Ezra
Akhirnya, hari ulang tahunku.
Pertama kali dalam sejarah hidupku, Morgenstern Manor diterangi cahaya warna-warni, music berdentum menggetarkan semua kaca jendela dan paling penting lagi, hari ini setiap ruangan dipenuhi orang-orang normal, berpakaian pesta aneka warna bukan manusia jadi-jadian bertampang pucat dengan warna hitam sebagai syarat utama untuk bisa melewati gerbang.
Aku menikmati pesta ini! sangat-sangat menikmatinya. Akhirnya setelah hanya bermimpi mengadakan pesta meriah seperti anak-anak Ever Green lain yang sudah aku datangi menjadi nyata. Terlepas dari semua masalah yang sudah bepergian.
Dad tidak menampakkan diri. Dia hanya muncul tadi saat melihat kue ulang tahunku yang berwarna hitam di tata di ruangan tengah. Mom berada di depan pintu, masih menggunakan pakaian hitamnya tentu menerima siapa saja yang datang.
Hal terbaik yang aku dapatkan malam ini selain semua tumpukan kado adalah Anya. Dia muncul menggunakan gaun tanpa lengan berwarna biru tua yang mengkilap. Dandanan tipis, dan rambut yang diikat pada puncak kepala menjadikannya luar biasa menawan. Kalau saja Darrel tidak berdiri telak di sisinya, aku sudah membawa Anya ke tempat tergelap dan tersunyi di rumah ini.
Aku tidak ingin terus memikirkan Emma, tapi ketidak hadirannya sejak satu jam lalu menimbulkan kegelisahan sendiri. Aku sudah mengatakan dengan begitu jelas padanya untuk ikut bergabung bersamaku hari ini. Barang kali Emma sedang mengadakan pestanya sendiri. Jika dia belum memapkan batang hidung juga, aku akan mengedap ke rumahnya, lalu menyeret dia kemari.
Aku berdiri di ujung tangga menyelami kerumunan manusia. Calvin dan Darrel ada di sebelahku. Noah ikut kerumunan manusia yang bergoyang mengikuti dentuman musik.
“Ini pesta terbaik sepanjang tahun!” Noah menarik dirinya dari kerumunan dengan napas terengah.
“Tentu saja,” aku menepuk dada. Mataku tak lagi terfokus pada Noah melainkan berbelok sedikit pada Anya. Dia meliuk manja di bawah sana, begitu sempurna.
“Shena Lark benar-benar akan membakar pesta ini!” Calvin menepuk bahuku kuat dan membuatku mengalihkan pandangan pada gadis berumbai merah muda di tengah-tengah ruangan.
Shit! Aku pasti terlalu lama menatap Anya.
“Kau tidak mengundang Emma?” tanya Noah. “Aku tidak melihatnya sama sekali.”
“Dia tidak datang,” balasku sembari mengalihkan tatapan dari Anya.
“Tadi dia ada di rumah pohon,” ucap Darrel.
Kami harus berteriak saat bicara mengalahkan dentuman music.
“Apa yang kalian lakukan di sana?” tampang curiga seketika menggores wajah Calvin.
“Dia membawa perlengkapan bersih-bersih, Kurasa dia hanya ingin bebersih,” terang Darrel.
Aku menatap Darrel tanpa berkedip. Emma menceritakan padaku tentang gambar-gambar yang sobek itu.Jujur, rasa sukaku berkurang sedikit pada Anya setelah apa yang dia lakukan, tapi tetap saja malam ini dia sangat menggoda.
Darrel mengangkat tangan membentuk simbol perdamaian dengan jarinya.
“Hey, Party Boy,” panggil Anya terengah. “Kalian tidak akan diam di sana sampai malam ini selesaikan?”
“Mungkin,” aku memberikan kedipan menggoda.
“Ayolah, berpesta!” Anya menarik tanggaku dan Darrel bersamaan menceburkan kami ke dalam manusia lain. Musik membuat tubuhku bergerak, aku tak pernah sebahagia ini. ini malam terbaik.
Entah berapa menit berlalu, tubuhku sudah mulai letih dan aku memutuskan untuk keluar dari kerumunan.
Noah duduk di tangga menekan dadanya. Haruskah asmanya kambuh di saat seperti ini? Damn it, Noah dia tidak bisa mengontrol dirinya sendiri.
“Dia lupa pada tongkat saktinya lagi,” ucap Calvin kesal.
“Ada di kamarku!” kataku.
“Aku akan memapahnya ke atas.”
Aku mengangguk. Butuh berapa menit agar Noah bisa sampai ke atas. Aku lebih dahulu berlari ke kamarku dan mengambil inhealer.
Dad berdiri di luar, bersama seorang yang sangat familier. Aku pernah melihatnya di suatu tempat. Wajah mereka sangat serius.
Ayolah kepala, kau belum setua itu untuk mengingat siapa sosok di sana.
Keberadaan mereka berdua menimbulkan daya tarik yang kuat. Dad mungkin bisa mengendus keberadaanku. Bukan waktunya untuk peduli. Aku berjalan mengendap, berhenti di balik tirai dan memasang telinga.
“Kau yakin jika Ezra yang ada di sana?” suara Dad mengandung kegetiran.
Mendengar namaku disebut, tubuhku membeku. Apa ini?
“Yah, salah satu CCTV menunjukkan bukti rekaman anak bungsumu itu memeluk Paul Bane dari belakang.”
“Hanya itu? mereka mungkin sedang memperebutkan sesuatu. Paul Bane sering merampok belakangan ini bukan?” Dad sangat dingin sangat memaparkan pendapatnya.
“Maka jelaskan bekas gigitan yang ada pada lehernya, Stev!”
Orang yang memanggil Dad dengan nama itu hannyalah Mom. Belum pernah ada orang lain yang menyebutnya demikian.
“Paul Bane, mati kehabisan darah. Mark Steward hannyalah kambing hitam. Argumennya soal mempertahankan diri adalah benar adanya. Beruntung dia menembak Paul tepat pada kepalanya. Jika tidak kau akan menerima dua sosok vampir baru dalam kolonimu!”
Napasku tercekat menanti reaksi Dad.
“Kita sudah membuat perjanjian, Stev. Kaummu akan dibiarkan hidup bebas asalkan tidak pernah melanggar batas dan menunjukkan keberadaan secara terang-terangan.”
“Ini salah Paul Bane ….”
Aku tidak mendengar kalimat lanjutan. Noah dan Calvin sudah tiba di ujung tangga.
“Dia sekarat!” seru Calvin.
Aku memberikan inhelear.
Dad dan pria yang bersamanya masuk ke dalam. Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana rupa Dad saat itu.
“Sangat-sangat merusak kesenangan, Noah,” komentar Dad pada Noah. Dia tidak menyinggungku sama sekali.
“Yeah. Sayangnya begitu,” kata Noah susah payah. Dia kembali pada Inhelarenya.
“Ayo komandan, mungkin kita bisa bicara di rumah kaca dan membiarkan para remaja ini melanjutkan pesta.”
Dad meninggalkan kami dengan suara sepatunya yang berat.
Begitu mereka beralu, akhirnya aku mengingat dengan jelas siapa yang bersamanya tadi. Dia adalah polisi yang mendampingi Mark Steward di depan kantor polisi.
Jantungku bergetar keras, ini membuatku dalam kepanikan. Ini pesta ulang tahunku, ini tidak akan hancur sebelum waktunya selesai.
“Udara di sini membuatku sangat sesak,” gerutu Noah setelah napasnya berangsur Normal. Sebagai manusia berdarah campuran, dia akan tetap merasakan sakitnya sebagai manusia, namun bisa pulih dengan cepat.
“Terserah kau saja,” kata Calvin. “Aku akan ke rumah sebelah!”
“Bahkan aku lupa memberinya selamat dan kado pada hal kami sudah berbaikan.”
“Alasanku menyiapkan kue di mobil. Ayo Calvin, kita hancurkan rumah Emma!” seru Noah.
“Aku akan menyusul,” janjiku pada mereka.
Noah dan Calvin lebih dahulu turun. Aku harus menenangkan detak jantungku dulu.
Ponselku bergetar. Pesan masuk dari Anya.
Darrel sudah mengetahui hubungan kita ….
Dia sedang marah padaku di jalan. Dia meninggalkanku di sini.
Apa lagi Ini. sekujur tubuhku memanas. Aku berlari menuju pintu samping agar mudah keluar. Sayangnya, kecepatanku terhambat oleh lautan manusia yang masih menari. Butuh lima menit sebelum aku lolos keluar dari pintu dan melewati gerbang rumah.
Anya berdiri dengan tubuh bergetar di jalan dan Darrel ada di hadapannya.
“Sungguh Anya?” aku bisa mendengar Darrel berteriak kencang.
Aku berlari makin cepat.
“Darrel, hentikan!” Aku berteriak keras. “Aku yang menggoda Anya dan berpacaran di belakangmu!”
“Apa?” Mata Darrel membelalak. “Kau dan Anya?”
Aku menatap Anya. Dia tidak sedang menangis seperti dugaanku, dia tersenyum manis.
“Ucapanmu barusan?” Aku menujukan ponsel.
Anya menggigit bibir. “Aku tidak ingin terus merasa bersalah pada Darrel, Ez.”
“Kau merebut Anya, di belakangkanku selama ini?”
“Aku bisa menjelaskan ….”
Belum sempat aku bicara, tangan Darrel sudah menghantam wajahku, Shit!
KAMU SEDANG MEMBACA
Why We Were Born
VampireEzra Morgenstern, playboy kelas Kakap yang malah takluk pada pacar dari Sahabatnya sendiri. Lahir sebagai makhluk berdarah campuran setengah manusia setengah vampire; bagian yang tidak dia inginkan. Sayangnya, sekuat apa pun dia menyangkal faktanya...