Setahun yang lalu,
Narima menutup kedua telinganya rapat-rapat saat Ayahnya membanting vas bunga di hadapannya hingga hancur berkeping-keping. Narima berjengat kaget dan langsung berjongkok untuk memungut pecahannya. Sampai ketika secara tak sengaja ujung jari Narima tergores dan berdarah.
"Saya enggak pernah nyuruh kamu buat kelayapan sampai jam segini!"
Narima mengerjap kaget dan mulai menangis diam dengan tubuh gemetar. Ayahnya benar-benar terlihat marah.
"Maaf, Ayah." Nada bicara Narima mulai gemetar ketakutan, sekitar lima menit yang lalu Narima tak sangka Ayahnya sudah di rumah.
"Ini jam sepuluh malam!"
Mata Narima terpejam sesaat Ayanya membentak, memang Narima akui ini salahnya tetapi ada suatu alasan yang membuat Narima harus pulang selarut ini.
"Mau jadi anak enggak bener kamu?!"
"Sekolah yang pinter! Bukan keluyuran sampai malam!"
"M-maaf Ayah," lirih Narima menunduk.
"Kamu tahu enggak saya juga capek kerja buat kamu, saya sampai rela untuk nutupin kalau saya habis–!" Seketika ucapan Ayah Narima terjeda, dan membuat Narima menatap takut-takut padanya.
"Sudah-sudah sana!" usir Ayah. "Saya pusing!"
Narima mengangguk patuh dan membawa pergi keluar serpihan vas bunga tadi untuk dibuang. Dengan air mata yang berderai, Narima menahan rasa sakitnya dari luka di jarinya saat ingin membuang serpihan vas bunga itu. Ditatapnya serpihan itu dan Narima mendekatkannya pada pergelangan tangan, hingga seseorang datang menegur dan merebut serpihan itu secara paksa seraya membuangnya langsung ke tempat sampah.
"Lo udah gila apa?!"
Narima menatap kaget melihat siapa yang tadi merebutnya, dan saking kagetnya Narima masih belum menyeka air matanya.
"Lo kalau ada masalah, enggak gini nyelesaiinnya. Apalagi masih di depan rumah lo sendiri. Udah gila apa?"
"K-kamu ngapain di sini Alga?"
"Suka-suka gue ngapain di sini, gue mau tanya lo kenapa nangis kejer gini?" tanya Alga panik. "Ini juga kenapa berdarah ginu?!" Alga menarik tangan Narima dan menyeka darah dari jari Narima dengan sapu tangan miliknya.
Narima terdiam tak berontak, membiarkan Alga mengusap darahnya.
"Ditanya itu jawab, gue nanya sama manusia bukan patung."
"I-iya," balas Narima tergagap. "Aku enggak sengaja jatuhin vas bunga kesayangan Ayah, jadi ya gini deh."
"Mana mungkin hanya karena vas bunga doang. Pasti lo kenapa-napa kan?"
"Enggak Alga, mending kamu pulang."
"Enggak, gue enggak mau."
Narima menatap Alga dengan tatapan memohon. "Please, aku enggak mau sampai ketahuan Ayah aku kalau ada laki-laki main ke sini di jam malam gini."
"Lo berantem sama Ayah lo?"
Narima hanya diam.
"Masih zaman ya, seorang orang tua main fisik ke anaknya?"
Narima terdiam dengan menatap darah yang masih mengucur. "Aku mohon kamu pergi ya Alga. Jangan bikin aku terjebak di situasi yang rumit. Buat apa kamu peduli? Kamu bukan siapa-siapa aku Alga. Jadi, stop!"
Alga mengacuhkan ucapan Narima. Hingga akhirnya Ayah Narima keluar memergoki mereka berdua dan Ayah Narima membentak memanggil putrinya.
"Narima!"