan memilih Anya pertama kali,” pekik Emma.

Sungguh teriakannya membuat gendang telingaku bergetar.

“Kau tak berani mengatakanya.” Aku balas berteriak.

Mataku menatap tajam pada Emma. Dia tak mau kalah matanya membelalak lebar.

“Hay …,” sapaan canggung muncul di tengah kami.

Aku dan Emma kompak menoleh. Maya berdiri di tengah kami wajahnya menunjukkan raut serba salah.

“Hay, Maya.” Aku buru-buru menarik tangan Emma menyembunyikan gadis berwajah konyol itu di balik punggungku.

“Kami mengira kau tak ada di rumah,” kataku tenang. Ayolah, aku ahlinya mengubah keadaan di depan para gadis. Kalau tidak begitu, aku tidak akan mengencani banyak gadis di Evergreen High.

“Maaf, aku sedang ada di kamar mandi.” Rambut Maya bagian depan memang basah. Begitu pula wajahnya, masih ada sisa air di tengah mata dan dagu. Mungkin terburu-buru mengeringkan wajah. “Masuk lah.”

Maya membuka pintu lebar. Aku masuk duluan. Emma menyusul tanpa suara.

Bagian dalam rumah sama modernnya dengan bagian luar. Sofa-sofa hitam terlihat sangat cocok dengan tembok kelabu. Meja dan dinding di lantai dua terbuat dari bahan tembus pandang.

“Silakan duduk.” Maya kembali mempersilakan.

Sofa hitam ini senyaman kelihatannya. Aku belum menemukan kata yang tepat untuk memulai pembicaraan dan Emma ikut diam seakan mulutnya sedang ditutupi selotip.

“Di mana orang tuamu?” tannya Emma pada Maya.

“Bekerja, baru kembali setelah makan malam,” jawab Maya tetap saja canggung. “Kalian ingin minum? Soda? Kopi?”

“Tidak perlu,” sahutku cepat.

“Yah. Kami hanya ingin menanyakan tentang … Shania,” terang Emma kaku. “Tentu saja jika kau tak keberatan,” tambah Emma kemudian.

Maya meletakan kedua tanganya pada lutut. Kepalanya ikut menunduk.

Aku masih bisa fokus pada Maya selama beberapa menit, sabar menunggu keputusannya. Beberapa saat kemudian, mataku mengarah ke tangga lantai dua. Aku merasa diriku tertarik ke sana.

“Kamar Shania ada di lantai dua sebelah kanan?” Aku menunjuk ke atas.

Maya sontak mengangkat kepala. Matanya membelalak tak percaya.

Aku sendiri pun tidak bisa mempercayai apa yang baru aku katakan.

“Bisa kah aku melihatnya?” Permintaan ini aneh dan keterlaluan.

Maya mengangguk.

Aku mengarahkan pandanganku pada Emma, dia jauh lebih terkejut dari apa yang aku bayangkan.

Maya menaiki tangga terlebih dahulu, aku mengikuti dari belakang juga Emma, butuh beberapa detik sampai dia bangun.

Kamar Shania jauh lebih kecil dibandingkan ruangan tamu yang besar. Dinding kamar dan Sebagian besar perabotan di dalam kamar berwarna kuning. Juga ada gambar lebah di dinding bagian belakang di tempat tidur.

Entah kenapa kamar ini membuatku begitu nyaman. Aku duduk di tempat tidur dan merasakan kelembutan seprai di bawah telapak tanganku.

“Shania begitu menyukai warna kuning,” terang Maya, “jika kalian membuka lemari pakaiannya, isinya hanya kuning dan putih. Itu pun karena Dad memaksanya.”

“Aku juga terobsesi dengan warna kuning saat aku masih kecil,” kata Emma.

“Hijau,” aku membetulkan.

Emma mendelik tajam padaku sedangkan Maya tersenyum tipis.

“Kalian sangat memahami satu sama lain,” lirih Maya.

“Tidak begitu sungguh,” bantah Emma cepat. “Apa Shania memiliki boneka My Little Pony? Apple Jack seukuran kucing besar?”

Maya kembali terkejut. “Yah, bonekanya sudah sangat buluk. Satu bulan sebelum Shania menghilang Mom menyembunyikannya di Gudang.”

“Bisa kah aku melihatnya?” pinta Emma.

“Sebenarnya ada apa dengan kalian?” Mata Maya mengecil. Sudah jelas dia curiga pada dua orang asing yang menerobos masuk ke dalam rumahnya lalu membangkitkan lagi kenangan akan orang yang paling dia sayangi.

“Kami akan membantumu menemukan Shania,” pungkas Emma tegas.

“Sungguh? Bahkan polisi tidak berhasil menemukan dia. Orang di seluruh kota juga sudah melakukannya.”

“Ragu pada kami adalah hakmu,” ucapku sambil berdiri.

“Yah. Tidak berharap pada kami juga bukan masalah … memang sebaiknya jangan,” sambung Emma.

Entah apa maksud Emma barusan. Kadang dia susah dipahami.

“Tolong, Maya. Berikan bonekanya padaku,” pinta Emma sekali lagi.

Maya menekan telapak tanganya ke jidat. Matanya kembali mengkristal.

Aku maju selangkah, membawa Maya dalam pelukan. Aku menepuk bahunya yang bergetar.

“Aku hanya ingin tahu kabar Shania. Aku sangat merindukan dia,” isak Maya.

Maya menangis sekitar sepuluh menit tetap dalam pelukanku. Emma pamit turun ke lantai satu. Dia meminta izin pada Maya untuk mengambil boneka itu dari Gudang.

Hari sudah cukup gelap ketika kami keluar dari rumah Maya. Dia sudah jauh lebih tenang saat kami tinggalkan. Emma membawa boneka di tangannya, dia juga mengusulkan agar pencarian kami dilanjutkan besok. Namun aku memilih membantah, aku hanya tak ingin mendapatkan mimpi tentang Shania lagi.

Lampu taman sudah mulai menyala begitu kami tiba di taman tempat Shania terakhir kali. Taman satu ini tak pernah sepi. Aroma musim dingin yang makin pekat dan aroma dari pedagang makanan membaur menjadi satu.

Bagian utara adalah hutan kota, tempat yang diyakini oleh para polisi sebagaimana keterangan saksi.

“Shania mengetahui boneka ini disimpan oleh Ibunya. Dia memeluk boneka ini begitu erat terakhir kali,” terang Emma.

Aku meraih tangan Emma, menyentuh jidatnya. Normal.

“Kau tahu … Mom.” Mata Emma menerawang ke atas.

“Hey, tak apa.” Aku segera memutuskan percakapan ini. Ini bukan topik favorit kami sama sekali.

“Shania tidak pernah di bawah ke arah hutan. Ke jalan ini.” Emma menunjuk ke jalan, ke arah pertokoan sambil berjalan. Aku mengikutinya dari belakang.

Aku membaca semua artikel tentang pencarian Shania. Polisi juga sudah melakukan pencarian ke jalan ini. Namun, jaket dan sepatu Shania di temukan di hutan kota.

Emma makin jauh ke dalam toko-toko tua yang sudah tak terpakai. Semuanya dalam keadaan tertutup dan berwarna kelabu.  Polisi juga sudah sampai ke mari menggunakan anjing pelacak. Ada cela bangunan di antara toko, Emma dengan santainya melewati cela kecil itu. Aku susah payah mengikuti.

Kami tiba di ujung lorong. Mendadak kepalaku mengingat sesuatu. Tempat ini sangat tidak asing.

“Ezra,” panggil Emma. “Dia ada di balik tembok ini. Di dalam!”

Aku menarik napas dalam-dalam. Aku tidak ingin kembali ke sini apa lagi mengingat kejadian itu. Namun, jelas aku harus mengingat semua itu kembali.












Why We Were BornTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang