17: KITA ITU TEMAN

372 21 1
                                    

Setahun yang lalu,

Sore itu Alga sengaja membuntuti Narima yang pulang sendirian. Sejak memergoki cewek itu yang menangis sesenggukan di taman belakang sekolah, Alga takut dia kenapa-napa di jalan. Makanya sekarang ini tanpa Alga sadar, dirinya sampai di gang dekat tempat tinggal Narima.

Dalam sudut pandangan Alga, cewek itu langsung mencopot sepatu dan masuk ke dalam rumah saat sudah sampai. Alga yang melihatnya menghela napas lega. Alih-alih benar memastikan bahwa Narima baik-baik saja, Alga berjalan ke arah warung dan memilih untuk duduk sebentar di sana. Namun baru saja duduk, telepon dari Ayahnya membuat Alga segera mengangkatnya.

"Kamu di mana Alga?"

"Masih di luar, kenapa?"

"Segera pulang ya, dokter kamu dapat berita baik."

Alga mengerutkan dahinya. Rasa penasaran akan tersebut membuatnya langsung bergegas mencari kendaraan untuk segera pulang. Alga tidak sabar, kabar apakah itu?

Di sisi lain pun, Narima mengernyitkan dahi saat melihat dua pasang sepatu tergeletak di dekat pintu dalam rumah. Sepatu itu milik Ayahnya. Pasti Ayah sudah datang. Rasa senang langsung membuat Narima tersenyum lebar dan memanggil-manggil Ayahnya.

"Ayah!"

Panggilan itu nampaknya sukses membuat seseorang yang sedang membuat kopi teralihkan. Pandangannya nampak lesu dan letih. Narima yang sadar akan hal itu pun langsung terdiam.

"Baru pulang?"

"I-iya, Yah." Narima menjawabnya dengan canggung.

Ayah Narima berdeham pelan, lalu berjalan melewatinya dan menuju ruang depan. Melihat Ayahnya yang hanya diam dengan wajah letih, Narima agak takut membahas soal tunggakan uang sekolah.

"Kamu udah makan?"

Pertanyaan yang keluar dari mulut Ayahnya sontak saja membuat kedua mata Narima mengerjap lambat. Rasanya agak kaget, saat Ayahnya menanyakan hal tersebut. Ini sangat jarang, bahkan tak pernah.

"B-belum, kalau Ayah?"

"Maafin Ayah, ya." Ayah Narima tertunduk lemas. "Ayah belum bisa jadi Ayah yang baik buat kamu. Ayah ini penuh dosa, Ayah beneran minta maaf kalau selama ini selalu ninggalin kamu."

Narima menjadi berkaca-kaca dan duduk bersimpuh di hadapan Ayahnya sembari menggenggam tangannya. "Ayah jangan kayak gini, Ayah bukan pendosa. Rima enggak papa kok ditinggal Ayah kerja, asal Ayah sendiri bisa jaga diri baik-baik."

"Ayah buat suatu kesalahan fatal Narima," kata Ayah, lemas. Narima jadi bingung. "Ayah selama ini berusaha kabur dan kabur, meski Ayah selalu dimaafin."

Narima menautkan alisnya. Tak mengerti dengan apa yang Ayahnya bicarakan. Apa mungkin efek kelelahan bekerja, makanya Ayahnya jadi seperti ini. Ah, Narima benar-benar tidak jadi untuk membahas masalah uang sekolah. Pastinya itu akan menjadi beban pikir Ayahnya. Narima tidak mau.

"Ayah kayaknya kecapekan, mending Ayah tiduran aja di kamar ya. Setelah Rima mandi, mau ke depan dulu cari makanan ya."

Gani, ayah Narima hanya diam saja dengan tatapan kosong. Narima sendiri masih memikirkan ucapan Ayahnya. Lalu daripada bergelut dengan rasa penasarannya, Ia pun langsung pergi untuk membersihkan dirinya. Setelah itu keluar untuk cari makan.

***

Narima berjalan dengan langkah yang lemas serta tatapan kosong ke arah lurus pada jalan. Hanya menggunakan celana training dan kaos oblong warna navy serta rambut yang dikuncir secara cepol. Ia berniat untuk ke gang depan membeli nasi goreng yang dari segi harganya terjangkau.

ALGARIMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang