Emma
Beruntung, kepalaku tak lupa bagaimana caranya bernapas. Jantungku masih berdetak setelah hantaman kereta bermuatan kisah kelam menubrukku hingga remuk. Seakan kisah-kisah itu belum mampu menumbangkanku, kisah Kemal itu menyelipi mimpiku menjebakku di sana. dalam mimpi semua kejadian itu terulang, aku bahkan sadar semua hanya mimpi. Usahaku membangunkan diri selama beberapa menit gagal. Beruntung jam kuku di ruangan tengah berteriak nyaring. Saat aku terbangun, jam di kamarku menunjukkan pukul sepuluh.
Malam panjang menyisakan kepeningan luar bisa di kepala. Penyesalan besar datang secara tiba-tiba, soal ponsel pemberian Darrel. Harusnya aku tidak terlalu mengangkat tinggi harga diri.
Sebentar …. Aku terdiam di atas tempat tidur menatap tas sekolahku di meja belajar. Dalam tiga langkah besar, aku mencapai meja menyambar tas dan membukanya. Kotak ponsel hijau itu masih terbungkus rapi. Ponsel lamaku yang sudah mati total berada di sana juga. Aku mengambil sim card, memindahkannya ke ponsel baru lalu menyalakannya.
Waktu lagi-lagi terhenti saat ponsel telah menyala. Damn it! Rasa perih menyerang mata.
Wallpaper ponsel adalah foto kami berlima saat aku dan Ezra sama-sama merayakan ulang tahun yang ketujuh.
Rasa perih ini kembali menghunjam, kesesakan mengentak dadaku. Aku hanya bisa menangis, terus dan terus menangis.
Kendati kepalaku bisa mengulang setiap kenangan lama bersama Calvin dan rumah pohon, semua tidak akan sama lagi.
Entah berapa lama aku menangisi wallpaper ponsel, sampai aku sadar aku harus kembali ke rumah sakit dan memastikan keadaan Calvin.
Orang lain di rumah ini nampaknya sudah memiliki agenda masing-masing. Aku tidak menemukan mereka di mana pun.
Aku menulis pesan pada sticky note menempelkannya di pintu kulkas seperti hal biasa yang kami lakukan jika harus keluar.
Aku menggunakan bus.
Kegelisahanku kian bertambah seiring melajunya bus. Dari terminal aku memacu kakiku cepat. Kesabaranku makin goyah saat memakai pakaian khusus kunjungan. Suster yang mengawasiku sampai mengerutkan keningnya.
Calvin masih terbaring di ranjang. Harapan konyolku adalah aku menemukannya duduk tersenyum di atas ranjang. Selang-selang yang tak pernah kupahami fungsinya masih menempel.
Sekarang, ini yang bisa kulakukan diam, menatap, dan menyesali.
“Emma?” Sapaan hangat membuatku berbalik.
Wanita berusia sekitar akhir tiga puluhan, berambut pirang dan bermata kelabu tersenyum kaku padaku. Jejak kelelahan membingkai matanya. Dia sangat-sangat kurus. Aku mengingatnya sebagai Wanita berparas malaikat, sekarang aku harus meralat gelar itu tanpa maksud kasar, tapi dia memang sangat berbeda.
“Mrs. Swartz,” sapaku kaku. Semalam aku melihatnya, Wanita yang sudah lama ingin kujumpai. Rasa bersalah menahan kakiku semalam.
Jenne Swartz meneliti wajahku. Aku menatap ke dinding, menantikan lontaran pengusiran.
“Kau tak pernah datang berkunjung,” ucap Mrs. Swartz.
Jujur, aku cukup terkejut kalimatnya bukan luapan amarah.
“Kau berjanji padaku akan terus berkunjung ke rumah dan menemani Calvin sampai kapan pun.” Air mata mengaliri pipi cekung Mrs. Swartz.
“Maaf,” ucapku.
Mrs. Swartz lagi-lagi hanya bisa tersenyum tipis.
“Aku sungguh-sungguh menyesali apa yang ….”
“Sssst!” Mrs. Swartz menyentuh bahuku, menekannya pelan. “Dengar, jangan minta maaf pada takdir. Kita semua terluka, Emma, kita semua. Kuatkan hatimu, kau harus kuat untuk Calvin.”
Mrs. Swartz mengatakan semuanya hanya untuk menghiburku, sedangkan aku tahu lukanya sendiri cukup dalam. Sebagai seorang Ibu yang sudah melahirkan anaknya.
“Semua akan baik-baik saja,” ucapku penuh harapan.
Mrs. Swartz mengangguk.
Darrel muncul menggunakan jaket parka hijau emerland dan kantong kertas cokelat. Ada gambar roti di sana. wajahnya mengkilap dan matanya sedikit memerah. Ia meninggalkan kami di rumah pohon lebih awal semalam.
Darrel menyerahkan kantong kertas pada Mrs. Swartz.
“Oh, astaga! Aku harus menjemput Dustin.” Mrs. Swartz panik menatap jam tangannya.
“Aku bisa melakukannya,” tawar Darrel. Pancaran kesungguhan tulus terpancar dari mata yang lelah itu.
“Kau tahu ….” Mrs. Swartz memberikan kedipan kecil pada Darrel. berkedip sekali saja, aku mungkin tidak menangkapnya.
“Tapi keadaan Anda ….”
“Aku menggunakan taxi, aku akan sampai di sini dalam lima belas menit, jangan kawatir anak-anak!” Mrs. Swartz. menyambar mantel di kursi lalu berjalan meninggalkan kami berdua.
Darrel, aku tak akan terkejut mendengarnya mengomeliku soal jaket Anya.
“Aku mengasumsikan kau tidur lelap selama berjam-jam,” kata Darrel setelah suara monitor mengisi ruangan selama beberapa menit.
“Kau sebaliknya,” balasku.
“Bahkan tak sempat membasuh wajah.”
“Kau tak perlu bilang. Di mana Anya?”
Raut wajah Darrel seketika berubah. Seakan awan mendung menggantung di atas kepalanya.
“Kau selalu bersamanya, itu saja. Tak perlu menatapku begitu.”
“Anya akan ada di sini beberapa menit lagi.”
“Kau selalu berbohong padaku soal itu.”
“Apa? Aku tidak sedang berbohong Miller.”
“Kau tak perlu membawa nama Anya untuk mengatakan Emma Miller, aku tak ingin kau di sini!”
Darrel terdiam. Ia menatap mataku sungguh-sungguh. “Kepalaku begitu kecil dan pikiranmu sangat dangkal, Emma Miller!”
“Benar sekali.”
“Kita tidak akan beradu mulut di sini,” ucap Darrel kemudian. Matanya mengerling ke arah tempat tidur Calvin.
“Aku tahu. Aku pulang sekarang!”
“Bukan itu maksudku, Emma.”
“Kau selalu membenciku, selalu begitu. Dan sekarang, aku yang membencimu! Sangat-sangat membencimu!” Jari telunjukku menekan dada Darrel berulang kali. Luapan kekesalan mencekikku tiba- tiba.
Sebelum cowo jangkung di depanku memberikan reaksi, aku berjalan keluar dari ruangan Calvin. Aku akan pulang sekarang.
Stacy ada di sofa ruangan tengah ketika aku sampai. Dia duduk menatap kosong ke arah jendela. Kami melakukan reaksi serupa saat mengalami masalah. Stacy masih menggunakan pakaian yang dia kenakan semalam, wajah dan rambutnya super kusut. Ini bisa diartikan sebagai tingkat kerumitan masalahnya sudah mencapai level tertinggi. Masalahnya kali ini pasti antara Dad dan Tony lagi.
Stacy pasti ingin sendiri. Aku akan ke kamar, mungkin akan menangisi diri sendiri lagi, buang kesesakan yang masih bersarang di dalam sini.
“Kau sudah pulang?” tanya Stacy. Dari nada suara itu, aku merasa dia sebenarnya ingin berteriak atau menangis. Entah. Duniaku sudah cukup rumit. dia lebih tahu bagaimana caranya menghadapi masalahkan dibandingkan denganku.
Aku memberikan anggukan pelan. Seharusnya aku tidak bertanya tapi, dia Kakakku. “Kau baik-baik saja?”
Stacy akan meledak jika kau tahu jawaban dari pertanyaanmu sendiri.
Stacy hanya mengangguk lemah. “Bagaimana dengan Calvin?”
“Aku harap dia segera bangun.” Oh, aku mengingat dia lagi. “Aku akan ke kamar.”
“Emma, bisa duduk di sini sebentar. Ada hal penting yang harus kau ketahui sekarang!” suara Stacy lebih tinggi dan aku yakin akan kedengaran di rumah sebelah.
“Ini tidak perlu sekarang, Stas!” Mom menyuruhkurmenyuruhk masuk dari balik dinding. Dia menguping di sana dari tadi.
“Kau mengatakan tunggu sampai dia dewasa. Emma sudah tujuh belas Mom!”
“Itu baru kemarin!” Dad muncul dari balik punggung Mom. Kepanikan amat kentara di wajah berkaca mata itu.
“Ada apa? Kejutan ulang tahunku? Itu sudah kemarin?” Aku mencoba tersenyum. Bersamaan bulu kuduku tegak bak tembaga, aura di dalam sini segelap malam di tepi danau. Wajah Anggota keluarga ku pun tidak menunjukkan jika saat menit ini berlalu raut muka mereka akan berubah menjadi tawa konyol.
Stacy menarik napas panjang. “Kau tahu, Dad selalu membenci Tony. Selalu. Pernah penasaran mengapa?”
“Selalu. Dad mungkin merasa kalian tidak begitu cocok.” Aku menatap Dad dan pria yang sudah membelikanku hadiah kamera polaroid di usiaku yang ke empat belas berpaling ke dinding.
“Kau tahu kenapa Mom yang menangis saat kami berdebat?”
Aku tidak bisa merangkai jawaban, hanya mengalihkan tatapan pada Mom. Dan sekali lagi, orang yang mendapatkan pandanganku berpaling. Drama apa yang sedang mereka mainkan?
“Sekarang, kau dapatkan jawabannya.” Stacy berdiri. “Tony memergoki Dad bersama Wanita lain. Dad tidak ingin Tony mengatakannyakah padaku.”
“Stacy.” Dad menghela napas panjang.
“Dad, Tony tidak pernah mengatakan apa pun padaku tentang itu. Aku melihatmu sendiri berciuman dengan Lana Correy.”
Napasku lagi-lagi tercekat. Satu entakkan lagi, aku benar-benar kehilangan nyawa. “Dan itu sudah terjadi satu tahun ini?”
“Tiga tahun, Emmma.”
Tulang lututku meleleh. Aku jatuh terduduk di lantai. aku tidak ingin berteriak atau menangis. Duniaku benar-benar runtuh.
Mom menghampiriku memelukku erat. “Maaf, Emma. Maaf!”
“Hari ini, kami ingin mengatakan padamu secara terbuka. Kami akan berpisah,” bisik Mom.
Kepalaku berdegung hebat. Aku tidak tahana lagi berada di sini. aku memaksakan tubuhku untuk berdiri.
“Aku butuh udara segar!” Aku melepaskan pelukan Mom lalu berjalan lunglai menuju pintu.
Ke mana?
Morgenstern Manor bukan pilihan. Andai Calvin masih …. Aku tidak kuat.
Hari sudah gelap. Salju memutih menutupi jalanan. Sore musim dingin yang beku.
Aku tidak mungkin menghubungi Noah. Aku juga tidak ingin kembali ke rumah. Aku perlu tempat menginap satu malam. Andai saja rumah pohon masih tegak berdiri.
Aku berharap Hayden di sini.
Untuk sekarang. Aku tidak ingin membuat pilihan lain. Persetan dia akan menolakku langsung di depan pintu.
Aku memasakan kaki untuk berjalan lebih laju dan cepat. Dua puluh menit, lututku menjerit nyeri dan dadaku makin sesak. Kabar baiknya aku tiba di tempat tujuanku.
Mr. Eldrige membukan pintu. Dia tampak rapi dalam setelan kemeja putih dan jas hitam.
Dia terkejut melihatku. Lalu dengan ramah dia menawarkan. “Ayo masuk. Aku memiliki semua permen yang kau inginkan.”
Aku hanya mengaguk.
“Dad, apa kau melihat lensa kameraku? Aku rasa aku meletaknya di etalase permen loli.” Darrel baru saja menuruni tangga. Dia mendadak berhenti. Mata birunya melebar.
Maki aku sepuasmu, tapi jangan tendang aku dari sini. Darrel juga mengenakan kemeja. Jelas aku datang di waktu yang salah.
“Jadi, permen apa?” Mr. Eldrige dia bersikap ramah seperti biasa.
“Permen jahe, akan sangat menyenangkan.” Aku mencoba mengeluarkan suara riang terbaik.
“Aku punya kue jahe. Sudah agak lewat waktunya tapi secangkir teh membuat hari ini sempurna. Tunggu sebentar.”
“Hanya permennya, tolong.”
“Em, em! Kau tidak akan mencegahku!” Mr. Eldrige menghilang di balik pintu menuju toko permen.
Aku menunduk. Jika ada kehangatan lain sekarang adalah air mataku. Aku menunduk, menghapusnya dengan lengan jaket yang kasar.
“Ada yang salah?” Darrel berhenti tepat di depanku.
Aku tidak ingin melihatnya sekarang. Tidak.
“Katakan, Emma.”
“Aku hanya ingin permen.”
Darrel berlalu begitu saja. Aku akan menjual ponselku, lalu bermalam di montel. Mungkin memang harus begitu.
“Ayo ke atas!” Darrel menepuk bahuku pelan.
“Sangat tidak adil!” protes Mr. Eldrige “Bagaimana bisa kau selalu mendapatkan Emma.”
“Hentikan, Dad!”
Aku tersandung di anak tangga, kepalaku masih berkedut, sekarang pandanganku mulai kabur. Aku tak sanggup lagi mencapai kursi sisi jendela.
“Shit! Em! Kenapa kau selalu berbohong padaku!”
Karena kau tak pernah mendengarkan apa pun tentangku. Aku masih berusaha berdiri. “Kalian akan keluar?”
“Ulang tahun Grandma.”
“Aku tahu ini lancang, tapi bolehkah aku tinggal sampai kalian kembali?” kepalaku makin pening, aku benar-benar tak tahan. Aku ingin berbaring saja. Tidak ada jawaban dari Darrel. Aku memegang ujung tangga kuat, tanganku mulai bergetar. Campuran antara emosi dan tubuhku yang kurang asupan makanan.
“Aku akan menggatramu ke rumah sakit!”
“Aku baik … baik …. Aku han … ya perlu berbaring.”
Darrel merengkuh tubuhku, aku tidak tahu bagaimana rupanya saat itu. Aku memejamkan mata. Aku tidak tahu persisi apa yang terjadi, tapi akhirnya aku berbaring tenang di atas kasur. Pedih ini, aku berharap segera berakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why We Were Born
VampireEzra Morgenstern, playboy kelas Kakap yang malah takluk pada pacar dari Sahabatnya sendiri. Lahir sebagai makhluk berdarah campuran setengah manusia setengah vampire; bagian yang tidak dia inginkan. Sayangnya, sekuat apa pun dia menyangkal faktanya...