2. 𝑻𝒉𝒆 𝑬𝒅𝒈𝒆 𝒐𝒇 𝑴𝒚 𝑳𝒊𝒏𝒆

47 17 5
                                    

Emma Miller

Aku harus menjadikan nama ini legenda dan dikenang oleh Evergreen High sebagai pemain hoki gila sebelum mengucapkan selamat tinggal pada mereka. Sebuah motivasi terus bersuara dalam kepala sejak permainan dimulai, aku sedang berkencan dengan keping hoki, hanya aku yang bisa memilikinya.

Aku terus bergerak di atas es, mengeluarkan segala kemampuan. Bukan waktunya untuk peduli apa dampak besar dari kegilaan ini. Keluar dari tim? Jelas. Aku melihat wajah pelatih kami Jim Sheldon mematung dengan mata membelalak, mirip patung lilin Squirdward The Tentacle. Mungkin dia menahan napas di sana. Satu lagi, aku sedang mempermalukan diri sendiri di depan dua sekolah besar sekaligus.
I don't give shit. Setelah surat pengunduran diriku berpindah dari ransel ke meja Mrs. Marry aku akan mengucapkan selamat tinggal pada Evergreen, selamanya!

Oh, bolanya berada dalam jangkauan stikku lagi. Aku meluncur maju sekali lagi dan memukul bola dengan kekuatan ekstra. Satu skor tambahan lengkap dengan luapan emosi.

Permainan ini menjadi pelampiasan semua kekawatiran dalam kepala. Pertama, aku kehilangan beasiswa, kedua aku tidak tahu bagaimana caranya mengucapkan selamat tinggal pada pacarku dan ketiga adalah yang paling mengganggu, aku menyimpan rahasia jasad pria dewasa di dalam hutan, aku ada di sana saat dia dibunuh dan disembunyikan. Rasanya kepalaku akan meledak.

"Miller, tangkap!" Sandy Valentine mengarahkan bola kepadaku. Sayangnya, tubuh ini melambat, pemain dari St. Andrew menyambarnya lebih dulu.

Fokusku hilang sesaat. Aku mengerjapkan mata sedetik, lalu mengejar pemain St. Andrew.

Rahasia sialan ini itu menekan dadaku semalaman dan membuatku menangis. Aku bukan tipikal cengeng yang suka menangisi segala hal sebelum kejadian tolol sekitar tiga minggu lalu dan kejadian sehari lalu membuatku merasa sudah di ambang batas.

Shit! Teriakan sang pria kesakitan memenuhi kepalaku lagi, luka cakaran di tubuhnya, aliran darah dari pelipis dan pipi begitu merah. Kepalaku mendadak berputar. Aku ingin menghapus semuanya dari kepalaku sekarang. Tubuhku kehilangan kendali, stik terlepas dari tanganku dan aku meluncur bebas menabrak tepian arena. Penutup dramatis dari permainan babak terakhir.

"Apa yang salah denganmu?" Mr. Sheldon datang tergesa dari tempatnya mematung. Matanya jauh lebih besar sekarang. Wajah masam itu seakan mengatakan, aku akan memotong rambutmu dan membakarnya di lapangan.

"Sepertinya kehabisan debu peri," jawabku sembari menghela napas.


Permainan berakhir, tim kami menang dengan perolehan empat angka lebih tinggi dari St. Andrew.

Permainan egois dan super barbarku hari ini pasti akan mendapatkan kritikan keras. Mereka akan mendendangku sekarang.

"Baddas, Miller! Kau tidak pernah menunjukkan hal ini pada kami sebelumnya," seru Sidney keras. Dia sudah melepaskan pelindung kepala, sekarang, rambut hitam dan merah menyalanya terpancar terang.

"Hanya hari keberuntungan," ucapku kaku. Ekor mataku menangkap empat sosok yang sudah membuatku begitu menyedihkan di perpustakaan. Mereka menyalami dan memeluk Anya Mattew. Ayolah, dia sudah duduk di bangku setelah sepuluh menit bermain dan mengatakan kakinya keram. Percuma, aku tidak akan ada di sana, apa pun keadaannya. Perhatian itu pernah aku dapatkan.

"Shit, bitch. Kau seperti kuda kerasukan. Dua tahun, Miller. Jika dari awal kau seperti ini, kita berada di klub nasional sekarang."

Aku hanya tersenyum, bibir dan mataku agar terlihat meyakinkan. Anggota tim lain mendekat, aku harus pergi.

Why We Were BornTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang