Setahun yang lalu,
Jam yang melingkar di tangan masih menunjukan pukul enam pagi, namun meskipun jam masuk masih jam tujuh. Narima sudah berada di sekolah. Tujuannya adalah untuk menghindari seseorang yang sukses mengalihkan isi pikirannya sejak malam, siapa lagi kalau bukan Algamara Auriga.
Kemudian suara gelak tawa yang menggelegar di koridor, membuat langkah Narima terhenti. Matanya mengerjap berulangkali saat melihat segerombolan inti Alcatraz berjalan berlawanan arah menuju kepadanya. Di sana pun ada Alga! Aduh, niatnya untuk menghindar malah ternyata berbalik sesuai kenyataan.
Baru saja ingin membalikan badan. Seseorang pun memanggil namanya. Narima langsung memutar pandangan ke sumber suara.
"Lo mau ke mana?"
Gawat! Alga yang datang memanggil dan bertanya. Bersama dengan teman-temannya mereka berdiri berhadapan langsung dengan Narima yang sudah gelagapan dan gugup.
"Engh, aku mau ke kelas."
Alis Alga terangkat. "Bukannya kelas lo ada di lantai dua ya? Terus kenapa mau jalan ke arah perpus?"
Aduh! Batin, Narima.
"Ehmmm, aku ada perlu juga sih ke perpus."
"Perpus jam segini emang dibuka ya?" Kali ini Ralaska tiba-tiba menimbrung, lalu Narima hanya tersenyum tipis.
"Aku tungguin aja di sana, pasti sebentar lagi udah dibuka." Narima masih berusaha untuk kabur.
"Kok lo berani sih?" Aksara ikutan berbicara. "Setahu gue ya di sini tuh ada urban legend tahu!"
"Maksud lo apaan, Ra?" tanya Jeano penasaran.
"Dih lo pada masa kagak tahu di dekat perpustakaan kan ada satu ruangan kosong, kayak gudang gitu. Nah biasanya kalau kita sendirian di dekat sana, pasti merinding!" Aksara mengatakannya begitu serius membuat Ralaska dan Jeano mengerutkan dahi.
"Lo jangan ngadi-ngadi, Ra. Kasian anak orang nanti takut ke sono," ujar Ralaska menatap Narima. Kemudian dengan senyuman sumringahnya seraya menyugar rambut, Ralaska mendekat. "Mau gue anter enggak?" goda Ralaska dengan alis yang dinaik-turunkan.
Langit yang melihat teman-temannya hanya menggeleng heran, lalu menatap sekilas pada Narima yang kelihatan canggung. Menyadari akan hal itu, barulah ia buka suara.
"Gue aja yang anter," ucapnya membuat pandangan teman-temannya mengarah ke dirinya.
"Lho! Tumbenan amat," balas Ralaska.
"Gue ada perlu sama dia." Langit berjalan dengan santainya, lalu tangannya sedikit menarik tali tas Narima sehingga terhuyung mengikutinya.
Alga cuma diam memerhatikan mereka, dalam hitungan detik akhirnya mereka berdua berjalan bersama meninggalkan yang lainnya.
"Ini adalah sebuah breking nyussssss!" ujar Ralaska heboh. "Mereka mau ngapain yaaaaa?"
"Apakah perlu menjadi detektif?" Ralaska mengusap dagunya.
"Biarin aja, mending kita duluan," ucap Alga pada akhirnya dan melangkah lebih dulu.
Ketiga temannya saling tatap, ekspresi Alga mendadak cemberut dan dingin. Apakah ini ada kaitannya dengan kepergian Narima bersama Langit?
***
Sesampainya Langit dan Narima di dekat perpustakaan. Langit mengajak cewek itu untuk duduk di salah satu kursi panjang. Sebab, ada sesuatu yang ingin Langit sampaikan kepadanya.
"Sorry, kalau gue lancang ngajak lo ke sini," ucap Langit. "Ada yang pengen gue tanyain sama lo."
"Eh, jadi kamu anterin aku cuma pengen ngobrol berdua ya."